oleh: Fika Komara Batas usia perkawinan kembali menjadi polemik di Indonesia usai bergulir kontroversi sejoli siswa SMP di Bantaeng, Sulawesi Selatan berhasrat mengikat janji suci di hadapan penghulu. Berdasarkan Pasal 7 ayat 1 Undang-Undang (UU) Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, menyebutkan bahwa perkawinan hanya diizinkan jika pria sudah mencapai berumur 19 tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 tahun. Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) bersama dengan Kementerian Agama (Kemenag) mengusulkan untuk menaikkan batas usia pernikahan yang awalnya 16 tahun menjadi 20 tahun untuk perempuan dan 22 tahun untuk laki-laki lewat revisi UU Nomor 1 Tahun 1974. Usulan menaikkan batas usia perkawinan ini dilakukan untuk mencegah pernikahan dini, ditambah Kementerian PPPA sudah meluncurkan secara nasional Stop Pernikahan Anak sejak November 2017 (sindonews.com)   Komentar: Pernikahan anak di dunia Islam selalu menjadi sorotan media liberal juga kelompok LSM gender. Bangladesh, Afghanistan, dan Indonesia adalah contoh dari negeri-negeri Muslim yang sering menjadi sorotan. Di Indonesia Menteri Yohana Yambise yang meluncurkan kampanye Stop Perkawinan Anak telah merujuk pada data dari CFR (Council of Foreign Relations), sebuah Lembaga think tank di AS, dimana disebutkan CFR, Indonesia merupakan peringkat ketujuh di dunia dengan angka absolut tertinggi perkawinan anak dan menjadi tertinggi kedua di ASEAN setelah Kamboja. Kesalahan terbesar penguasa dunia Islam adalah masih mempercayai standar nilai yang dipromosikan Barat melalui agensi-agensi internasionalnya. Melalui propaganda ending child marriage, para pemimpin dunia Islam tak menyadari bahwa musuh-musuh Islam sedang melemahkan generasi Muslim melalui generasi yang lambat memiliki kematangan berfikir dan lambat dalam kesiapan memikul tanggung jawab yang lebih besar. Berbagai UU yang digulirkan di Indonesia justru berusaha memperlambat kedewasaan anak. Istilah “anak” pun dikaburkan. UU perkawinan yang berlaku saat ini pun telah memundurkan target kedewasaan berfikir seorang anak, dari usia akil baligh menjadi 16 tahun. Itupun saat ini semakin diperlambat lagi dengan usulan 20 tahun. Aroma standar ganda juga sangat tercium dalam laporan CFR yang menempatkan negara-negara Barat minim dari masalah pernikahan anak. Padahal data yang ada jelas-jelas Amerika Serikat sedang berhadapan dengan problem serius pernikahan dan pelacuran anak. Di seluruh 50 negara bagian, Unchained At Last memperkirakan bahwa 248.000 anak – atau mereka yang berusia di bawah 18 tahun – menikah di Amerika pada dekade itu (CNN, November 2017). AS juga berhadapan dengan wabah pelacuran anak, menurut  Hope International, setidaknya 100.000 anak-anak digunakan sebagai pelacur setiap tahun sebagai bagian dari industri perdagangan seks AS senilai 9,8 miliar dolar AS. Statistik kehamilan remaja atau “Teen Pregnancy” di Amerika Serikat juga sangat mencolok, tahun 2014 di Amerika Serikat, total 249.078 bayi dilahirkan untuk wanita berusia 15-19 tahun, untuk tingkat kelahiran 24,2 per 1.000 wanita dalam kelompok usia ini. Kenapa ada bias standar ini terjadi? Karena ada agenda setting yang menargetkan negeri-negeri Muslim yang disebabkan setidaknya dua motif; (1) motif ekonomi karena pernikahan dini menyebabkan kaum Muslimah tidak produktif bekerja, ini diungkapkan gamblang oleh pemerintah Indonesia bahwa pernikahan dini bisa mengganggu rencana pemerintah dalam melakukan pembangunan yang berkelanjutan (Sustainable Development Goals) dan menghambat pertumbuhan ekonomi (Kompas, Juli 2016). Motif ke (2) adalah motif ideologis, yakni mendiskreditkan Syariah Islam dengan mengopinikan ajaran Islam mengekang kebebasan anak perempuan melalui dibolehkannya pernikahan dini. Padahal problem yang muncul dari pernikahan dini di dunia Islam adalah akibat penerapan sekulerisme, rendahnya literasi umat terhadap ajaran Islam, sistem pendidikan sekuler yang gagal mendewasakan pemikiran, dan sistem sosial yang massif menstimulasi rangsangan seksual. Akibatnya lahir generasi yang terlalu cepat baligh (biologis) namun lambat menjadi akil (berakal). Namun teater opini terus dimainkan di dunia Islam. Media-media Barat sangat bernafsu mengekspose kelemahan Islam, mengeksploitasinya demi agenda Islamophobia mereka, tapi sekaligus membutakan mereka terhadap kanker yang ada dalam masyarakatnya sendiri. Ibarat pepatah kuman di seberang lautan terlihat, gajah di pelupuk mata tidak terlihat, Barat perlu berkaca dahulu sebelum menunjuk muka umat Islam! Di sisi lain, penguasa Muslims seharusnya kembali pada standar Syari’ah Islam yang sejak awal sudah sangat clear menetapkan batas kedewasaan seseorang yakni saat anak mulai akil balig secara biologis. Fase akil baligh adalah fase dimana kematangan berfikir bisa berfungsi optimal, sehingga sudah siap memikul beban hukum (taklif) dan bertanggung jawab terhadap apapun perbuatannya. Islam mengijinkan pernikahan di usia muda. Hukum Syariah tidak berubah dengan kecenderungan manusia dan pemikiran kaum Muslim tidak boleh diubah oleh pengaruh ideologi yang salah yang muncul hari ini.   *) Penulis adalah CEO IMuNe dan Anggota Kantor Media Pusat Hizb ut Tahrir Baca versi englishnya di sini

0 Komentar

Tinggalkan Balasan

Avatar placeholder

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *