Sebagaimana dilansir oleh www.kiblat.net pada akhir Februari lalu bahwa Putra Mahkota Arab Saudi Muhammad bin Salman mendukung pembangunan kamp konsentrasi untuk Muslim Uighur. Ia bahkan mengatakan bahwa tindakan yang dilakukan oleh negera yang memperoleh julukan tirai bambu ini dapat dibenarkan. “Cina memiliki hak untuk melakukan pekerjaan anti-terorisme dan ekstremisme untuk keamanan nasionalnya,” kata Bin Salman, yang telah berada di China menandatangani banyak kesepakatan dagang pada Jumat,22 Februari lalu. Presiden Cina Xi Jinping, mengatakan kepada Putra Mahkota bahwa kedua negara harus memperkuat kerja sama internasional tentang Deradikalisasi guna mencegah Infiltrasi dan penyebaran pemikiran yang dianggap ekstrem.
Meski kelompok-kelompok Uighur telah menyuarakan haknya meminta pangeran muda Saudi yang kuat untuk mengangkat perjuangan mereka, karena posisi Arab Saudi sebagai kerajaan ultrakonservatif secara tradisional memiliki wewenang untuk melakukan pembelaan terhadap hak-hak Muslim di seluruh dunia. Namun para pemimpin Muslim hingga kini tak kunjung membahas krisis Uighur dengan Cina, yang dalam beberapa tahun terakhir menjadi mitra dagang penting Timur Tengah.
Indonesia sebagai negara mayoritas Muslim pun tak lebih baik dalam menyuarakan hak kebebasan etnis muslim Uighur. Kunjungan Duta Besar Cina untuk Indonesia Xiao Qian di Kantor PBNU bulan Desember tahun 2018 lalu, mengungkap sikap PBNU yang memisahkan persoalan separatisme dan agama, artinya menurut Saiq Agil Siradj sang ketua PBNU, krisis Uyghur akan menjadi masalah domestik Cina jika itu seputar persoalan separatisme dan politik, maka siapapun tidak boleh ikut campur. Pernyataan pentolan PBNU itu bukan tanpa alasan, karena menurut Duta Besar China untuk Indonesia Xiao Qian menuturkan, persoalan di Xinjiang adalah persoalan separatisme dimana menurut narasinya ada sekelompok orang yang ingin membuat Xinjiang berpisah dengan Cina, bahkan menggunakan kekerasan dan terorisme.
Pandangan Said Aqil Siradj dan Muhammad bin Salman pada akar masalah Uyghur menjadi satu sinyal kegagalannya dalam memahami persoalan muslim Uighur sebagai persoalan seluruh umat muslim. Isu utamanya bukan separatisme, tapi penindasan akan nyawa dan kehormatan umat. Pandangan seperti ini jelas mencerminkan racun sekulerisme yang memisahkan agama dari kehidupan, sekaligus menunjukkan tokoh-tokoh Muslim ini juga gagal paham akan sejarah panjang Xinjiang yang merupakan tanah kaum Muslimin yang justru direbut oleh rezim Komunis. Hal inilah yang semakin menguatkan keyakinan sebagian umat bahwa yang terjadi pada umat Islam di belahan dunia lain bukanlah menjadi persoalannya. Padahal sangat mungkin hal yang sama juga akan menimpa umat Muslim di Indonesia,jika kamp-kamp konsentrasi itu berdiri di negeri khatulistiwa ini.
Muslim yang ditindas, dilarang beribadah dan diamputasi hak beragamanya memang harus melepaskan diri dari rezim tiran. Saudara Muslimnya yg lain harus membantu mereka membebaskan diri dari kezhaliman rezim pemangsa China. seperti sabda Rasulullaah Saw:
الْمُؤْمِنُ مَرْآةُ أَخِيهِ وَالْمُؤْمِنُ أَخُو الْمُؤْمِنِ يَكُفُّ عَلَيْهِ ضَيْعَتَهُ وَيَحُوطُهُ مِنْ وَرَائِهِ
”Seorang Mukmin adalah cermin bagi saudaranya yang beriman; dia melindunginya dari bahaya dan membelanya di belakang punggungnya.” [HR. Bukhari].
Dalam kasus Uyghur ini tidak ada kamus separatisme. Ini soal penindasan dan bahkan pembantaian. Lagipula fakta sejarah justru menunjukkan tanah Xinjiang adalah tanah kaum Muslimin. Narasi Dubes China justru bertolak belakang dengan sejarah dan kenyataan hari ini. Jika memang ini kasus separatisme (dalam versi mereka) kenapa China sampai harus memberlakukan aturan tak masuk akal seperti: melarang puasa saat Ramadhan, melarang berjenggot, membasmi Quran hingga melarang salat berjamaah. Bahkan Pemerintah Cina secara ketat menempatkan pos-pos pemeriksaan di seluruh wilayah hingga perbatasan Xinjiang. Jelas separatisme hanyalah narasi palsu untuk menutupi alasan sebenarnya mereka melakukan penindasan terhadap Muslim Uighur. Penyebabnya hanya satu: Karena mereka Muslim. Karena mereka memeluk Islam..
Yang harus digarisbawahi dalam hal ini adalah hilangnya keberpihakan para pemimpin umat pada agamanya sendiri, membuat mereka dengan mudah tunduk pada kepentingan internasional,mudah disetir,bahkan membebek pada narasi penguasa untuk menggiring opini umum yang sengaja disetting untuk semakin mendiskreditkan persoalan besar umat muslim. Pengambilan sikap terhadap persoalan yang seharusnya memantik persatuan seluruh umat Islam di dunia, justru semakin memperjelas kegagalan dalam memahami persoalan umat dan semakin mengkotak-kotakan umat dengan sekat Nasionalisme. Keberpihakannya pada penguasa penjagal Tiongkok justru melanggengkan penyiksaan pada jutaan umat muslim di belahan negeri lain.
Merujuk pada peristiwa ini, para penguasa muslim seharusnya kembali kepada standar syara yang sejak awal telah mampu menyelesaikan problematika rumit pada umat dengan begitu jelasnya. Solusi terhadap krisis keadilan yang tengah melanda etnis muslim Uighur tidak lain adalah dengan mengembalikan perisai hakiki yang akan melindungi umat dari segala macam bentuk penindasan dan perampasan hak-haknya,yakni Khilfah Islam. Sebab hanya Khilafah Islam lah yang mampu menjamin terterapkannya syariat Islam,yang nantinya akan menjamin terlaksananya penjagaan yang hakiki terhadap umat Islam dimanapun ia berada.
Para tokoh di seluruh negeri Muslim tak boleh tinggal diam terhadap hal ini, sudah saatnya para ulama,bersama tokoh-tokoh di negeri muslim, serta para aktivis dakwah Islam menyeru pada seluruh umat Islam di dunia,bahwa solusi terbaik dalam mengakhiri penindasan Muslim Uighur adalah dengan mengembalikan perisai terkuat Islam yang akan mampu melindungi Muslim Uighur dan umat Muslim di belahan dunia lain,sekaligus yang akan melenyapkan hegemoni kapitalisme yang menciptakan penderitaan demi penderitaan umat Islam saat ini. Yakni mengembalikan institusi Islam dalam bingkai Daulah Khilafah. Karena hanya dengannya peraturan Islam yang begitu mulia dan paripurna akan optimal diterapkan di dunia ini, demi terjaganya kehormatan serta terjaminnya kesejahteraan seluruh umat manusia.
Kembalilah pada track pemikiran politik Islam, jangan mudah termakan dengan narasi palsu rezim China. Ingatlah kembali sabda Rasulullah Saw, teladan umat “Hilangnya dunia,lebih ringan bagi Allah dibanding terbunuhnya seorang Mukmin tanpa hak.” (HR.Nasai 3987,Turmudzi 1455,dan dishahihkan Al-Albani). Maka hilangnya nyawa Muslim Uyghur adalah bencana besar bagi umat Muhammad Saw.
Iga latif , Jumat 8 Maret 2019
#KopiMuslimah
#MenembusCakrawalaDunia
Penulis: Iga Latif
Reviewer: Juan Martin
Editor: Fika Komara
0 Komentar