Oleh : Ayu Paranitha
Overgeneralisasi, kata ini yang langsung terpikir melihat fenomena yang terjadi belakangan. Aksi teror yang menyerang gereja dengan latar belakang semangat jihad pelakunya. Apa dampaknya? Media arus utama tentu saja membuat laporan eksklusif tentangnya, mulai dari kejadian sampai motif para pelaku, tidak lupa dilengkapi dengan infografis nya.
Dampaknya? Tidak bisa dinafikan muncul antipati di tengah masyarakat begitu mendengar kata jihad, khilafah, dan tidak lupa stigmatisasi ketika melihat wanita bercadar atau lelaki dengan janggut dan celana cingkrang.
Dalam salah satu episode di film Rikuo, dikisahkan tentang seorang atlet lari yang baru sembuh dari cedera. Cedera sang atlet salah satu kontributornya adalah sepatu yang tidak mendukung gaya larinya. Hasilnya? sponsorship buat sang atlet dicabut karena dianggap dia tidak akan bisa kembali ke dunia lari akibat cederanya. Lalu datang toko sepatu tradisional yang punya cita-cita memasuki pasar baru, sepatu olahraga dengan fokusnya adalah sepatu lari,
long story short, perusahaan ini mampu membuat sepatu dengan material dan desain yang mendukung gaya lari sang atlet. Cedera sang atlet pun sembuh dan berhasil memenangkan kejuaraan di tahun baru. Kesuksesan sang atlet dengan dukungan perusahaan baru ini mengganggu perusahaan besar yang dulunya pernah menjadi sponsor sang atlet. Perusahaan besar dengan dukungan riset dan modal yang besar dikalahkan oleh perusahaan kampungan? ah yang benar saja!
Sang atlet diwawancara oleh wartawan majalah olahraga, tentu saja sang atlet menceritakan keunggulan sepatu baru nya ini, ditambah lagi dengan dukungan moril dari perusahaan kecil ini. Tapi, seperti bisa diduga, (permainan framing media), apa yang diceritakan sang atlet diubah sama sekali narasinya. Di majalah disebutkan kalau, atlet ini mengagumi atlet yang dia kalahkan (yang notabene disponsori oleh perusahaan besar), dan kekalahannya bukan karena sepatu rival nya yang jelek, tapi karena kondisi rivalnya yang sedang kurang prima. Marah? Ingin komplain dengan medianya? Oh tentu saja! Itu respon alami dari insting dasar manusia. Tapi, respon dari sang pelatih ternyata mengejutkan, dia bilang,
“Biarkan saja. Ini kenyataan. Kalau kau tak suka, tunjukkan prestasimu. Tunjukkan pada mereka dengan berlari. Mau kondisinya prima atau tidak, kalahkan (lawan tandingmu) sampai dia tak bisa berkelit. Hanya kau yang bisa membuktikan pada publik. Tak ada yang bisa membantumu. Yang bisa membuktikan hanya larimu saja. Karena itu, larilah sekuat tenaga.”
Cuplikan kisah di atas memang fiksi, tapi narasinya mirip dengan apa yang kaum muslimin hadapi hari ini. Framing jahat yang dilakukan oleh media tentu saja kita tidak menyukainya, tapi kenyataannya berita sudah tersebar, kita bisa apa? Realita bisa sama, tapi bagaimana narasi dibuat itu yang akhirnya akan mempengaruhi benak manusia. Lalu apa yang paling efektif yang bisa kita lakukan? Balikkan narasi itu dengan konsistensi amal kita. Buktikan kalau dalam kondisi apapun kita ini mulia dan itu bukan situasional, tapi kita memang mulia dari hal substansial sampai operasional. Sebagaimana kita pun belajar dari apa yang dialami oleh Rasulullah Muhammad Shalallahu Alaihi Wassallam. Bertubi-tubi propaganda hitam ditujukan kepada beliau. Ingatkah kita akan kisah Thufail?
Saat Ath-Thufail tiba di Mekah, orang-orang Quraisy mendekatinya dan berkata, “Engkau datang ke wilayah kami, dan laki-laki itu (Muhammad) yang berada di tengah-tengah kami telah memecah belah persatuan kami, membuat runyam urusan kami. Sesungguhnya ucapannya itu seperti sihir yang membuat konflik antara seorang anak dengan ayahnya. Memisahkan antara saudara. Memisahkan antara seorang suami dan istrinya. Kami khawatir terhadapmu dan kaummu. Nanti terjadi juga seperti yang kami alami. Karena itu, jangan berbicara dengannya dan jangan dengarkan ucapannya.”
Apa efeknya? Thufail menyumbat telinganya dengan kapas karena saking khawatirnya kalau perkataan Rasulullah Shalallahu Alaihi Wassallam sampai ke telinganya. Tapi, Allah berkehendak lain, Thufail justru mendengar sebagian perkataan Rasulullah, sampai akhirnya beliau mengatakan pada dirinya sendiri, “Kalau yang keluar darinya kebaikan, selayaknya aku terima.” dan kita tahu kisah selanjutnya, kebenaran Islam sampai kepada beliau dan akhirnya beliau pun dimuliakan karena menjadi pengemban dakwah.
Hari ini, sadar atau tidak, suka atau tidak, sebagian ajaran Islam dikriminalisasikan. Lalu apa yang kita lakukan? Sampaikan saja apa adanya, karena bagaimanapun sunatullahnya cahaya akan menerangi kegelapan.
يُرِيدُونَ لِيُطْفِئُوا نُورَ اللَّهِ بِأَفْوَاهِهِمْ وَاللَّهُ مُتِمُّ نُورِهِ وَلَوْ كَرِهَ الْكَافِرُونَ
Mereka ingin memadamkan cahaya Allah dengan mulut (tipu daya) mereka, tetapi Allah (justru) menyempurnakan cahaya-Nya, walau orang-orang kafir membencinya.(QS. Ash-Shaff [61]: 8)
0 Komentar