Oleh : Juanmartin, S. Si., M. Kes
Januari 2017 lalu Varkey Foundation melakukan survei terhadap kurang lebih 20.000 anak muda dari Argentina, Australia, Brazil, Kanada, China, Prancis, Jerman, India, Indonesia, Israel, Italia, Jepang, Selandia Baru, Nigeria, Rusia, Afrika Selatan, Korea Selatan, Turki, Inggris dan Amerika Serikat dan menyajikannya dalam laporan survey GENERATION Z: GLOBAL CITIZENSHIP SURVEY dengan judul What The World’s Young People Think and Feel. Survey ini diklaim sebagai survey global terbesar dan pertama yang dilakukan pada generasi Z yang berusia 18 hingga 21 tahun. Varkey Foundation adalah salah satu organisasi non profit yang berbasis di London, Inggris, dan didirikan untuk meningkatkan standar pendidikan bagi anak-anak miskin di seluruh dunia.
Salah satu poin yang di teliti dalam survey ini adalah mengenai kebahagiaan anak muda Gen Z. Menurut riset, 68% Gen Z merasa bahagia dengan hidupnya. Nah, menariknya, ternyata dari 20 negara ini, generasi Z di Indonesia menduduki peringkat tertinggi sebagai negara dengan generasi Z paling bahagia. Alasan kebahagiaan mereka yang terungkap dalam survey ini adalah faktor keimanan, dalam hal ini agama. Berdasarkan data hasil survey tersebut, tulisan ini mencoba menyorot konsep kebahagiaan di tengah massifnya tawaran kebahagiaan dunia melalui industri hiburan pada generasi Z, berikut kans dakwah digital di tengah kelindan sekulerisasi digital yang mengintai Gen Z saat ini.
Konsep kebahagiaan, Tak melulu materi dan ketenaran
Ada yang menarik dari data yang di rilis varkey foundation ini khususnya terkait dengan respon partisipan, mengenai apakah mereka merasa bahagia atau tidak. Data menunjukkan bahwa partisipan dari dua negara yakni korea selatan dan jepang menyatakan bahwa partisipan merasa tidak bahagia. Hal tersebut tentu memiliki alasan.
Kondisi sosial masyarakat di Korea Selatan yang menilai bahwa kebahagiaan hanyalah sebatas materi telah menciptakan masyarakat yang bekerja keras untuk meraih kebahagiaan duniawi. Materi dan ketenaran adalah iming-iming besar untuk bertahan hidup. Sayangnya, Ketatnya level persaingan hidup menjadikan kondisi mereka rawan depresi yang berakibat pada tingginya angka bunuh diri. Keinginan mengejar materi membuat para generasi Z di negeri ini harus rela menghabiskan waktu mereka secara tidak manusiawi pada ruang-ruang les agar berprestasi demi meraih materi. Sementara industri hiburan yang menawarkan ketenaran telah menghasilkan individu yang mengalami depresi dan berujung pada tingginya angka bunuh diri para pesohor.
Kematian Jonghyun, penyanyi utama band Shinee beberapa waktu lalu, telah menguak praktik kontrak perbudakan dalam industri hiburan korea. Kematiannya telah mengungkap tekanan besar yang dihadapi anak-anak muda Korea Selatan dalam persaingan ketat di industri hiburan. Seorang mantan bintang K-pop, Prince Mak, mengungkap hal ini. Di balik gemerlap K-pop, ternyata agen-agen pencari bakat dan manajemen artis menjalankan industri ini dengan sistem tangan besi. Kontrak perbudakan dalam bisnis hiburan ini rata-rata berjalan antara 10-15 tahun, dengan berbagai persyaratannya seperti pengawasan terhadap teman jalan, diet, sebagian bahkan harus menjalani operasi plastik dan tak ada sistem liburan selama kontrak berlangsung. Mereka bisa kerja selama 24 jam tanpa henti, semata untuk menjalankan persyaratan kontrak yang telah disepakati. Jelas sudah, kondisi ini tak mampu membeli kebahagiaan hakiki, meski bergelimang materi dibalut ketenaran yang di dapatkan. Korean wave/hallyu pada akhirnya hanyalah jelmaan mantra ketenaran sesaat, bahkan justru membeli kebebasan seseorang untuk terikat pada kontrak perbudakan yang mengekang dan tak manusiawi.
Negara lain dengan tingkat generasi Z yang merasa tak bahagia adalah Jepang. Negara dengan industri hiburan berupa J-Pop, anime dan style harajuku yang meng-influence remaja di berbagai pelosok dunia, ternyata kurang lebih sama dengan korean wave. Di tambah lagi kondisi Masyarakat Jepang yang memiliki karakteristik yang cenderung introvert dengan disiplin dan etos kerja yang tinggi, membentuk karakter workaholic, yang turut menyumbang pola berpikir mereka yang melulu mengejar kebahagiaan materi. Persaingan hidup dan kondisi sosial seperti ini telah memicu maraknya penyakit sosial seperti Hikikomori di kalangan remaja. Hikikomori adalah fenomena sosial yang terjadi di Jepang dimana seorang remaja/dewasa menarik diri dari kehidupan sosial dengan mengurung diri dalam waktu lama bahkan hingga berbulan-bulan lamanya. Tak hanya itu, dampak kondisi sosial masyarakat Jepang yang seperti ini juga telah memicu fenomena Kodokushi/dying alone. Saat ini, kodokushi adalah masalah yang sedang berkembang di Jepang khususnya pada kalangan lansia yang terlupakan oleh anak-anak mereka yang bekerja nyaris 18 jam per hari.
