Dalam dua dekade terakhir, pertumbuhan pemukiman elit di kawasan perkotaan mengalami peningkatan yang signifikan. Namun pertumbuhan pemukiman elit ini juga diiringi dengan semakin terpisahnya (segregasi) pemukiman elit dengan pemukiman non elit lainnya. Segregasi spasial mengacu kepada ketimpangan distribusi sumberdaya, kesempatan, dan pelayanan pada area geografi yang berbeda (Reardon & Bischoff, 2011). Penyebutan ketimpangan spasial kami anggap lebih mewakili karena lebih mendekati realita. Ketimpangan spasial ini semakin mempertegas wajah ketimpangan di perkotaan.
Ketimpangan di perkotaan merupakan masalah yang selalu menyertai pertumbuhan perkotaan. Kondisi ini tidak lepas dari kebijakan pemerintah yang cenderung berorientasi pada kepentingan pasar, dan semakin mengandalkan sektor swasta. Kebijakan ini membawa pada terjadinya deregulasi yang semakin mendorong persaingan secara bebas. Bahkan pusat-pusat pelayanan yang seharusnya disediakan oleh negara seperti pelayanan pendidikan dan kesehatan dibuka luas untuk swasta. Begitu pula penyediaan hunian yang merupakan kebutuhan dasar. Peran swasta dibuka lebar untuk dapat menyediakan hunian sesuai dengan target pasar mereka masing-masing. Inilah yang memunculkan segregasi dan ketimpangan spasial yang juga berimplikasi pada ketimpangan sosial.
Oleh karena itu penting untuk mengangkat peran kebijakan yang semakin liberal yang ternyata menyebabkan segregasi dan ketimpangan spasial di perkotaan. Jika kebijakan ini dibiarkan terus berjalan, maka bisa dipastikan segregasi dan ketimpangan spasial semakin tinggi, hal ini akan bisa berimplikasi pada masalah-masalah sosial lain seperti kriminalitas dan lainnya.
0 Komentar