Sikap Putra Mahkota Arab Mohammed Bin Salman (MBS) yang membela China soal penahanan kamp konsentrasi untuk Muslim Uyghur sangat ironis. Padahal, sebagaimana diberitakan TEMPO.CO (23/2/2019), Middle East Eye melaporkan, Omer Kanat, Direktur Uyghur Human Right Project, organisasi pembela hak asasi Uyghur yang berbasis di Amerika Serikat, sebelumnya memohon kepada MBS untuk memperjuangkan nasib Uyghur selama lawatannya dua hari ke China.

Namun MBS mengataka, “China memiliki hak untuk upaya anti-terorisme dan de-ekstrimisasi demi keamanan nasionalnya”. Bahkan dalam lawatannya perdananya itu MBS juga sepakat menanam ratusan trilyun rupiah seperti dikutip The Telegraph (23/2/2019). Pembelaan MBS terhadap China sebetulnya tidak mengherankan sebab kebijakan politik dalam dan luar negeri Arab Saudi sendiri  tidak bisa dikatakan sebagai representasi pemerintahan Islam. Meskipun demikian, dunia Islam masih berharap banyak padanya, apalagi Arab Saudi tempat dimana Ka’bah berada, symbol persatuan umat Islam sedunia.

Arab Saudi sebagaimana negeri-negeri Muslim lainnya pada dasarnya sama-sama menjadi korban jebakan eksklusivisme sistem Negara-bangsa. Akibatnya, umat Islam tersekat-sekat satu dengan yang lainnya. Tidak cukup sampai disitu, para penguasa di negeri-negeri Muslim -termasuk MBS- turut membenarkan narasi deradikalisasi dari Barat yang menempatkan umat Islam sebagai tertuduh. Bahkan sejumlah program deradikalisasi dengan beragam bentuknya telah banyak dijalankan di berbagai belahan dunia Islam. Indonesia diam karena ada kepentingan ekonomi yang harus diamankan, kebergantungan terhadap modal dan investasi China. Secara tidak langsung sikap seperti ini akan terus mengekalkan penindasan Muslim Uighur, dan ini tidak bisa dilepaskan dari sistem tata dunia yang terus memelihara rezim predator China dan rezim-rezim boneka Muslim Asia Tengah.

Adapun dalam konteks hubungannya dengan China, MBS bersama para penguasa di dunia Islam juga tengah tersandera oleh kepentingan ekonomi. Ada kepentingan ekonomi yang harus diamankan, akibat kebergantungan terhadap modal dan investasi China. Upaya gencar China menggaet negeri-negeri Muslim untuk bermitra dengannya membuat para penguasa itu kelu berucap dan kabur dalam melihat. Cita-cita pertumbuhan ekonomi dan parameter-parameter capaian ekonomi telah menggeser cara pandang mereka dalam berhubungan satu sama lain, termasuk berhubungan dengan sesama Muslim. Hubungan yang seharusnya dibangun di atas standard dan nilai-nilai Islam menjadi hubungan transaksional.

Jika para penguasa di dunia Islam telah kehilangan standard dan nilai-nilai Islam, dengan apa mereka akan mengurusi dan mengatur umat? Inilah diplomasi lemah dan politik luar negeri penuh ketertundukan pada hegemoni asing.  Tata dunia kapitalistik hari ini telah menempatkan kepentingan ekonomi dan politik lebih tinggi dari kemanusiaan dan hak-hak dasar manusia, termasuk hak beribadah kepada Allah Swt.

Padahal Rasulullaah SAW hingga saat wafatnya tak henti menyebut-nyebut umat yang sangat dicintainya ini. Hendaknya para penguasa di dunia Islam mengambil hadits ini sebagai peringatan :

“Akan datang kepadamu masa penuh tipu daya, dimana orang-orang akan mempercayai kebohongan dan mendustakan kebenaran, dan mereka mempercayai para pengkhianat dan tidak mempercayai para pembawa kebenaran. Pada masa itu, Ruwaibidhah akan berbicara. Mereka bertanya, “Dan apakah itu Ruwaibidhah?” Rasulullah berkata : “ Orang-orang bodoh (yang berbicara) tentang urusan umat.”

(HR. Ibnu Majah, dari Abu Hurairah ra)

Penulis : Ermalinda Z

Reviewer dan Editor: Fika Komara


0 Komentar

Tinggalkan Balasan

Avatar placeholder

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *