Oleh : Tia Miftahul Khoiriyah, S.Si   Antusiasme masyarakat dalam meramaikan Hari Bebas Kendaraan Bermotor (HBKB) atau terkenal Car Free Day (CFD) sangatlah tinggi. Bagi mereka CFD adalah ajang refreshing bersama keluarga, saudara, atau sahabat. Berkumpul di pusat kota dari kalangan anak-anak, remaja, dewasa, hingga orang tua. Keadaan yang stategis menjadi wajar apabila banyaknya massa di CFD mengundang perhatian pemerintah. Apalagi tahun ini menuju tahun politik. Sigap di berbagai daerah termasuk ibukota Jakarta, Satpol PP dan jajaran kepolisian melakukan pemasangan spanduk yang bertuliskan peraturan Pergub Nomor 12 tahun 2016 tentang pelaksanaan HBKB (1) Sepanjang jalan HBKB  hanya dapat dimanfaatkan untuk tema: (a) Lingkungan hidup (b) Olahraga (c) Seni dan Budaya (2) HBKB tidak boleh dimanfaatkan untuk kepentingan partai politik dan SARA serta orasi ajakan yang bersifat menghasut. Tahun politik dan gejolak di tengah pemerintahan saat ini menjadi alasan kuat untuk menegaskan kembali Pergub tersebut. Hal ini tentu saja tak lepas dari “kericuhan” yang terjadi akibat perang hash tag pada momen CFD, #DiaSukaKerja dan #2019GantiPresiden. Pemasangan spanduk mengenai isi Pergub ini secara tidak langsung dilakukan untuk meredam opini oposisi. Saat disebutkan momen HBKB tidak boleh dimanfaatkan untuk kepentingan SARA bukankah berarti itu juga berlaku pada sekelompok orang yang mencoba melakukan amar makruf nahyi mungkar kepada penguasa berlandaskan pemikiran Islam? Di sisi lain, bukankah tak menutup kemungkinan penguasa justru melakukan program kerjanya di CFD? Bukankah itu sama saja dengan berpolitik? Peraturan ini pada akhirnya dapat ditafsirkan secara subjektif dan tentu saja aktivitas politik penguasa, pencitraan untuk meraup suara untuk masa pemilu selanjutnya di CFD akan luput dari pengawasan pelaksanaan peraturan. Sedangkan terhadap ide lain yang digulirkan oleh partai atau komunitas lainnya akan ditanggapi berbeda bahkan bisa dicap dengan label“ekstrim atau intoleransi”. Interpretasi hukum dan etika yang tidak sama dan multiinterpretatif memberi kesempatan atas masuknya kepentingan politik penguasa untuk mengaburkan keadilan. Standar hukum hari ini tentu saja tidak memasukkan pertimbangan halal dan haram. Halal bisa berubah menjadi haram atau sebaliknya. Lihat saja aktivitas CFD berupa olahraga, belanja, dan wisata kuliner adalah mubah. Kacamata Islam memandang jika yang mubah saja boleh apalagi yang wajib seharusnya mendapatkan dukungan pemerintah. Contohnya saja amalan wajib seorang mukmin adalah amar ma’ruf nahi munkar, menyeru pada kebenaran dan mencegah kemunkaran. Amalan tersebut adalah asas perpolitikan berupa pengurusan urusan umat. Dengan definisi tersebut menjadikan kegiatan politik tidak akan terlepas dari kehidupan termasuk ketika melakukan CFD. Lahan stategis CFD tersebut haruslah dimanfaatkan oleh seorang muslim serta didukung pemerintah untuk menyebar kebaikan. Tentu dengan membawa Islam. Baik berupa kampanye penuntasan masalah individu hingga negara pun bisa dilakukan disana. Contohnya saja kampanye tentang pergaulan bebas merusak generasi, kampanye penyelesaian kasus penista agama, kampanye anti neo-liberalisme dan neo imperealisme, kampanye islam memuliakan perempuan, kampanye lemahnya perekonomian negara karena dibangun atas utang luar negeri, kampanye pembebasan negeri Palestina,  Suriah,  Rohingya dari hegemoni barat,  dan lain sebagainya.  Kampanye tersebut adalah sesuatu yang benar dan menjadi amalan yang agung ketika standar yang digunakan adalah hukum Allah swt. Sebagaimana Rasulullah saw bersabda: “Jihad yang paling utama adalah mengutarakan perkataan yang ‘adil di depan penguasa  atau pemimpin yang zhalim.” (HR. Abu Daud No. 4344.  At Tirmidzi No. 2174) Atau firman Allah swt bahwa “Dan laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut (nama) Allah, Allah telah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar.” (QS. Al-Ahzab: 35). Keberadaan kita di negara sekular kapitalisme yang tidak seluruhnya berstandarkan Islam. Tidak menutup kemungkinan atas nama demokrasi yang mudah disusupi kepentingan penguasa menjadikan kampanye-kampanye tersebut bisa dianggap sebagai sebuah orasi menghasut atau SARA. Kembali yang menjadi korban adalah kaum muslim.  Oleh karena itu, kami menuntut dengan tegas kepada penguasa agar adil terhadap diri dan warga negara. Tidak melibatkan hawa nafsu atau menjual perundangan atas pesanan asing untuk menghakimi warga negara. Gunakanlah Islam secara keseluruhan  termasuk dalam pengisian agenda CFD agar mubah pun berubah menjadi ibadah. Wallahu’alam bi ash-shawab  

0 Komentar

Tinggalkan Balasan

Avatar placeholder

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *