Oleh : Juanmartin,S.Si.,M.Kes Kisruh halal haram vaksin kembali mengemuka, terlebih saat program vaksinasi measles rubella (MR) dicanangkan beberapa waktu lalu. Jauh sebelum fatwa MUI turun, Kemenkes telah mengklaim kehalalan vaksin tersebut. Tak ayal, sebagian masyarakat yang peduli halal menggugat klaim tersebut lantaran tak ada justifikasi LPPOM MUI selaku pihak yang memiliki otoritas sertifikasi halal di Indonesia. Hingga akhirnya MUI mengirim surat agar Kemenkes segera meminta sampel vaksin kepada produsennya di India untuk diuji oleh LPPOM MUI. Sebagaimana ramai diberitakan, MUI akhirnya mengeluarkan fatwa terkait vaksin MR. “Penggunaan vaksin MR produk dari Serum Institute of India (SII) hukumnya haram karena dalam proses produksinya menggunakan bahan yang berasal dari babi,” ungkap Ketua Komisi Fatwa MUI Hasanuddin di kantor MUI Pusat, Jakarta, pada Senin, 20 Agustus 2018. Meski dinyatakan haram, vaksin MR boleh digunakan. “Penggunaan Vaksin MR produk dari Serum Institute of India (SII), pada saat ini dibolehkan (mubah) karena ada kondisi keterpaksaan (darurat syar’iyyah), belum ditemukan vaksin MR yang halal dan suci, ada keterangan dari ahli yang kompeten dan dipercaya tentang bahaya yang ditimbulkan akibat tidak diimunisasi dan belum adanya vaksin yang halal,” demikian bunyi ketentuan hukum dalam fatwa MUI tersebut. Apa lacur, masyarakat terlanjur kisruh, ditambah kesimpangsiuran informasi terkait fatwa ini. Beberapa hari lalu Menkes menyampaikan ke masyarakat bahwa sertifikat halal vaksin MR telah keluar, namun keesokan harinya diralat lagi (https://m.republika.co.id/berita/nasional/umum/18/08/30/pe9onp349-kemenkes-klarifikasi-pernyataan-sertifikasi-halal-vaksin). Di lapangan pun, masih banyak terjadi pemaksaan imunisasi MR meski dalam fatwanya MUI hanya menghukumi mubah alias boleh karena darurat. Tulisan ini mencoba mengurai dua sisi point penting masalah vaksin yakni, pertama, pentingnya negara hadir dalam memberikan solusi atas permasalahan kontemporer umat yang bersumber dari paradigma berpikir tasyri. Kedua, wajibnya negara mengerahkan upaya di bidang sains dan teknologi untuk memenuhi kebutuhan umat akan vaksin dengan memastikan kehalalannya. Meredam kisruh, umat butuh solusi sistemik Kisruh halal haram vaksin sebenarnya telah berlarut-larut. Nyaris di setiap forum pembahasan ini menjadi topik diskusi. Mulai dari kajian ilmiah, hingga hujjah yang memperkuat argumen bagaimana menyikapi halal haram vaksin. Masalah yang ada tetap pada ketidakpuasan terhadap penjelasan hukumnya. Ditambah lagi, kesan negara yang cenderung membiarkan polemik ini. Dalam sistem sekuler wajar jika negara tak turut campur masalah agama. Jika sesuatu itu berkaitan dengan ranah halal haram, negara akan berlepas tangan. Sebab, Otoritas labelisasi ini sudah diserahkan pada lembaga tertentu dalam hal ini MUI. Ini fatal. Bahkan menjadi bukti lalainya negara dalam menjaga warganya. Jika kita menapaktilasi peradaban Islam, saat permasalahan baru mulai mengiringi kehidupan umat, bisa dipastikan, khalifah selalu hadir memberikan solusi. Terlebih saat menghadapi perbedaan pendapat yang berpotensi menimbulkan kericuhan di tengah-tengah umat. Seperti dalam kasus vaksin ini, misalkan. Berkembang pendapat yang saling berbeda tentang hukum vaksin. Ada yang mengambil pendapat yang membolehkan, ada juga yang mengharamkan secara mutlak. Di sisi lain, ada juga yang memakruhkan. Perbedaan pendapat ini dipicu oleh zat yang digunakan dalam pembuatan vaksin. Aktualisasi ijtihad dalam memecahkan permasalahan kontemporer umat saat ini sangatlah urgen. Umat membutuhkan jawaban atas berbagai problematika baru yang mereka hadapi. Sayangnya saat ini, jawaban atas problem tersebut amat sedikit dan bersifat tambal sulam jika tidak dikatakan tak menghasilkan solusi apapun. Beragamnya masalah kontemporer ini, tak pelak menuntut solusi yang bersumber dari hasil ijtihad para mujtahid. Negara tak boleh berlepas tangan dan khalifah sebagai pemimpin umat dituntut mampu memberikan hasil ijtihadnya dalam rangka meredam polemik ditengah warganya. Disisi lain, keberadaan negara berfungsi untuk mencetak para mujtahid melalui penyelenggaraan pendidikan yang menghasilkan lulusan yang tidak hanya menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi, tetapi juga mampu menjelaskan masalah tasyri atas permasalahan baru tersebut. Lihatlah di zaman keberlimpahan mujtahid di era kekhilafahan, segala problematika umat terjawab berdasarkan prinsip-prinsip syara. Lepas tangannya negara terhadap aspek syariat justru membuka potensi polemik yang tak berkesudahan. Alhasil yang terjadi saat ini adalah umat cenderung gegabah memutuskan serta menghukumi sesuatu, di sisi lain umat sulit berlapang dada terhadap perbedaan pendapat mengenai satu hal. Sesungguhnya jika khalifah ada, hadir di tengah-tengah umat, pendapatnya akan meredam segala perbedaan. Khalifah adalah satu-satunya pihak yang berhak melakukan tabani (adopsi/legalisasi) hukum-hukum syara menjadi UUD, juga UU Negara Khilafah. Ijma shahabat menetapkan bahwa hanya khalifah yang berhak untuk mengadopsi berbagai hukum, sebagaimana kaidah-kaidah syara: (1). Perintah imam (khalifah) menghilangkan perselisihan. (2). Perintah imam (khalifah) harus dilaksanakan, baik secara lahir maupun batin. (3). Bagi seorang sulthan (khalifah) memiliki hak mengeluarkan keputusan-keputusan hukum sesuai problematika yang terjadi. (Nizom al-Hukm fi al-Islam, hlm. 106). Hak istimewa yang dimiliki oleh khalifah ini, tidak berarti bahwa seluruh tabanni-nya tunduk mengikuti hawa nafsu dan kemauan pribadi Khalifah. Hukum Syara telah menegaskan bahwa khalifah dalam melakukan tabanni (adopsi) untuk membuat undang-undang harus terikat dengan hukum syara. Inilah urgensi kekhilafahan bagi umat saat ini. Kedua, Islam memandang kesehatan dengan paradigma yang khas yakni sebagai bagian dari hak dasar manusia. Kebutuhan akan kesehatan tak ubahnya seperti kebutuhan akan pangan. Rasulullah bersabda, Siapa saja di antara kalian yang berada di pagi hari sehat badannya, aman jiwa, jalan dan rumahnya, dan memiliki makanan untuk hari itu, maka seakan ia telah diberi dunia seisinya (HR al-Bukhari dalam Adab al-Mufrâd, Ibn Majah dan Tirmidzi). Sebagai kebutuhan primer, maka negara wajib melakukan ri’ayah secara profesional dan terdepan. Negara melakukan upaya preventif sebagai langkah awal pencegahan timbulnya penyakit, di samping melakukan upaya kuratif. Upaya preventif yang dilakukan salah satunya adalah melalui vaksinasi. Vaksinasi adalah upaya yang ditempuh sebagai rangkaian mewujudkan generasi Islam yang sehat. Namun, wajib digaris bawahi bahwa sehat saja tak cukup. Pemenuhan kondisi sehat ini wajib didukung dengan penggunaan bahan yang halal lagi thoyyib. Sebab halalan thoyyiban, adalah sumber ketenangan masyarakat dalam mengkonsumsi sesuatu. Masalah yang ada saat ini adalah, negara cenderung tidak memedulikan status halal-haram produk yang dikonsumsi masyarakat. Dalam memberikan pelayanan kesehatan, negara harus mengerahkan profesional kesehatan atas dasar kewajiban memberikan pelayanan yang aman dan nyaman. Masyarakat pun harus terpelihara jiwa dan kehormatannya saat menerima pelayanan. Sebisa mungkin, negara wajib berusaha mengeliminasi masuknya celah syubhat pada rakyatnya. Negara harus memastikan bahwa upaya preventif maupun kuratif yang dilaksanakan tidak membahayakan akidah, martabat, jiwa dan fisik pasien. Untuk itulah, negara mengerahkan para ahli kesehatan, melibatkan para scientist termasuk ahli teknologi untuk berinovasi memproduksi berbagai kebutuhan medis yang aman, halal dan thoyyib agar dalam penyelenggaraan upaya preventif maupun kuratif ini, umat terbebas dari hal-hal yang syubhat. “Imam laksana penggembala. hanya dialah yang bertanggungjawab terhadap urusan rakyatnya” (HR.Al-Bukhari). Lantas, bagaimana menyikapi vaksinasi saat ini? Harus difahami bahwa vaksinasi adalah upaya preventif dan merupakan bagian dari pengobatan penyakit. Manusia diberikan pilihan dalam menghadapi penyakit : berobat ataukah bersabar dengan kondisi tersebut. Berobat terkategori sunnah jika merujuk pada hadits riwayat Abu Daud yang telah meriwatkan dari Usamah bin Syarik Ia berkata : Aku datang kepada Rasulullah dan para sahabat beliau seolah-olah kepala mereka seperti burung. Lalu Aku ucapkan salam dan Aku duduk. Kemudian seorang Badui datang dari sini dan dari situ. Mereka berkata : Wahai Rasulullah, apakah kita berobat? Rasulullah bersabda Berobatlah kalian, karena Allah azza wa jalla tidak menempatkan penyakit kecuali Allah tempatkan obat untuknya, kecuali satu penyakit (yaitu) Alharmu (kematian). Lantas, bagaimana dengan Berobat dengan suatu yang najis? ketentuan-ketentuan hukumnya jelas. Ada pilihan Haram (jika merujuk pada pendapat sayyid sabiq, fiqh sunnah; Imam syaukani, Nailul Authar), mubah (bagi kalangan syafiiyah) atau makruh (menurut Syekh Taqiyuddin Annabhani). Dalam ranah khilafiyyah, seorang muqallid diberi pilihan untuk terikat pada pendapat dari salah satu mujtahid yang di ikutinya. Demikianlah, polemik vaksin ini akan terus berkembang, jika umat terus hidup dalam sistem sekulerisme. Negara tak boleh membiarkan masyarakat terus menerus larut dalam perdebatan. Negara harus hadir memadamkan keresahan warganya. Tugas negara adalah mewujudkan kemaslahatan warga, sebab akan dimintai pertanggungjawaban atas kemudharatan pada mereka. Tak terkecuali dalam masalah vaksin, wajib bagi negara mengupayakan produk vaksin halal, sebagai wujud ri’ayah penguasa terhadap rakyatnya. Wallahu a’lam.

0 Komentar

Tinggalkan Balasan

Avatar placeholder

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *