Oleh: Ermalinda Zebua Aktivis Gerakan Muslimah Negarawan Sifat sosial media yang real time, borderless, dan always on telah memungkinkan siapapun penggunanya dapat mengungkapkan apa yang dirasakan dan dipikirkan secara cepat dengan jangkauan yang luas. Munculnya fenomena kaum muda yang kritis melalui media sosial selayaknya disikapi secara proporsional, bukan dengan mudahnya melabeli dan menghujat. Jangan sampai kegelisahan mereka dalam melihat realitas umat justru dimanfaatkan oleh kekuatan sekular- liberal yang menguasai pusaran media untuk mengambil keuntungan. Kekritisan kaum muda sebetulnya hal positif. Melalui lisan dan tulisan, mereka berusaha mendobrak “kejumudan” berpikir yang mereka rasakan , tentu berdasarkan kenyataan yang dialami dan ditemuinya selama ini. Sayangnya, kejumudan terlanjur lekat dengan umat Islam, yang harus jujur diakui memang mengalami kemerosotan berpikir sejak lama dan akumumulatif, sampai-sampai umat ini kehilangan institusi politiknya, dan kini hampir kehilangan ajaran, nilai-nilai dan kehormatannya dalam praktik kehidupan. Kondisi umat Islam yang demikian tentu saja tidak sehat. Oleh sebab itu, usaha membaca realitas umat Islam kebanyakan saat ini saja tentu tidak cukup, tetapi juga harus diiringi kesungguhan mempelajari Islam dari sumber ajarannya. Apalagi para pemuda-pemudi Islam lahir di era dimana kehidupan Islam jauh dari penginderaan, sementara informasi-informasi yang diterima dalam proses pendidikan dan tata nilai yang berkembang di masyarakat dan lingkungan kental dengan nuansa sekuler. Banyak sekali contoh bagaimana pandangan orang-orang berubah tentang Islam ketika Islam didiskusikan secara jujur dan rasional. Islam tidak membuat jumud. Dalam hal memeluk aqidah saja Islam mengajarkan kita agar mengambilnya dengan jalan berpikir. Islam sangat menghargai aktivitas berpikir, memotivasi untuk terus berpikir, dan menempatkan orang-orang yang menggunakan akalnya untuk berpikir tentang ayat-ayat Allah pada kedudukan dan derajat yang tinggi. Katakanlah: “Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?”, sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran. (QS. Az-Zumar: 9)
Wahai orang-orang yang beriman, apabila dikatakan kepadamu, berilah kelapangan di dalam majelis-majelis, maka lapangkanlah. Niscaya Allah Swt. akan memberi kelapangan untukmu. Apabila dikatakan, berdirilah kamu, maka berdirilah. Niscaya Allah Swt. akan mengangkat (derajat) orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat. Allah Swt. Mahateliti apa yang kamu kerjakan.” (QS. al-Mujadalah: 11)
Islam memberi tanggung jawab besar kepada kita untuk terus berpikir tentang manusia, fenomena kehidupannya dan alam semesta. Inilah yang justru menjadikan Islam selalu relevan menjawab persoalan umat manusia. “Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) kami di segala penjuru bumi dan pada diri mereka sendiri, hingga jelas bagi mereka bahwa Al-Quran adalah benar. Tiadakah cukup bahwa sesungguhnya Tuhanmu menjadi saksi atas segala sesuatu?” (QS. Fushshilat : 53) Betul bahwa secara internal, tidak bisa dipungkiri bahwa kondisi umat Islam saat ini kehilangan tradisi intelektualitasnya yang luhur dan melupakan adab. Namun faktor eksternal juga tidak boleh diabaikan. Secara global sedang terjadi pertarungan nilai, yakni adanya serangan massif dan sistematis terhadap nilai-nilai dan ajaran Islam. Pada titik inilah kekritisan para pemuda dan pemudi Islam dibutuhkan untuk mendobrak kejumudan, mengangkat kembali taraf berpikir umat, dan bangkit melawan narasi-narasi jahat yang menyudutkan Islam. Para pemuda dan pemudi Islam adalah asset berharga umat. Dialog yang penuh kesabaran dan kedewasaan perlu dikedepankan untuk memberi informasi-informasi yang lurus tentang Islam, bukan dengan memadamkan kekritisan mereka, tetapi mengarahkannya.

0 Komentar

Tinggalkan Balasan

Avatar placeholder

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *