The silences of the sea atau keheningan di laut sepertinya istilah yang tepat untuk menggambarkan kondisi jihad di periode Abbasiyah. Pada fase awal berdirinya, ekspedisi dan pengembangan angkatan laut berjalan stagnan. Tetapi, ini bukan berarti daulah melupakan melupakan lautan khususnya wilayah Mediterania pada saat itu. Laut Mediterania justru menjadi ruang khusus para khalifah untuk melakukan perang. Adanya evolusi dalam gagasan perbatasan dan bentuk jihad menunjukkan strategi pertahanan di zona perbatasan yang sangat aktif. Hal ini tentunya menarik untuk dikaji lebih mendalam.

POLITIK MARITIM KHILAFAH ABBASIYAH DI LAUT MEDITERANIA

Menguasai wilayah maritim adalah sebuah keniscayaan untuk melanjutkan jihad yang telah dimulai sejak masa Rasulullah SAW ke penjuru dunia yang lebih luas. Jalur maritim sering lebih disukai untuk memindahkan orang dan barang, terutama di daerah yang sulit diakses melalui darat. Perjalanan haji, perjalanan dagang, perjalanan diplomatik para pejabat dilakukan melalui laut. Karena itulah mengamankan laut merupakan politik penting para khalifah.

Politik jihad Abbasiyah tetap berpijak pada batu loncatan yang telah dibangun pada masa Umayyah. Keruntuhan Umayyah tidak berarti kekuasaan setelahnya menyepelekan penguatan infrastruktur maritim, administrasi, dan tentara yang sudah dibangun sebelumnya untuk melaksanakan jihad laut. Sejak masa Umayyah, pembaruan dokumentasi bahari dilakukan sebagai upaya para ahli hukum untuk membuat agar pelayaran legal sesuai dengan kriteria Islam.

Negara menjadi pemeran utama pengelolaan Laut Mediterania. Seluruh kompleks pelabuhan merupakan milik negara termasuk tepi sungai sebagai Pelabuhan Kota Seville, tidak boleh ada struktur lain di atasnya karena merupakan titik vital kota (area keluar masuk komoditas, perlindungan orang asing, galangan kapal).  Negara menyusun daftar perjalanan dan pelabuhan, deskripsi pelabuhan dan infrastruktur angkatan laut, dan inventaris sistem pertahanan pantai, termasuk catatan lokasi ribat dan pemetaan zona pesisir yang jauh lebih komprehensif.         

Seperti yang ditunjukkan oleh dekorasi di istana Samarra, orientalisasi tentara khalifah Abbasiyah menggeser bidang representasi jihad laut menjadi cenderung ke darat. Penunggang kuda menggantikan kapal dan pelaut dalam representasi pertempuran. Komitmen utama para khalifah dalam perang sekarang adalah membela wilayah Dar al-Islam

Kebutuhan untuk mempertahankan wilayah lebih diutamakan daripada melakukan serangan baru di ibu kota Bizantium. Murabit yang membela Ifriqiya di pesisir pantai dan mengamankan benteng lebih utama daripada pejuang yang menyeberangi air ke Sisilia dan berpartisipasi dalam penaklukan pulau itu. Para sukarelawan yang mengawasi laut dan mempertahankan pantai, seperti penjaga perbatasan timur dari serangan Turki tetap diberi tingkat rasa hormat yang tinggi.

Khalifah tetap mengkonsolidasikan kota-kota pelabuhan sebagai wilayah perbatasan yang diprioritaskan untuk dijaga. Karakteristik khas kota pelabuhan Islam dibangun agar berperan sebagai benteng maritim, pelabuhan laut, galangan kapal, dan titik keberangkatan para sukarelawan jihad. Khalifah memerintahkan inspeksi organisasi maritim, kapal, dan kru yang ditinggalkan oleh pemerintahan Umayyah. Garis pantai Suriah-Palestina ditempatkan di bawah kendali langsung khalifah. 

Keterikatan penduduk di kota pelabuhan diperkuat meski komposisi pendatang dan penduduk asli cukup seimbang. Menurut ahli geografi, faktor lain dalam kekuatan wilayah adalah kemajuan Islamisasi yang memperkuat keterikatan penduduk. Khilafah memobilisasi pelaut yang berpengalaman untuk melawan orang-orang Latin. Penduduk pelabuhan-pelabuhan Andalusia yang didominasi komunitas berlatar belakang Arab, Berber, dan Andalusia bergabung menjadi populasi campuran.

Namun demikian, tak hanya kota pantai, wilayah perairan tetap menjadi perhatian meski dengan strategi politik berbeda dari Umayyah yang lebih agresif. Membangun legitimasi di laut adalah agenda utama kekhalifahan Abbasiyah yang mencakup legitimasi diplomatik, ekonomi, dan hukum dalam rangka menanamkan reputasi Khilafah. Dalam hal kebijakan maritim, perhatian utama ‘Abd al-Mu’min adalah untuk mengontrol lalu lintas antara dua benua. 

Menerima dan mengirim duta besar juga memungkinkan kekhalifahan Baghdad untuk merebut kembali jantung urusan Mediterania, sebagai lawan bicara langsung dengan musuh-musuh Kristen, sambil mengingatkan rakyat Muslim bahwa perang dan perdamaian berada di bawah otoritas eksklusif khalifah. Hubungan diplomatik dengan orang-orang Latin di Catalonia dan dengan pelabuhan-pelabuhan Laut Tyrrhenian memastikan jihad sebagai komitmen maritim

Ada yang unik dari strategi politik kemaritiman Khilafah Abbasiyah. Khilafah memberi ruang keterlibatan pelaut independen baik untuk keuntungan finansial mereka sendiri maupun untuk melemahkan musuh selama masih bagian dari strategi khalifah. Pemeliharaan kapal, perekrutan pelaut, operasi angkatan laut musiman, dan administrasi pelabuhan adalah tanggung jawab penuh dari perwira tinggi angkatan laut dan kru yang memutuskan operasi. Pelaut independen ini bergerak menurut jadwal yang ditetapkan oleh administrasi khalifah, berdasarkan hubungan dan perjanjian dengan Bizantium. 

Serangan maritim bukanlah pekerjaan “bajak laut” sebagaimana citra yang dibangun dalam sejarah Bizantium, tetapi para pelaut yang melayani khalifah, kadangkala berlayar atas nama mereka sendiri maupun bergabung dengan barisan tentara atas perintah penguasa. Dari sudut pandang musuh, mereka terlibat dalam pembajakan, tetapi di mata otoritas Muslim, itu adalah perampokan perdagangan dan pelemahan musuh. Mereka memperhatikan kepentingan khalifah dan berpartisipasi dalam operasi yang diperintahkan oleh penguasa atau jenderalnya, seperti tentara di perbatasan.

Dalam naungan dakwah dan jihad Islam, ekonomi maritim meluas. Perang bukan hanya sumber pemiskinan. Sebaliknya, itu adalah dasar dari ekonomi berisiko tinggi yang dalam jangka panjang sangat menguntungkan bagi perkembangan kota-kota pantai di sepanjang Laut Mediterania. Beberapa ulama dan penguasa muslim tak tanggung-tanggung menyertakan harta pribadi sebagai investasi yang diperuntukkan membangun ribat. Mulai abad kesembilan, berbagai jenis investasi digelontorkan di bidang kelautan: pekerjaan konstruksi di kota-kota pelabuhan, pelatihan armada, dan konsesi tanah. Perang itu mahal tetapi menghasilkan gerakan manusia dan ekonomi yang memiliki dampak besar pada Mediterania abad pertengahan.

Pengadaan situs dan bangunan yang melindungi tentara dan sukarelawan di kota pelabuhan membutuhkan sejumlah besar dana untuk membangun pertahanan. Membayar tentara yang telah menetap di sana bersama keluarga mereka serupa dengan investasi abadi yang mengubah wilayah maritim ini menjadi zona yang sangat aktif. Kelompok utama yang bergerak atas perintah khalifah atau emirat tak hanya kontingen tentara, tetapi juga pekerja terampil seperti tukang kayu dan pekerja lain di galangan kapal yang didirikan di pelabuhan Suriah untuk memelihara dan membangun kapal.

Industri tenaga kerja perkapalan bergeliat. Pelaut yang direkrut kebanyakan adalah tawanan yang dapat membeli kebebasan mereka dengan bekerja di kapal-kapal Muslim. Menangkap awak kapal adalah peluang bisnis yang sangat baik dan dapat menyebabkan masuknya tawanan ke jajaran Muslim. Sulit untuk mencari hubungan antara tempat asal dan kemampuan berlayar. Saudagar kapal harus menghabiskan banyak uang untuk memiliki pelaut yang terampil.

Pembangunan legitimasi hukum di wilayah perairan terus berkembang. Perhatian para ahli hukum terhadap isu-isu maritim menyoroti perkembangan sosial utama sejak abad kesepuluh. Pada abad kedua belas, ekspansi perdagangan yang cepat di pelabuhan-pelabuhan Muslim, praktik perjalanan laut, dan perang laut dan dampaknya menciptakan permintaan akan kerangka kerja yang lebih tepat dan mutakhir tentang penyewaan, konsekuensi dari kapal karam, dan status pelaut. Fenomena sosial baru seperti status istri yang ditinggal sendiri oleh suami pelaut atau syarat bepergian di negeri kafir, yang secara teori dilarang tak luput dari pembahasan ulama dan memerlukan campur tangan pembuat undang-undang.

Sistem perekrutan angkatan laut dibangun dengan serius seiring berjalannya strategi politik maritim dan pembangunan fisik kota pelabuhan. Ada hampir tiga ribu huffaz, berusia hampir sama dan dari keluarga baik-baik, yang diajari karya-karya Almohad Mahdi, seperti tauhid selama enam bulan. Khalifah secara pribadi mengambil tanggung jawab untuk menguji pengetahuan mereka dan memberi mereka nasihat. Di hari-hari lain, dia melatih mereka dan memperkenalkan mereka semua teknik pertempuran, anggar, panahan, duel dengan tombak, dan lempar lembing; dia menyuruh mereka berkuda dan berenang.

Badan air buatan yang dekat dengan istana [di Marrakesh] dibangun untuk tujuan latihan manuver yang dipimpin langsung Khalifah. Kapal besar dan kecil (qata’i) berpartisipasi dalam manuver ini dan pelaut pemula harus belajar mendayung, berperang, menaiki kapal musuh, dan memimpin unit mereka. Membangun badan air buatan yang cukup besar untuk mensimulasikan pertempuran laut di ibukotanya, yang terletak jauh di pedalaman; lebih dari sebuah “akademi angkatan laut” yang sesungguhnya. Para khalifah menempatkan ruang maritim di pusat kenegaraan. Tokoh-tokoh dalam posisi kepemimpinan tertinggi, khususnya di militer, harus tahu bagaimana memimpin sebuah kapal dan satu skuadron. 

Keunikan model Khilafah Abbasiyah dalam strategi politik maritim di Laut Mediterania tidak sama sekali melemahkan kekuatan Islam meski tak bersifat agresif. Layaknya mercusuar, Khilafah Abbasiyah sangat bersinar dan menarik dunia internasional membangun diplomasi dan perdagangan dengannya. Reputasi sebagai negara maju, tangguh, dan berperadaban berhasil mengecilkan musuh-musuhnya.