Dakwah digital vs sekulerisasi digital
Meski tak spesifik menyebutkan agama yang di anut para partisipan di Indonesia dalam survey yang dilakukan Varkey Foundation ini, namun sebagai agama mayoritas di negeri ini, tak berlebihan jika kita menganggap bahwa Islam memiliki kontribusi besar dalam merubah mindset pemikiran mengenai konsep kebahagiaan pada generasi millenial di Indonesia. Survey ini menjadi indikasi sekaligus bantahan atas opini yang menggambarkan agama sebagai salah satu faktor yang membuat seorang remaja berpotensi menjadi pribadi radikal dikarenakan kesehariannya yang lebih religius.
Sebagaimana di ketahui, begitu banyak opini yang sengaja digulirkan dan memposisikan agama dan individu yang mendalami agama sebagai pribadi yang berpotensi radikal dan intoleran terhadap perbedaan. Remaja yang kerap melaksanakan sholat, menjalankan puasa sunnah, berikut perilaku yang cenderung religius ditengarai sebagai ciri pribadi yang terpapar pemahaman radikal. Tak aneh jika lembaga kerohanian sekolah (ROHIS) maupun lembaga dakwah kampus di opinikan sebagai sarang pencetak sel-sel radikalis. Harapan untuk memunculkan Islamphobia di kalangan pemuda ternyata tak seperti yang di inginkan kaum sekularis. Mengapa hal ini terjadi? Dunia digital yang melekat pada generasi Z ini adalah jawabannya. Pola berjejaring dalam sosial media dengan karakteristik distribusi informasi secara otomatis dalam suatu jejaring, dengan sendirinya telah membuat percakapan-percakapan popular dan ramai dibicarakan tak terkecuali pemikiran Islam.
Tudingan miring terhadap ajaran Islam, kriminalisasi simbol-simbol Islam, dan cap teroris yang di alamatkan kepada para pengemban dakwah, ternyata tak membuat para pemuda ciut nyalinya untuk mempelajari Islam. Trend pencarian informasi yang melekat pada generasi digital, telah menerobos kebekuan pemberitaan media mainstream yang cenderung menunjukkan keberpihakan dan framing negatif dalam pemberitaan.
Teknologi digital, dalam hal ini media sosial merupakan bagian tidak terpisahkan dari kehidupan manusia di seluruh dunia, utamanya kaum millenial. Pusat Kajian Wilayah Amerika Universitas Indonesia (KWA UI) saat menggelar Kuliah Umum bersama Duta Besar Amerika, H.E Robert O. Blake Jr dengan tajuk “Innovation and The Digital Economy” di Balai Sidang Universitas Indonesia 2015 lalu, mengungkapkan bahwa sekitar 85 juta orang Indonesia, online setiap harinya dan penggunanya di dominasi kaum muda.
Barat sendiri memiliki kekhawatiran besar akan dominasi pengaruh pemikiran Islam khususnya kepada para pemuda melalui teknologi digital. Dalam kuliah umumnya, H.E Robert Blake mengungkapkan bahwa di balik berbagai sisi positif era digital, Blake menyatakan terdapat dampak negatif dari pertumbuhan teknologi digital. Robert Blake mengungkapkan salah satu dampak negatif kemajuan teknologi digital ini adalah penyebaran paham terorisme dikalangan pemuda, oleh kelompok-kelompok teror melalui berbagai sarana seperti Youtube dan Twitter. Sisi negatif tersebut merupakan salah satu tantangan yang dihadapi oleh Indonesia. Namun, menurut Robert Blake, tantangan tersebut ditangani dengan sangat baik oleh pemerintah Indonesia, serta oleh elemen masyarakat seperti organisasi agama dan lembaga pendidikan. Jika Terorisme yang dimaksud adalah pemikiran Islam, jelas ini adalah pernyataan vulgar sekaligus pengakuan jujur akan ketakutan barat terhadap kekuatan opini Islam via media digital.
Islam : sumber Kebahagiaan Hakiki Generasi Z
Hijrah. Mungkin ini adalah keyword yang cukup mendominasi dunia digital saat ini. Kata yang kemudian di asosiasikan pada individu yang memilih meninggalkan gemerlapnya dunia dan iming-iming ketenaran, untuk kemudian memutuskan secara intensif mengkaji islam kaaffah. Trend ini cukup mendominasi opini dakwah digital sekaligus menunjukkan bahwa kebahagiaan sejati bagi seorang Muslim bukanlah materi dan ketenaran. Sumber kebahagiaan manusia adalah keimanannya kepada Sang Pencipta. Islam sebagai agama yang menyakini bahwa ketaatan kepada Allah akan mengantarkan kepada kebahagian hakiki serta ridha Allah sebagai kunci bagi kebahagiaan, telah mengalienasi konsep kebahagian berdasarkan capaian atas hal-hal yang bersifat duniawi dan material. Allah SWT berfirman: “Carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepada kalian (kebahagiaan) negeri akhirat dan janganlah kalian melupakan bagian kalian dari (kenikmatan) duniawi,” QS al-Qashash [28]: 77).
Kondisi yang melanda sebagian besar negara berkembang dan notabene menjadi kiblat generasi muda pada faktanya menunjukkan kebahagiaan semu dan fatamorgana. Materi dan ketenaran hanya bersifat sesaat. Terlebih lagi, praktik yang terjadi pada industri hiburan tak lebih sekedar perbudakan modern dan mencirikan masyarakat sakit sebab telah memicu depresi besar-besaran di kalangan masyarakat. Di sisi lain, kemajuan teknologi harus mampu dijadikan sebagai sarana untuk menyampaikan dakwah. Dakwah Islam melalui media digital harus terus dimassifkan, sebagai upaya untuk meng-counter sekulerisasi digital, dalam rangka memenangkan opini menuju kebangkitan Islam di era digital.
Wallaahu a’lam.

0 Komentar