Oleh : Ayu Paranitha

Pasca pidato Prabowo yang memperingatkan #Indonesia bisa bubar pada tahun 2030, respon dari berbagai kalangan pun bermunculan. Mahfud MD mengajak agar tidak memandang masa depan Indonesia secara pesimis, Rais Am PBNU pun menampik isu Indonesia bubar 2030, sedangkan Rizal Ramli menanggapi dengan komentar “ngenes, norak, dan tidak intelek”. Berbeda dengan yang lainnya, Gatot Nurmantyo memberikan sinyal positif atas apa yang disampaikan oleh Prabowo. Peter W Singer sebagai salah satu penulis novel fiksi Ghost Fleet sampai angkat bicara, lewat twitternya @peterwsinger ia menyebutkan, “Indonesian opposition leader cites #GhostFleet in fiery campaign speeches… There have been many unexpected twists and turns from this book experience, but this may take the cake… (Pemimpin oposisi Indonesia mengutip #GhostFleet dalam pidato kampanyenya yang berapi-api. Ada banyak liku-liku terkait buku ini, namun itu mungkin yang paling istimewa…)”. Dikarenakan latar belakang penulisnya yang merupakan analis Lembaga think thank terkemuka, Brookings Institute, novel yang ditulisnya dianggap bukan sekedar fiksi biasa. Dalam novel fiksi sains ini, Peter W Singer menggandeng seorang jurnalis, August Cole membuat sebuah narasi yang menarik tentang prediksi kejadian masa depan, termasuk soal potensi konflik global. Disebutkan dalam Ghost Fleet, China mengambil alih posisi sebagai negara superpower mengalahkan Amerika Serikat. Indonesia sendiri disebutkan akan menjadi negara gagal (failed state) pada 2030 mengulangi nasib Uni Soviet, tetapi Indonesia tidak dibahas secara mendalam di dalam novel tersebut (liputan6, 2018). Dan tentu saja yang perlu kita catat adalah dalam sebuah kisah tentu saja tidak lepas dari bumbu dramatisasi. Di tengah kondisi politik Indonesia yang panas akhir-akhir ini menjelang pemilu 2019 ditambah dengan isu hutang yang menggunung berbarengan data yang dikeluarkan BPS tentang peningkatan jumlah penduduk miskin, pembukaan pasar tenaga kerja asing di Indonesia, penistaan agama, dan segudang isu ipoleksosbudhankam lainnya, pidato Prabowo tentang isu Indonesia bubar 2030 seolah menemukan momentumnya.

Jika kita mencermati peta geopolitik secara global, kekuasaan, pengaturan dunia, hingga chaos yang diciptakan seperti yang kita lihat saat ini tentu saja terwujud bukan dari peristiwa satu malam. Kita akan memahami peta politik global dengan menengok kembali sejarah ketika dunia terpecah menjadi kekuatan Barat dan Timur, ketika Imperium yang juga negara kota berebut pengaruh, ketika kekhilafahan Islam menguasai Asia-Afrika dan nyaris Eropa, interaksi mesra antara penguasa dan pengusaha yang John Perkins sebut dengan korporatokrasi, juga ketika agama dan perdagangan menjadi faktor pendorong konektivitas global. Ustadz Abdul Qadim Zallum mengingatkan dalam kitab afkar siyasi,

Tanpa memutakhirkan pengetahuannya, seorang politisi dapat kehilangan momentum yang tepat dalam menghadapi permasalahan politik. Oleh sebab itu, sangat penting bagi seorang politisi untuk berusaha dengan sungguh-sungguh mengikuti perkembangan peristiwa atau berita, baik yang penting maupun tidak. Ia harus siap bersusah payah mengumpulkan informasi, meski bagaikan mencari sebatang jarum dalam setumpuk jerami. Tak seorang pun mengetahui kapan satu kejadian penting akan terjadi, sehingga ia harus mengikuti setiap berita, penting maupun tidak penting, karena tiap peristiwa merupakan mata rantai yang saling berhubungan. Bila satu mata rantai hilang, rantai tersebut tidak dapat disatukan, sehingga permasalahan menjadi sulit difahami. Bila rantai tidak dapat disatukan, sangat mungkin terjadi kesalahan dalam memahami permasalahan, dan kemudian menghubungkan situasi dengan kejadian atau pemikiran yang sudah tidak lagi ada. Oleh sebab itu, Ia harus mengikuti setiap peristiwa dan berita secara berkesinambungan untuk dapat memahami permasalahan politik dengan sebaik-baiknya.

Globalisasi dan Dunia Tanpa Sekat

Peta dunia hari ini menunjukkan ada sekitar 200 garis batas negara bangsa sebagai hasil dari dinamika politik global. Perang 30 tahun (1618-1648 M) memecah kesatuan Eropa di bawah kekuasaan Katolik Roma menjadi banyak negara bangsa. Kehancuran Khilafah Utsmani melahirkan sekitar 50 negara bangsa baru. Pasca keruntuhan Soviet muncul negara baru di Eropa Timur dan negara-negara -stan di Asia Tengah. Garis batas telah memetakan distribusi manusia berdasarkan ras, wilayah, dan “kesamaan sejarah”, tapi apa yang tidak kita lihat di dalam peta adalah bagaimana interaksi manusia, uang, kekuasaan, agama, kultur, teknologi mempengaruhi peta secara global.

Sebagai contoh, ketika kita melihat negara terbesar di dunia di dalam peta, Rusia, dari sekitar 150 juta penduduknya mayoritas terkonsentrasi di bagian barat dekat dengan perbatasan Eropa, hanya sekitar 30 juta penduduk yang tinggal di wilayah timur. Bank dunia memperkirakan jumlah penduduk Russia akan berkurang menjadi 120 juta jiwa saja. Sekalipun Stalin, Khrushchev dan pemimpin Soviet lainnya memaksa bangsa Russia untuk pergi ke timur tapi tidak mampu secara efektif mempengaruhi distribusi demografi di Russia, hasilnya: sekalipun Russia bagian timur jauh memiliki luas wilayah dua kali lipat India, disana hanya dihuni 6 juta penduduk saja (Parag Khanna, 2009).

Begitu pun dengan Mongolia, Mongolia adalah negeri yang kaya akan bahan tambang, tembaga, seng, emas, yang diangkut ke selatan dan timur menuju China. China tidak menaklukan Mongolia secara fisik dengan menghadirkan tentara disana, tetapi China “membeli Mongolia”. Hal yang sama juga terjadi dengan Siberia. Global warming telah mengubah wajah Siberia yang dingin menjadi tempat agrikultur yang baik. Lalu kemana distribusi produk pangan mereka diperdagangkan? Heilongjiang dan Harbin, provinsi China dengan 100 juta penduduk yang hampiri menyaingi jumlah penduduk Russia. Kasus yang menimpa Srilanka juga menarik untuk kita cermati, China tidak perlu melakukan kolonialisasi terhadap Srilanka, cukup memberikan pinjaman untuk membangun infrastruktur, Srilanka mengalami gagal bayar dan akhirnya China menguasai hub strategis, bandara dan pelabuhan. Batas imajiner negara tergambar dalam peta, tapi realita menunjukkan kekuasan lebih fluid melintas garis batas negara bangsa. Siapa yang memiliki uang, maka dia yang berkuasa, dia yang membuat aturan.

Disamping penguasaan ekonomi melalui ambisi besar China, one belt one road, China juga menguatkan kekuatan diplomasinya dengan penandatanganan perjanjian militer dengan berbagai negara di Kawasan. Perjanjian ini adalah perjanjian non agresi antar negara, sehingga dalam keadaan terjadi konflik antara Amerika dan China, negara lain hanya mampu untuk diam dan tunduk termasuk sekutu Amerika, Korea dan Australia. Ditambah dengan faktor demografi yang dimiliki oleh China, jika kita mengakumulasi kekuatan Cina maka kita akan melihat China sedang membangun imperium tanpa perlu mengintimidasi dengan kekuatan senjata atau yang kita kenal dengan istilah soft power. Sesuatu yang justru tidak dilakukan oleh negeri-negeri Islam yang masih terlarut dengan garis batas yang diwariskan oleh para kolonialis.

Enam tahun setelah invasi Amerika di Irak, minyak yang dimiliki Irak menjadi pemicu perpecahan di negeri 1001 malam ini. Suku kurdi berjuang untuk mendapat kemerdekaan dari Irak. Pipa minyak yang melewati Kurdistan menjadi alasan kuat untuk meraih kemerdekaan. Akan tetapi, Kurdistan adalah wilayah yang secara geografis terkunci (landlocked) sekalipun merdeka dari Irak, ia tidak punya pilihan kecuali tetap bekerjasama dengan Irak, Turki, atau Suriah untuk mampu mengekspor minyak yang dimilikinya.

Garis batas negeri-negeri pecahan Uni Soviet di Asia Tengah berakhiran -stan sengaja dirancang oleh Stalin tidak masuk akal sehingga etnis bercampur dan membuatnya mampu untuk memecah belah lalu menguasainya. Namun, yang tidak diperhitungakan Stalin pada saat melukiskan garis negara disana adalah kekayaan minyak dan gas. Kini, Kazakhstan dianggap sebagai pemain dalam peta geopolitik yang diperhitungkan dikarenakan rancangan jalur pipa minyak dan gas melewati Laut Kaspia, ke utara melalui Russia hingga ke timur sampai ke China, Kazakhtan mungkin perlu berterima kasih pada Stalin.

Geopolitik secara konstan mengalami perubahan dan sebagaimana hubungan kita dengan ekosistem, ia selalu mencari titik ekuilibrium dalam hal bagaimana memetakan manusia di muka bumi ini. Sistem global kita saat ini telah berevolusi dari imperium dimana kekuasaan terintegrasi secara vertikal pada abad ke 19 menuju negara bangsa yang interdependen secara horizontal pada abad ke 20, dan kini menjadi peradaban yang terkoneksi secara global di abad ke 21.

Perang Dunia III?

Lalu dengan kondisi dunia yang semakin terkoneksi mungkinkah akan terjadi PD III? Pasca perang dingin, di wilayah Asia diperkirakan akan terjadi enam perang besar (Parag Khanna, 2016), salah satu skenarionya adalah pada tahun 1990 konflik antara China dan Taiwan akan memicu PD III. Akan tetapi, volume perdagangan dan investasi semakin intens di antara kedua negara, hingga pada akhirnya di November 2015 kedua pemimpin negara memutuskan untuk mendiskusikan rencana reunifikasi.

Contoh yang lainnya adalah China dan Jepang, dua negara yang memiliki sejarah permusuhan yang panjang. Akan tetapi, saat ini Jepang justru menanamkan investasi terbesarnya di China, penjualan mobil jepang mencatatkan rekornya di China, yang menarik lagi adalah penduduk asing yang terbesar yang tinggal di Jepang adalah warga negara China.

India dan Pakistan, kedua negara yang sama-sama memiliki senjata nuklir, beberapa kali melakukan peperangan dan masih memperebutkan wilayah Kashmir pada akhirnya duduk di satu meja melakukan negosiasi perdagangan antar negara untuk menyelesaikan pembangunan pipa migas dari Iran melalui Pakistan ke India.

Asia adalah benua dengan pertumbuhan militer tercepat di dunia juga benua dimana negara-negara di dalamnya saling berinvestasi miliaran dollar satu sama lain. Baru wilayah Asia saja yang kita bahas sudah cukup tergambar bagaimana setiap negara saling berkelindan, kehancuran suatu negara berarti kerugian bagi semua. Secara global, Vitali dkk (2011) dalam penelitiannya The Network of Global Corporate Control memeriksa keterkaitan 13 juta hubungan kepemilikan, 43.000 perusahaan multinasional, 600.000 simpul-simpul perusahaan dan satu juta jaringan yang mengerucut pada belasan Lembaga keuangan dunia saja. Global linkage, perdagangan, supply chains, investasi yang saling terkait melintasi garis-garis batas negara membuat geopolitik menjadi lebih kompleks dibandingkan abad-abad sebelumnya, hingga Parag Khanna menyebutkan bahwa PD III tidak mungkin terjadi.

Namun, berbeda dengan Khanna, Peter W Singer memperkirakan PD III akan terjadi. Jika PD III terjadi maka ia akan menjadi konflik multi domain, bukan lagi sekedar peperangan di darat, laut, dan udara, tetapi juga ruang angkasa. Kendali dan komunikasi militer saat ini dilakukan melewati ruang angkasa, bahkan China dan Russia memiliki anti satellite weapon programs. Cyber war kini bukan hanya sekedar mencuri nomor kontak seseorang atau email, melainkan melumpuhkan jantung militer modern. Senjata digital semisal Stuxnet (malicious computer worm) mampu menyerang sistem SCADA (Supervisory control and data acquisition) dan bertanggung jawab pada kerusakan program nuklir Iran.

Kekuatan Islam Global 2030?

NIC (National Intelligence Council) menyebutkan salah satu skenario masa depan dunia dalam laporannya, mapping the global future, yaitu bangkitnya khilafah pada 2020. Diantara faktor yang menguatkan prediksi ini adalah (1) identitas religius yang menjadi penting dalam mendefinisikan seseorang, di sisi lain laju pertumbuhan muslim tercepat diantara pertumbuhan agama yang lain, semakin banyak pula umat Islam yang semakin kuat komitmennya terhadap syariat Islam, (2) pertumbuhan “Islam radikal”, (3) teknologi informasi yang mengkoneksikan manusia secara global dimana terjadi pertukaran informasi secara cepat.

Lalu apakah kebangkitan Islam akan benar-benar terwujud? Maka jawabannya dikembalikan kepada umat ini. Ustadz Taqiyudin anNabhani dalam kitab Peraturan Hidup dalam Islam menyebutkan bahwa kebangkitan manusia dimulai dari pemikiran. Pemikiran adalah hal yang terpenting dalam mendorong seseorang untuk melakukan perubahan. Jika kita memperhatikan firman Allah dalam alQuran, Allah mengajarkan kita diantaranya melalui kisah, dan salah satu kisah Nabi yang banyak disebutkan di dalam alQuran di banyak tempat adalah kisah Nabi Musa alaihissalam. Sebuah kisah yang sangat menggugah kesadaran. Jika kita menggunakan logika manusia, apakah realistis seorang buronan tanpa kekuasaan di tangannya mampu untuk menghancurkan kerajaan dan kekuasaan Firaun yang begitu besar? Tapi Allah saja lah yang menguasai segala sesuatu. Pasukan Firaun dihancurkan dengan ditenggelamkan dengan izinNya. Maka inilah kekuatan iman yang senantiasa menjadi penghibur seorang Muslim dalam melakukan perjuangan. Di sisi lain, kita pun harus memperhatikan sababiyah agar mampu merealisasikan perubahan. Jika untuk merasakan kenyang saja kita harus bergerak mencari makanan yang bisa kita konsumsi, apalagi jika kita mencita-citakan hal yang besar? Cita-cita untuk mewujudkan sebuah peradaban yang agung yang meninggikan kalimatullah laa ilaha illallah muhamadarrasulullah! Tentu saja membutuhkan pengorbanan yang sangat besar! Melakukan rekayasa terhadap sistem akan menuntut kita untuk memahami bagaimana sistem bekerja, bagaimana interaksi-interaksi antar agen di dalam sistem, kita harus mengeksplorasi arsitektur dari bangunan sistem. Maka layakkanlah diri kita menjadi agen pengubah di tengah-tengah masyarakat jahiliyah agar kembali merasakan terangnya cahaya Islam dengan senantiasa melakukan dakwah mengikuti manhaj Rasulullah shallallahu alaihi wassallam. Bukankah cara terbaik untuk memprediksi masa depan adalah dengan menciptakannya?

parag khanna


0 Komentar

Tinggalkan Balasan

Avatar placeholder

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *