oleh: Fika Komara*)
Terpilihnya Halimah Yacob – seorang perempuan dari etnis Melayu Muslim sebagai Presiden Singapura, pertengahan September lalu disikapi berlebihan oleh sebagian kalangan sekuler di Indonesia yang memanfaatkan berita ini untuk menyerang umat Islam agar mau menerima dipimpin oleh minoritas. Begitupula Malaysia, negeri Muslim yang punya sejarah panjang dengan Singapura dalam hal gesekan identitas ras Melayu dan China. Pada 11 September kemarin, Halimah Yacob dinyatakan sebagai satu-satunya kandidat yang memenuhi syarat untuk menjadi capres tanpa pemungutan suara. Selain mencetak sejarah sebagai wanita pertama yang menjadi Presiden Singapura, Halimah juga mencatatkan diri sebagai Presiden dari komunitas Melayu pertama dalam 47 tahun terakhir. Diketahui bahwa saat ini, populasi Singapura terdiri atas 74 persen komunitas China, 13 persen komunitas Melayu, 9 persen komunitas India dan 3,2 persen komunitas lainnya.

Seorang anggota dari PSI (Partai Solidaritas Indonesia), Dr Surya Tjandra, menyatakan “Mereka (orang-orang Indonesia) sangat takjub bagaimana bisa minoritas – seorang Muslimah – bisa mendapat posisi setinggi itu, khususnya dibandingkan dengan fakta bahwa banyak orang Indonesia yang disesatkan oleh kalangan Islamis bahwa etnis China atau non-Muslim adalah “asing” juga kaum perempuan tidak bisa menjadi pemimpin,” ujarnya. Siti Mariah, tokoh oposisi dari Partai Amanah Malaysia, juga menyampaikan ucapan selamat kepada Halimah, ia mengatakan Halimah adalah sosok ikonik yang menekankan harmoni dan stabilitas pada saat dunia “masih terus berjuang dalam isu-isu regresif tentang perempuan dan Islamophobia.” (TodayOnline.com, 20 September).
Pandangan menyesatkan seperti ini tentu perlu kita kaji dan kritisi dengan mengenal lebih dalam siapa sebenarnya sosok Halimah dan bagaimana identitas pemikirannya. Adalah fakta bahwa Halimah Yacob dalam pidato pertamanya, menyebut momen penetapan dirinya sebagai momen membanggakan bagi Singapura, juga bagi multikulturalisme dan multirasialisme. Halimah juga menyerukan agar kaum wanita berani bercita-cita setinggi langit. Yacob juga dikenal aktif berkampanye melawan kelompok Islam radikal, dan kerap mengecam kelompok Islamic State of Iraq and Syria (ISIS). Di sisi lain latar belakang politik Halimah adalah kader loyal partai PAP (People Action Party), besutan Lee Kuan Yeuw – seorang China Peranakan, mantan perdana menteri Singapura 7 periode, yang dijuluki sebagai bapak Pembangunan Singapura.
Oleh karena itu, sangat layak kita bertanya;
benarkah kemenangan Halimah Yacob adalah kemenangan bagi melayu, perempuan dan Islam? Ada dua isu paling menonjol dari fenomena Halimah Yacob ini, pertama adalah soal etnis melayu sebagai minoritas, dan kedua adalah keberpihakan pada Islam di Singapura. Adapun soal kepemimpinan perempuan ini kurang menonjol. Ditambah fakta bahwa Halimah Yacob hanya seorang Presiden, sementara Singapura yang menganut sistem parlementer, penguasa sesungguhnya adalah Perdana Menteri. Presiden sebagai kepala negara fungsinya sebatas seremonial dan secara politik nyaris tak punya kuasa yang berarti.
Artikel ini akan membahas dua isu menonjol dari fenomena Halimah Yacob ini satu demi satu, dengan harapan kaum Muslimin di Asia Tenggara dapat mengambil pelajaran besar dari sejarah mereka di kawasan. Umat Islam perlu memiliki literasi terkait sejarah politik Singapura, dari era kolonialisme Inggris di saat etnis China didatangkan oleh imperial Inggris ke tanah Tumasek itu hingga era perang dingin dimana muncul kekuatan politik peranakan (etnis China keturunan) di Singapura yang meminggirkan Muslim Melayu.
Bukan Kemenangan Melayu
Kemenangan Halimah diklaim menjadi kemenangan etnis Melayu karena menjadi salah satu kandidat dari yang mewakili komunitas Melayu dan kemudian menang mutlak. Namun apakah benar Singapura berpihak pada Muslim Melayu? Jawabannya bisa kita mulai dari siapa sosok
Lee Kuan Yeuw – seorang china Peranakan, mantan perdana menteri Singapura 7 periode yang membidani PAP (
People Action Party) dan mendapat dukungan dari Inggris dan Amerika.
Kepemimpinan Lee Kuan Yeuw muncul sebagai kekuatan sosial politik di Singapura, ia sangat vocal menentang politik ketuanan Melayu, sehingga pada akhirnya Singapura dikeluarkan dari negara federasi Malaya tahun 1960-an. Kuatnya dominasi politik dari kaum China peranakan tidak bisa dilepaskan dari akar sejarah aneksasi Singapura sebagai wilayah jajahan Inggris. Singapura adalah satu-satunya wilayah di tanah Melayu yang lepas ke tangan bangsa asing tanpa ada perlawanan sedikit-pun, karena pengkhianatan Sultan Johor yang menjual Singapura kepada Thomas Stamford Raffles pimpinan Inggris di Asia saat itu. Singapura lalu dibesarkan Inggris menjadi kekuatan perdagangan di Asia dengan perlahan menyingkirkan etnis Melayu Muslim melalui politik migrasi Inggris yang mendatangkan etnis China secara besar-besaran di tanah Tumasik itu. Inggris memanfaatkan situasi dalam negeri China kala itu yang porak poranda akibat perang Candu. Akibatnya, antara rentang waktu 1824-1860 telah terjadi peningkatan populasi sebanyak delapan kali lipat di Singapura, dimana etnis China merupakan kelompok yang paling cepat pertumbuhannya.
Berkaitan dari fakta sejarah ini, Ma’mun Murod AlBarbasy, Doktor Politik dari Universitas Indonesia (UI) menyatakan kalau mau dikritisi lebih jauh, terpilihnya Melayu dan Muslim sebagai Presiden Singapura, lebih dominan nuansa politisnya, yakni memelihara kepentingan rezim Lee Kuan Yew (Lee Hsien Loong), ketimbang mengakomodir kepentingan Melayu dan apalagi Muslim di Singapore. Apalagi sejak berdirinya, Singapura selalu dipimpin oleh Perdana Menteri beretnis China dan laki-laki, belum pernah jabatan strategis Perdana Menteri berasal dari etnis lain.
Jelas bukan Kemenangan Islam!
Siti Muslikhati – seorang dosen politik Islam dari UMY dalam forum diskusi politik Muslimah yang diselenggarakan Institut Muslimah Negarawan, 16 Oktober lalu, menyatakan “
kita harus pesimis Halimah Yacob memperjuangkan kepentingan Umat Islam,” kalau melihat background kiprah politiknya Halimah adalah anak asuhnya Lee Kuan Yeuw, yang sementara keluar dari PAP karena persyaratan calon presiden menghendaki seperti itu. Siti Muslikhati juga menegaskan bahwa Halimah diangkat karena tokoh-tokoh di Singapura memandang bahwa secara pemikiran Halimah
is a part of majority, dan melawan Islam radikal itu jauh lebih
smooth jika datang dari orang yang secara tampilan publiknya adalah Muslim, tetapi pemikirannya bisa mereka kendalikan. “
Bagaimana bisa berharap diadopsinya kepentingan Islam dalam kompromi Islam dengan ide Barat? Dan bagaimana mungkin seorang yang berjuang ikhlas untuk Islam bisa diterima dalam Sistem Demokrasi?” tutupnya dalam diskusi tersebut.
Terpilihnya Halimah Yacob hanyalah sekian dari upaya keras Singapura mengintegrasikan umat Islam ke dalam sistem politik non-Islam mereka. Mereka berharap dengan berbuat demikian mereka akan bisa menarik umat Islam menjauh dari ketaatan Islam sebagai ideologi komprehensif yang mencakup sistem pemerintahan, pemerintahan dan sistem kehidupan lainnya. Pada saat yang sama, mereka berharap bahwa jika sosok Muslimah seperti Halimah Yacob berada dalam struktur pemerintahan mereka – akan membantu mereka mengaburkan agenda sekuler-barat untuk menyerang Islam. Lee Kuan Yew pernah menyatakan pandangan kontroversial terhadap umat Islam Singapura yang termaktub dalam buku
Lee Kuan Yew: Hard Truths to Keep Singapore Going. Dalam buku itu, Lee menegaskan bahwa kaum muslim Singapura menghadapi kesulitan berintegrasi karena kepatuhan mereka kepada ajaran-ajaran Islam, dan mendesak umat Muslim untuk menjadi kurang ketat dalam menjalani ketaatan Islam. “
I would say today, we can integrate all religions and races except Islam,” kata Lee dalam bukunya itu.
Meski merupakan bekas koloni Inggris, Singapura, semenjak pasca perang dingin sudah menjadi bagian dari sekutu AS, sangat aktif dan berkontribusi langsung untuk mendukung proyek anti Islam dan counter – terorisme. Singapura bahkan sangat represif terhadap umat Islam yang mereka anggap radikal, misal adanya program sertifikasi da’i, larangan kumandang adzan sholat, termasuk mendeportasi mahasiswa Islam asing yang dinilai mempunyai komitmen terhadap perkembangan dakwah di Singapura. Ini tidaklah aneh, mengingat identitas pendiri negara itu yang berpihak pada kekuatan Barat imperialis dari awal. Lee Kuan Yew Lee bahkan pernah berkata Islam adalah ‘
agama yang beracun’ (
venomous religion), ini merupakan salah satu dari 700 dokumen Wikileaks yang bocor berasal dari Kedubes AS di Singapura.
Syaikh Abu Usamah -seorang ulama dari Palestina – pernah mengatakan Singapura adalah Israelnya Asia Tenggara, dimana etnis non-Muslim dibesarkan dan dipelihara terjepit di antara negeri-negeri Muslim yang kaya raya. Singapura modern pun menjelma menjadi kekuatan Kapitalisme besar yang didesain sedemikian rupa, difasilitasi kekuatan militer dan dipasok modal ekonomi, agar melemahkan kekuatan Islam di kawasan. Singapura didukung negara-negara Barat terutama Amerika Serikat yang menempatkan pangkalan militernya disana. Menurut pengakuan Lee Kuan Yew sendiri, ia meniru nagara penjajah Zionis Israel dalam membangun negaranya. Bahkan sejak lama Lee Kuan Yeuw telah memiliki kedekatan dengan Zionis Israel. Padahal tanah miskin Singapura hanya punya satu kekayaan yakni posisi geografisnya semata, selebihnya Singapura hanyalah negara liliput yang sangat tergantung pada negeri Muslim contohnya air bersih dari Malaysia dan dukungan lingkungan dari Indonesia.
Pelajaran Penting untuk Muslim Asia Tenggara
Halimah Yacob dan sejarah politik Singapura harus memberikan pelajaran penting bagi negara-negara Muslim di Asia Tenggara – khususnya Indonesia dan Malaysia, bahwa
dominasi peran kolonial Barat untuk meminggirkan umat Islam dan merongrong kekuatan Islam di tanah Melayu Muslim telah diinvestasikan sejak lebih dari satu abad yang lalu. Muslim Melayu harus menyadari akibat fatal ketundukannya terhadap hegemoni negara-negara Barat dan kebodohan terhadap ajaran Islam justru akan semakin mengantarkan mereka pada keterpurukan hingga semakin terpinggirkan di tanah mereka sendiri. Pelajaran penting lain yang bisa dipetik adalah:
- Kaum Muslim perlu menyadari bahwa kepemimpinan sejati bagi umat bukan sekedar tampilan luar figur atau personal saja, umat harus lebih mendalam melihat identitas pemikiran dan kepada siapa loyalitas tokoh ini diberikan
- Kaum Muslim perlu punya literasi terhadap bagaimana pandangan Islam dalam mengatur sistem pemerintahan, siapa saja yang layak memenuhi kualifikasi pemimpin negara dalam pandangan Islam dan perbedaan kontras antara sistem politik Islam dengan sistem sekuler demokrasi ataupun sistem negara-bangsa.
- Melawan opini Islamofobia tentu tidak dapat dicapai dengan keterlibatan dalam sebuah sistem bernegara yang menyetujui bahkan mempromosikan nilai-nilai Islamofobia,
- Masa depan yang lebih baik bagi umat Muslim Melayu di Singapura bisa terwujud BUKAN dengan cara membuang nilai-nilai Islam kita agar bisa diterima oleh sistem politik sekuler Singapura, melainkan justru harus semakin mematuhi keyakinan Islam kita dan mendakwahkannya dalam diskusi dan debat tentang Islam di masyarakat.
Ingatlah Allah Swt Berfirman:
﴿ وَدُّوا لَوْ تَكْفُرُونَ كَمَا كَفَرُوا فَتَكُونُونَ سَوَاءً ۖ فَلَا تَتَّخِذُوا مِنْهُمْ أَوْلِيَاءَ حَتَّىٰ يُهَاجِرُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ ﴾
“
Mereka ingin supaya kamu menjadi kafir sebagaimana mereka mereka telah menjadi kafir, lalu kamu menjadi sama (dengan mereka). Maka janganlah kamu jadikan di antara mereka penolong-penolong (mu), hingga mereka berhijrah pada jalan Allah...”
[QS. An-Nisa: 89]
Wallahu a’lam bish showwab
*Penulis adalah Founder IMuNE dan pegiat opini Muslimah Timur Jauh
0 Komentar