Penulis : Irma Ismail ( Penulis dan Aktivis Muslimah)

Seperti pada tahun-tahun sebelumnya, memasuki bulan Desember maka gaung toleransi semakin massif untuk dihembuskan, bukan sekedar diminta menghormati keyakinan yang berbeda bahkan lebih daripada itu. Padahal masalah agama adalah masalah keyakinan,  masalah yang sangat sensitive, karena setiap agama mempunyai cara pandang  tersendiri dalam beribadah maupun dalam menata kehidupan.

Dan kembali  menjadi polemic di tengah masyarakat ketika ada edaran pemasangan  spanduk dari  Kanwil Kemenag Sulawesi Selatan  tentang memberikan ucapan Natal dan Tahun Baru. Hal ini jelas memberikan reaksi yang beragam ditengah masyarakat  sehingga beredar kabar bahwa edaran tersebut telah dicabut oleh Kanwil Kemenag Sulsel. Akan tetapi Staf Khusus Menteri Agama (Stafsus Menag) Bidang Toleransi,Terorisme, Radikalisme dan Pesantren, Nuruzzaman membantah adanya kabar yang menyatakan bahwa Kanwil Kemenag Sulawesi Selatan telah mencabut edaran  pemasangan spanduk tersebut, meskipun memang ada permintaan untuk dicabut tetapi Kanwil Kemenag Sulsel tidak melakukannya.(Republika.com (18/12/2021).

Anggota DPR RI, Buchori  menyampaikan pandangannya terkait  boleh tidaknya menyampaikan ucapan selamat Natal kepada umat Kristiani,dimana tidak  boleh adanya paksaan bagi pihak yang mau mengucapkan ataupun tidak. Menurutnya tidak ada korelasi antara orang yang mengucapkan Natal disebut moderat dan yang tidak mengucapkan disebut radikal. Semua ini dikembalikan kepada pribadi masing-masing. Senada  dengan hal ini, Wakil Menteri Agama (Wamenag), Zainut Tauhid Sa’adi menjelaskan bahwa MUI belum pernah mengeluarkan ketetapan Fatwa  tersebut sehingga MUI mengembalikan masalah ini kepada Umat Islam sendiri, mau mengucapkan atau tidak ( fajar.co.id (19/12/2021).

Ini adalah  realita yang terus menjadi sorotan, kerap kali terjadi  di saat umat beragama lain menjalankan hari rayanya,  kaum muslim diminta untuk toleran dengan  mengucapkan selamat hari raya. Berbagai dalih dan argumentasipun di paparkan, bahwa ini sekedar mengucapkan  saja tidak mengapa asal tidak ikut dalam ritual ibadahnya, karena itu salah satu bentuk  perbuatan baik dan sebagai wujud  toleransi dalam beragama.”Toh semua agama sama saja dan itu hanya ucapan saja…” ini adalah narasi yang seringkali di ucapkan , menyamakan bahwa semua agama adalah sama, yang dikenal dengan istilah Pluralisme. Akibatnya kebenaran di anggap relative,bukan milik satu agama saja. 

Jelas semua ini tidak bisa dipisahkan dari pengarusan moderasi beragama yang  belakangan ini sedang digencarkan. Moderasi beragama sendiri adalah salah satu agenda prioritas dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2025 dalam agenda Revolusi Mental dan Pembangunan Kebudayaan. Gencarnya moderasi beragama memang berkaitan dengan agenda memberantas terorisme, ekstrimisme, radikalisme dan intoleransi yang disinyalir  akan mengakibatkan bibit perpecahan ditengah masyarakat dan bisa menghambat kemajuan pembangunan.

Dan ini  memang  strategi barat yang dilakukan oleh Rand Corporation yang memberikan rekomendasi kepada Pemerintah Amerika Serikat untuk  menjauhkan umat Islam dari ruhnya yaitu Syariat Islam dan menciptakan Islam yang cocok bagi agenda Barat dalam memecah umat Islam.  Rand corporation sendiri adalah sebuah lembaga tempat pemikir kebijakan global nirlaba Amerika yang berdiri pada tahun 1948 oleh Douglas Aircraft Company untuk membantu Angkatan Bersenjata Amerika Serikat di  bidang penelitian dan analisis.

Akibatnya bisa dilihat, bagaimana masyarakat khususnya sebagian kaum muslim dalam memahami makna toleransi yang tanpa batas dan liar. Hal ini menunjukkan bahwa Barat berhasil membangun narasi toleransi sesuai dengan apa yang diinginkannya. Dan sesungguhnya ini adalah racun yang akan menggerogoti aqidah kaum muslim karena tanpa sadar mencampurkan antara yang haq dan bathil.  Antara menolong dari sisi kemanusiaan dan berbuat baik kepada siapa saja menjadi bias, yang  akhirnya  masuk ke dalam ranah keyakinan atau aqidah. Tak sedikit umat Islam pun “diminta” toleran dengan hal-hal yang itu memang sudah terlarang dalam Islam, misalnya pelegalan miras, LGBT yang dalam system ini semakin diberi panggung untuk mengeksiskan diri, praktik riba yang semakin merambah hingga ke pelosok-pelosok desa dan lainnya.

Dan pada akhirnya label radikal dan intoleransi pun akan di sematkan kepada kaum muslim yang tetap pada keyakinannya untuk menolak semua itu.

Islam mengakui adanya keberagaman agama atau pluralitas dan mengharamkan pluralisme atau menyamakan semua agama adalah sama.  Keberagaman agama adalah sebuah keniscayaan, fakta sosial yang memang kita hadapi. Ada hubungan sosial yang berjalan, dimana Islam memberikan aturan terkait kehidupan sosial dalam masyarakat. Ada batas-batas yang kaum muslim wajib untuk mengikutinya. Dan terkait dengan mengucapkan selamat  hari raya kepada pemeluk agama lain, Islam jelas mengharamkan bagi kaum muslim untuk melakukannya. Ini bukan sekedar ucapan biasa, karena  sudah terkait dengan keyakinan atau aqidah.

Setiap agama jelas mempunyai aturan yang berbeda-beda baik dalam ibadah ataupun tata kehidupan  lainnya. Dan Islam mempunyai aturan sendiri  yang menyeluruh, bukan hanya mengatur dalam masalah ibadah saja tetapi juga dalam semua aspek kehidupan manusia, dari ekonomi, sosial, pergaulan, pendidikan hingga politik. Maka mustahil menyamakan semua agama adalah sama, karena memang berbeda. Tetapi perbedaan bukanlah  menjadi sebab untuk saling membenci atau saling menyakiti. Bahkan yang ada adalah saling menghargai, dan menghargai bukanlah mencampurkan satu sama lainnya. Sebagaimana terdapat dalam Alqur’an di Surah Al Kafirun, ‘Untukmu agamamu, untukku agamaku”.

Dan di dalam  Surah Al Mumtahanah ayat 8, “Allah tidak melarang kamu berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tidak memerangimu dalam urusan agama dan tidak , mengusirmu dari kampung halamanmu. Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil “.  Menurut Ibnu Katsir, ayat ini merupakan informasi kebolehan untuk berbuat baik kepada pemeluk agama lain, bahwa Allah swt tidak melarang umat Islam berbuat baik kepada non-muslim yang tidak memerangi mereka, seperti berbuat baik kepada wanita dan orang yang lemah di antara mereka. Hendaklah manusia berbuat baik dan adil, karena Allah menyukai orang yang berbuat adil (Tafsir Al-Quran Al-Azhim [7]: 247)

Jadi jelas bahwa Islam adalah agama toleran yang menghargai keragaman suku, agama lain  dan bahasa.  Fakta sejarah mencatat ketika Islam  diterapkan selama kurang lebih 1400 tahun lamanya, dimana penerapan Islam dilakukan secara menyeluruh dan sempurna, justru disitu nampak bagaimana keagungan  Islam dalam menghargai perbedaan yang ada. Adanya moderasi beragama ini jelas membahayakan aqidah umat Islam bahkan semakin menjauhkan kaum muslim dari syariat Islam dan ini akan semakin membuat umat manusia terpuruk dalam penderitaan. Oleh karena itu kembali ke Islam kaffah adalah solusi yang hakiki bagi permasalahan umat manusia.

*Telah dimuat di Swara Kaltim, 24 Desember 2021


0 Komentar

Tinggalkan Balasan

Avatar placeholder

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *