Alhamdulillaah berkat rahmat Allah Swt tim IMuNe telah menyelesaikan kunjungan pertama ke kota Pontianak Kalimantan Barat, selama lima hari hingga 8 Mei 2018. Banyak hal yang telah kami temui, masya Allah! Berbagai diskusi dari mulai forum formal FGD, sharing gagasan, hingga obrolan santai di tepi Sungai Kapuas – sungai terpanjang di Indonesia – Bersama para aktivis Muslimah di Kota Pontianak. Alhamdulillahilladzi bini’matihi tatimmu shalihat…
Kalimantan Barat berada pada posisi segitiga emas yaitu Indonesia, Malaysia, dan Singapura. Kalbar juga berada di sisi Selat Karimata. Posisi geografis ini sangat strategis bagi lalu lintas perdagangan dunia maupun domestik. Potensi sumber daya alam (SDA) yang dimiliki pun beragam, seperti bauksit, emas, pasir besi, batu bara, dan uranium serta perkebunan kelapa sawit yang luasnya sudah mendekati 1 juta hektar. Untuk pilot study ini tim IMuNe memilih kota Pontianak terlebih dahulu, karena sebenarnya kota Pontianak juga berbatasan dengan Selat Karimata, sama-sama kota pesisir, hanya saja kabupaten Kayong Utara dan Ketapang adalah yang terdekat dengan pusat Selat, dan pernah menjadi lokasi penyelenggaraan Sail Karimata 2016.
Satu kegelisahan yang kami tangkap adalah banyak tokoh-tokoh Muslimah di Pontianak resah dengan kian maraknya tenaga kerja asing masuk ke Kalimantan Barat. Bahkan fakta ini disaksikan sendiri oleh tim IMuNe yang satu pesawat dengan para TKA ini. Temuan lain yang tidak kalah pentingnya adalah saat FGD Aktivis Karimata, dimana salah satu nara sumbernya Ibu Desy Khairani (aktivis REST Kalimantan Barat) yang pernah melakukan penelitian lapangan di pulau Maya Karimata memaparkan kondisi ironis dari masyarakat di Kabupaten Kayong Utara dan Ketapang di pinggiran Selat Karimata yang mengalami pembodohan, pemiskinan dan kekerasan akibat beroperasinya korporasi asing di lokasi-lokasi tersebut. Miris!
Dari narasi yang ditulis oleh Euis Laelawati – peserta workshop Muslimah Timur Jauh di Pontianak- didapati equator.co.id (Desember 2016) memberitakan bahwa di Kabupaten Ketapang ada negara di dalam negara. Maraknya TKA asal Tiongkok yang bekerja di PT Well Harvest Winning Alumina Refinery (PT. WHW AR) di Kecamatan Kendawangan, disinyalir mencapai ribuan. Terkait PT WHW ini, Komisi I DPRD Provinsi Kalbar, Zulkarnaen Siregar mengungkap bahwa semua posisi dan jabatan penting di jajaran manajemen PT WHW AR dikuasai Cina, WNI dilarang masuk di jajaran manajemen perusahaan termasuk di jajaran personalianya. Bahkan menurut informasi Desy Khairani, ada kasus terbunuhnya seorang perempuan akibat tereksploitasi melayani nafsu bejat tenaga asing, namun tidak ada satupun warga yang berani mengeksposenya ke publik. Bayangkan, betapa terkooptasinya mental masyarakat pesisir, padahal lokasi dan tanah mereka sangat kaya dan strategis. Astaghfirullah, miris!
Temuan lain yang juga mengiris hati adalah saat tim IMuNe berdiskusi dengan komunitas Mahasiswi Universitas Tanjung Pura, kampus terbesar di Kalimantan Barat. Kepedulian dan wawasan para mahasiswa terhadap masyarakat pinggiran di pesisir Selat Karimata teramat rendah, termasuk warga di Ibukota Pontianak. Kekayaan aset-aset geostrategis yang dimiliki Kalimantan Barat, nampaknya belum banyak disadari oleh penduduk di Kalimantan Barat baik yang tinggal di ibukota apalagi masyarakat pinggiran yang berliterasi rendah.
Sehingga pertanyaan penelitian tim IMuNe sementara terjawab. Ternyata korelasi antara lokasi strategis Selat Karimata dengan kesadaran geopolitik masyarakatnya sangatlah rendah, pihak asing malah lebih menguasai informasi kekayaan Kalbar, ini membuat mereka menjadi santapan korporasi asing. Perlu ada upaya sistematis dan simultan untuk melakukan “development thinking” pada masyarakat di Kalimantan Barat agar lebih aware dengan kekayaan alam dan lokasi strategisnya. Walhasil, rendahnya kesadaran geografis masyarakat ini mengindikasikan belum adanya budaya spasial (keruangan) dan kesadaran politik dalam masyarakat. Kapitalisme telah mengindividualisasi masyarakat hingga merasa nyaman dengan wawasan yang sempit soal tanahnya sendiri.
Jakarta, 9 Mei 2018
Ukhtukum,
Fika Komara
CEO Institut Muslimah Negarawan
1 Komentar
Desy Khairani · Mei 9, 2018 pada 8:41 am
MasyaAllah, semoga tulisan ini bisa membuka kesadaran masyarakat dan pemerintah kalbar untuk serius memperhatikan dampak2 buruk kalau edukasi terhadap geostrategis pulau maya karimata tidak dilakukan secara serius. Menyadarkan masyarakat bahwa melimpahnya SDA yg ada disana merupakan kekayaan yg patut untuk dikelola secara bijak bukan menjadi kekayaan milik asing.