Oleh: Ayu Paranitha
Dalam salah satu bab Il Principe, Niccolo Machiavelli menyebutkan, “untuk menjadi seorang Pangeran dibutuhkan kemampuan yang besar dan keberuntungan yang baik”. Para penguasa semacam ini hadir karena kesempatan yg dtg pd mereka, mampu mereka bentuk sesuai keinginan mereka dg kemampuan yg mereka miliki. Machiavelli memasukkan nama Nabi Musa alaihi salam ke dalam salah satunya. Dia menyebutkan ketika Nabi Musa menemukan bangsa Israel, mereka haruslah menjadi budak di Mesir dan ditindas oleh bangsa Mesir sehingga mereka terpaksa untuk mengikuti nabi Musa dan lari dari perbudakan mereka.
Saya jadi memikirkan ulang aksi 212 kemarin. Ada yg mengatakan bahwa aksi ini ditunggangi kepentingan politik. Tapi pertanyaannya kepentingan politik siapa? Siapa yang cukup beruntung dan memiliki kemampuan mengelola kesempatan ini dan menghantarkan dirinya menjadi penguasa?
Prabowo? Saya pikir massa aksi 212 kemarin lahir bukan dari rahim pendukung Prabowo, hanya saja mungkin massa aksi tidak menyukai kebijakan Jokowi yg disebut-sebut anti Islam, mengkriminalisasi ulama (dan sepertinya narasi ini masih blm efektif dipatahkan dg menggandeng KH. MA sbg cawapres nya), sehingga kalaupun massa aksi memilih Prabowo saya pikir bukan karena mereka suka Prabowo, tapi karena mereka tidak bersama Jokowi 😂
FPI? Aksi Bela Islam berjilid-jilid ini tentu tidak bisa lepas dari nama FPI dg HRS sbg tokoh sentralnya. Dan sependek yg saya tau, FPI itu punya basis massa grass root yg cukup solid. Belakangan FPI juga mulai terjun ke politik praktis. Pada Pilpres 2009 FPI sempat menyatakan mendukung JK – Wiranto. Pada Pilkada Jakarta 2017, FPI mendukung pasangan cagub-wagub asalkan bukan Ahok. Di Pilpres 2019 pun, HRS menyerukan untuk memenangkan Prabowo-Sandi. Tapi menurut Direktur Riset Setara Institute Ismail Hasani, FPI itu nirideologi, tidak punya agenda ideologis sehingga mudah terpengaruh dengan variabel-variabel yg dinamis. Jadi, apa agenda 212 ini menguntungkan FPI, jawaban saya: mungkin iya.
Lalu bagaimana dengan HTI? Hal yg jg menarik dari ABI berjilid-jilid ini adalah munculnya bendera tauhid sbg simbol pemersatu umat Islam yg diidentikan dg HTI. Tentu saja hal ini tidak lepas dari apa yg dilakukan oleh pendukung HTI yg membuat bendera arRoya berukuran besar pada ABI Desember 2016 sehingga menarik mata kamera para jurnalis dan kemudian menjadi viral. Lalu HTI pun memanfaatkan momen ini lewat kegiatan tahunannya di bulan Rajab yg mengingatkan umat Islam akan keruntuhan Khilafah, institusi pemersatu umat Islam dengan menyelenggarakan mapara “Masirah Panji Rasulullah”. Efeknya? Polri mencoba membenturkan HTI dengan ormas Islam lainnya dan berharap akan terjadi konflik horizontal sehingga bisa membubarkan HTI. Sayangnya, mapara berujung damai, HTI lebih memilih mengalah untuk menang, tetap konsisten dg jalan dakwahnya yg tanpa kekerasan. Maka ketika pemerintah tiba-tiba membubarkan HTI dg alasan kegentingan yg memaksa lewat perppu ormas, justru masyarakat melihatnya sbg kegentingan yg dipaksakan 😂. Dan kita lihat hari ini, panji Rasulullah yg awalnya identik dg HTI kini dikibarkan oleh seluruh umat Islam. Kesuksesan yg bahkan mungkin tidak bisa dicapai oleh HTI jika mengandalkan kekuatan internal mereka sendiri. Jadi apa HTI jg diuntungkan? Jawaban saya: mungkin juga iya.
Tapi, secara umum, saya pikir ABI bukanlah kemenangan personal atau sekelompok orang dengan bendera kelompoknya masing-masing. ABI adalah simbol kerinduan umat Islam akan agama mereka, simbol bahwa kalimatullah adalah kalimat yg mereka hidup dan mati dengannya. Oleh karenanya, saya hanya berharap semoga “keberuntungan” lahirnya suasana keislaman yg memuncak akhir-akhir ini akan melahirkan “Pangeran” yg memiliki kemampuan yg akan membawa kita pada peradaban yg Allah ta’ala meridoinya dan tentu saja tidak meraihnya ala Machiavellist yg menghalalkan segala cara untuk sampai pada tujuan, karena Allah Maha baik dan tidak menerima kecuali sesuatu yg baik.
0 Komentar