
Urban sprawl adalah fenomena yang dapat dilihat dari kenampakan fisik spasial yang berkorelasi dengan perkembangan wilayah perkotaan secara semrawut menuju wilayah pinggiran kota maupun sifat perubahan dari aspek sosial dan ekonomi (Giyarsih, 2010).
Kota sebagai ruang strategis seringkali menjadi arena kompetisi untuk menciptakan peluang-peluang penghidupan. Wajah ruang kota juga tidak jarang menjadi konflik ruang hidup antara masyarakat lokal dengan para investor pengembang lahan. Hadirnya dukungan kebijakan pemerintah yang memberikan karpet merah terutama pada investor besar, menjadikan penguasaan ruang hidup perkotaan dikuasai oleh para kapital dan posisi masyarakat lokal menjadi semakin marginal. Pemerintah melalui instrumen perencanaan pembangunan memfasilitasi investasi yang merupakan bagian dari bekerjanya akumulasi modal yang diperoleh melalui perampasan yang legal (Harvey, 2003).
Kapitalisme sebagai ruh pembangunan hari ini berhasil menjadikan kota tumbuh berkembang secara semrawut (urban sprawl) sesuai kemauan pemilik modal dalam melakukan ekspansi penguasaan lahan. Sebagai contoh kota besar yang merepresentasikan hal ini adalah Kota Yogyakarta dan Kota Makassar.
Kota Yogyakarta dengan visinya sebagai Kota Pendidikan Berkualitas, Pariwisata berbasis Budaya dan Pusat Pelayanan Jasa yang berwawasan lingkungan, hadir mewadahi tumbuh kembang para korporat pengembang jasa hotel ataupun bisnis property yang diakomodir oleh Pemerintah. Keberpihakan itu bahkan sampai pada titik terjadinya penyimpangan terhadap rencana tata ruang wilayah Kota Yogyakarta pada lahan permukiman yang teralihfungsikan menjadi fasilitas jasa perhotelan. Alhasil, kelompok masyarakat yang tidak dapat mengakses ruang hidup perkotaan secara kopmetitif, akan menempati ruang-ruang marginal.
Sementara pada kasus Kota Makassar, wajah pembangunan kapitalistik terlihat pada akomodasi yang diberikan pemerintah berupa kemudahan regulasi dalam proyek reklamasi. Reklamasi mulai gencar dilakukan sejak tahun 2009 hingga tahun 2015 di Pesisir Kota Makassar. Kasus penimbunan pesisir Mariso, Pembangunan hotel Swiss Bell, penimbunan pesisir Buloa, reklamasi pantai oleh pihak GMTDC serta reklamasi proyek CPI merupakan serangkaian kegiatan reklamasi di pesisir kota Makassar (Walhi, 2016). Kegiatan reklamasi yang selama ini terjadi telah berdampak serius terhadap ekosistem wilayah reklamasi dan wilayah perairan sekitarnya (Kamal, 2017). Kalangan masyarakat lokal yang berprofesi sebagai nelayan di sekitar area ini menjadi golongan yang paling terdampak negatif akibat pembangunan ini.
Pola penguasaan lahan oleh korporat di Yogyakarta maupun di Makassar memiliki kesamaan dalam menggeser penduduk lokal yang tidak mampu bersaing hidup. Hal ini menunjukkan bahwa sejatinya penataan ruang yang berkelanjutan adalah ilusi. Pada praktik di lapangan, yang berlangsung justru penataan uang berkelanjutan antara korporat dan beberapa oknum birokrat.
Fenomena ini sangat berbanding terbalik dengan wajah pembangunan yang menjadikan Islam sebagai ruhnya. Islam sebagai poros pembangunan akan menimbang secara adil pola pembangunan yang akan diterapkan. Penguasaan lahan yang tidak dibenarkan syara’ tidak akan dipersilahkan, apalagi sampai diberi karpet merah. Proyek-proyek pembangunan yang dihadirkan juga betul-betul berdasarkan kebutuhan masyarakat umum, bukan berdasarkan keinginan segelintir masyarakat yang memiliki kepentingan tertentu.
أَفَمَنْ أَسَّسَ بُنْيَانَهُ عَلَىٰ تَقْوَىٰ مِنَ اللَّهِ وَرِضْوَانٍ خَيْرٌ أَمْ مَنْ أَسَّسَ بُنْيَانَهُ عَلَىٰ شَفَا جُرُفٍ هَارٍ فَانْهَارَ بِهِ فِي نَارِ جَهَنَّمَ ۗ وَاللَّهُ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ
“Maka apakah orang-orang yang mendirikan bangunan (masjid) atas dasar takwa kepada Allah dan keridaan(-Nya) itu lebih baik, ataukah orang-orang yang mendirikan bangunannya di tepi jurang yang runtuh, lalu (bangunan) itu roboh bersama-sama dengan dia ke dalam neraka Jahanam? Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim.” (QS. At Taubah: 109)

0 Komentar