Climate Change (perubahan iklim) menjadi topik yang semakin hangat dibicarakan dalam lingkaran meja konferensi tingkat dunia. Perubahan iklim merupakan dampak dari hasil Global Warming (pemanasan global), dimana terjadi perubahan suhu dari tahun ke tahun. Kondisi ini merupakan persoalan lingkungan yang kian memprihatinkan dan perlu mendapatkan perhatian serius. 

Isu lingkungan ini terus bergulir sejak pertemuan global PBB di Stockholm tahun 1972 hingga pelaksanaan KTT AIS (Archipelagic and Island State) tanggal 10-11 Oktober 2023 di Bali yang membahas mengenai perubahan iklim yang menyebabkan naiknya muka air laut. Melansir dari situs concernusa.org, selama 15 tahun terakhir krisis iklim yang semakin dalam telah meningkatkan frekuensi dan dampak bencana alam. Laporan ICC terbaru yang diterbitkan tahun 2022 menegaskan bahwa perubahan iklim yang disebabkan oleh manusia menyebabkan gangguan berbahaya dan meluas di alam dan memengaruhi kehidupan dan mata pencaharian miliaran orang, meskipun ada upaya untuk mengurangi risiko. 

Salah satu faktor penyebab terbesar terjadinya perubahan iklim ini adalah pelepasan emisi karbon yang berasal dari pembakaran bahan bakar fosil yakni sebanyak 9,5 miliar metrik ton per tahun, sedangkan deforestasi dan perubahan tutupan lahan menyumbang sebesar 1,5 miliar metrik ton. Hal ini mengakibatkan terjadinya ketidakseimbangan jumlah pelepasan tersebut dengan penyerapan emisi CO2 oleh hutan vegetasi lainnya yang hanya mampu menyerap 3,2 miliar metrik ton dan lautan 2,5 miliar metrik ton.   

Sejumlah negara telah melakukan berbagai upaya untuk mencegah terjadinya lonjakan perubahan iklim secara signifikan, dengan berusaha menyelaraskan tiga pilar pembangunan berkelanjutan (sustainable development); ekonomi, sosial dan lingkungan. Salah satunya yaitu menerapkan program Green Economy (Ekonomi Hijau) pada setiap pembangunan yang dijalankan. 

Ekonomi hijau adalah upaya untuk menghasilkan produk yang lebih ramah lingkungan dan mendukung pengurangan emisi karbon (Nugroho, 2022). Dalam ekonomi hijau, pertumbuhan lapangan kerja dan pendapatan didorong oleh investasi publik dan swasta ke dalam kegiatan ekonomi, infrastruktur dan aset yang memungkinkan pengurangan emisi karbon dan polusi, peningkatan energi dan efisiensi sumber daya dan pencegahan hilangnya keanekaragaman hayati dan jasa ekosistem (UNEP, 2022).

Pada momentum Presidensi G20, Indonesia tidak ketinggalan unjuk gigi dalam pembiayaan rendah karbon dan berkelanjutan sekaligus mengundang investasi pada energi baru dan terbarukan. Indonesia juga berkomitmen menyusun mekanisme transisi energi untuk mengakselerasi sumber energi baru yang lebih ramah lingkungan.

Komitmen itu telah tercantum dalam Perpres Nomor 55 Tahun 2019 tentang Percepatan Program Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai (Battery Electric Vehicle) untuk Transportasi Jalan, khususnya dalam pasal 3 yang menyebutkan bahwa salah satu percepatan program KBL Berbasis Baterai untuk transportasi jalan diselenggarakan melalui perlindungan terhadap lingkungan hidup. 

Sekilas, upaya tersebut terlihat seperti sebuah solusi yang akan menyelesaikan permasalahan perubahan iklim dunia saat ini. Namun, satu penelitian dari Onn et al (2018) justru menyimpulkan hal sebaliknya. Studi mencatat kendaraan listrik akan menimbulkan pelepasan karbon yang sedikit lebih tinggi dibanding kendaraan berbasis bensin. Persoalan itu berasal dari dominasi pembangkit listrik di Malaysia yang berasal dari energi batu bara (40%) dan gas bumi (52%). Sementara di Afrika Selatan, setiap kendaraan listrik melaju satu kilometer, emisi sulfur oksida yang dihasilkan mencapai 35-50 kali lebih banyak dibanding kendaraan konvensional. Jejak karbon kendaraan listrik diperkirakan lebih besar sekitar 17%-64%. Hal ini menunjukkan upaya mengurangi emisi karbon dengan memaksimalkan penggunaan kendaraan listrik bukan keputusan tepat. Sebab, produksinya justru akan menambah daftar panjang isu lingkungan seiring dengan meningkatnya laju deforestasi. Penerapan kebijakan kendaraan listrik ini juga akan berdampak terhadap semakin diburunya eksploitasi sumber daya alam nikel sebagai bahan baku baterai, salah satunya di Indonesia. 

Indonesia memiliki cadangan nikel terbesar di dunia dan menempati posisi pertama di Asia Tenggara. Tak mengherankan, jika Indonesia disebut-sebut memiliki peluang menempati jajaran teratas pasar mobil listrik skala global. Berbagai kebijakan pun dikeluarkan demi memaksimalkan produksi tambang ini, termasuk hilirisasi ekspor bijih nikel. 

Data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menguraikan bahwa salah satu wilayah yang menjadikan nikel sebagai bahan galian primadona adalah Provinsi Sulawesi Tenggara. Eksplorasi nikel di daerah ini sudah berlangsung sejak zaman kekuasaan Belanda tahun 1934 berlanjut hingga hari ini dengan kebijakan-kebijakan yang seringkali terjadi tarik-ulur dan semakin fleksibel terhadap perizinan usaha tambang juga keran investasi asing yang kian dilonggarkan.

Sebagai negara yang mendominasi industri Nikel terbesar di dunia, China memastikan diri berada di barisan terdepan membenamkan investasinya di Sulawesi Tenggara. Pada tahun 2013 negeri tirai bambu ini mendirikan industri smelter yang dipegang oleh PT. Virtue Dragon Nickel Industry di Morosi, Kabupaten Konawe. Usaha peningkatan industri bijih nikel diperkuat dengan adanya PT. QMB New Energy Materials yang termasuk dalam Kawasan Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP) di Kabupaten Morowali, Sulawesi Tengah (perbatasan Sulawesi Tenggara). Perusahaan tersebut bergerak dibidang produksi bahan baku baterai listrik atas kolaborasi kerjasama Indonesia, China dan Jepang. Pemerintah mendorong penuh pengelolaan bijih nikel ini demi menopang program percepatan kendaraan listrik dengan mengakomodir kawasan tersebut ke dalam kawasan Proyek Strategis Nasional. Artinya, segala sesuatu yang berkaitan dengan proyek tersebut berada di bawah pengawasan langsung oleh pemerintah pusat.

Disisi lain, persoalan keuntungan menjadi hal krusial untuk ditelisik lebih jauh sebab fakta berbicara bahwa, Indonesia selaku pemilik sumber daya mineralnya hanya menerima persenan kecil dari perusahaan tambang berupa pajak dan penerimaan negara bukan pajak (royalti dan landrent). Pemasukan dari perusahaan smelter berupa pajak dan royalti hanya sebesar 5% harga jual Nikel pig iron, sehingga keuntungan yang jauh lebih besar otomatis lebih menebalkan saku para investor. Lalu, apa yang diperoleh rakyat dari kelimpahan sumber daya di tanahnya sendiri? 

Setali tiga uang dengan pendapatan negara yang bikin meringis, dampak lingkungan akibat penambangan ini juga membuat hati teriris. Penduduk sekitar lokasi industri mau tak mau harus menampung segala bentuk kerusakan yang ditimbulkan. Asap dan debu pabrik mencemari udara, daerah pesisir juga ikut tercemar sehingga mengakibatkan hilangnya sumber mata pencaharian utama masyarakat lokal. Isu konflik sosial turut menorehkan warna kelam di area pertambangan berupa pergesekan antara pekerja lokal dan asing, eksploitasi tenaga kerja, bisnis prostitusi hingga peredaran narkoba dan miras impor. 

Segala potensi yang seharusnya bisa dinikmati masyarakat, akhirnya dihisap kuat oleh para oligarki, baik itu sumber daya alam, sumber daya manusia dan daya belinya. Mereka mendapat keuntungan luar biasa dari kekayaan alam milik kita, sementara yang kita peroleh hanya sisa-sisa hasil pengolahan dan kerusakan ekologis yang parah. Bisa dilihat bagaimana China sebagai produsen baterai terbesar di dunia tetapi tidak memiliki industri bahan baku dalam negaranya dan justru mendominasi produksi nikel di negara lain.

Tidak berlebihan jika istilah “Natural Resources Course” atau Kutukan Sumber Daya Alam begitu melekat pada proses pengolahan sumber daya di wilayah manapun di seluruh dunia. Sebab, kenyataan yang berkembang di lapangan memang demikian. Dimana ada eksploitasi sumber daya yang tidak diiringi dengan meningkatnya tingkat perekonomian secara merata, maka masyarakat lokal yang sejatinya paling banyak mendapat kerugian. 

Rentetan kejadian miris tersebut terjadi akibat penerapan paradigma pembangunan ala kapitalisme. Pengelolaan sumber daya yang didasarkan pada paradigma pembangunan kapitalis-liberal, memicu timbulnya sederet dampak kerusakan di segala dimensi ruang. Sehingga konsep pembangunan berkelanjutan yang dicanangkan tidak akan pernah bisa tercapai apabila sistem tersebut terus diadopsi, karena sesungguhnya sistem ini menempatkan keuntungan materi di atas segalanya. 

Jika dilihat sejak aspek fundamental, sistem kapitalisme secara alami menjadi pendorong pertumbuhan ekonomi global, meningkatkan konsumsi produk, dan eksploitasi sumber daya alam yang berpusat terhadap keuntungan ekonomi. Hal ini yang juga secara alami menyebabkan tuntutan pertumbuhan produktivitas secara masif, tanpa peduli lagi terhadap aspek lingkungan hingga memperparah kerusakan ekologis di berbagai negara. Kerusakan ekologis yang terjadi seringkali diawali dari kegiatan pembabatan tutupan lahan hutan, yang seharusnya menjadi zona lindung, berubah menjadi tutupan lahan kegiatan industrialisasi. Ketika lahan vegetasi hutan di area lereng curam semakin dibabat, secara alami akan mempengaruhi kestabilan suhu. Melalui proses fotosintesis, hutan menyerap karbon dioksida (CO2), mengatur suhu melalui penyerapan energi matahari dan evapotranspirasi. Jadi, keberadaan hutan memiliki peran penting dalam menjaga keseimbangan iklim global. Pada industri nikel yang saat ini digalakkan di Indonesia, tidak sedikit yang melakukan pembabatan hutan secara masif di area lereng curam. 

Siklus pengelolaan sumber daya alam ala kapitalisme ini menunjukkan ketidakmampuannya dalam menjaga bumi. Pemikiran kapitalis yang mandarah daging dalam tubuh umat baik dari sisi individu, masyarakat sampai negara akhirnya tidak bisa mengontrol perputaran arus produk yang semakin tidak terkendali. Maka sangat layak jika disebut bahwa, paradigma kapitalisme merupakan biang kerok kerusakan di segala sisi. 

Allah Swt dalam Q.S. Ar-Rum : 41 telah memberi peringatan tentang perbuatan manusia yang melakukan kerusakan di atas muka bumi.      

Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia; Allah menghendaki agar mereka merasakan sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)”.

Lain halnya dengan kapitalisme yang menempatkan lingkungan berdasarkan -jika dan hanya jika- sejalan dengan keuntungan ekonomi dan kemauan para oligarki, sistem Islam memandang bahwa memelihara lingkungan merupakan bagian dari amanat wahyu. Dititahkan langsung oleh Sang Pengatur alam semesta sehingga menjadi satu poin yang tidak terpisahkan dari representasi keimanan. Allah Swt dalam Q.S. al-A’raf : 56 juga telah memperingati manusia, khususnya muslim.

“Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, sesudah (Allah) memperbaikinya dan Berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut (tidak akan diterima) dan harapan (akan dikabulkan). Sesungguhnya rahmat Allah Amat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik.” (Q.S. al-A’raf : 56)

Penjagaan Islam terhadap lingkungan berarti menjaga umat untuk terus berada pada jalur kehidupan yang seimbang sehingga aktivitas manusia dan pembangunannya tidak berdampak terhadap perubahan iklim yang bisa menyebabkan terjadinya segala bentuk krisis kebutuhan primer di ranah global dan mengancam keberlangsungan hidup umat manusia di seluruh dunia.

Barangsiapa memelihara kehidupan seorang manusia, maka seakan-akan dia telah memelihara kehidupan semua manusia. Sesungguhnya Rasul Kami telah datang kepada mereka dengan (membawa) keterangan-keterangan yang jelas. (Q.S. Al-Maidah : 32)


0 Komentar

Tinggalkan Balasan

Avatar placeholder

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *