Pada 8 Desember 2018 atau 1 hari sebelum Hari Anti Korupsi sedunia yang diperingati setiap 9 Desember, Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan Romahurmuziy atau Rommy mempublikasikan sebuah video pendek antikorupsi di akun Twitter-nya, @MRomahurmuziy. “Bagi saya berpolitik adalah hobi, bukan sumber penghasilan. Selamat #HariAntiKorupsi,” tulis Rommy. Dalam video yang sempat diunggah ulang oleh Mahfud MD itu, Romahurmuziy menyinggung soal pejabat yang menjadi penjahat. Menurutnya Romahurmuziy, hanya ada perbedaan tipis di antara pejabat dan penjahat. Menurutnya, sistem politik saat ini menuntut para politisi yang ingin bersaing harus mengucurkan sejumlah biaya dengan jumlah yang tidak sedikit. “Kenapa? Karena memang sistem politik kita yang hari ini berbiaya tinggi,” lanjutnya. Ironisnya 3 bulan setelahnya Rommy ditangkap oleh KPK pada Jumat (15/3/2019) karena diduga terkait kasus pengisian jabatan di Kementerian Agama.
Tertangkap tangannya Romi sesungguhnya pertanda gagalnya sistem politik sekuler yang ironisnya diakui sendiri oleh terdakwa sebagai sistem politik yang mampu mengubah seorang pejabat menjadi penjahat dalam sekejap. Tokoh Islam pendukung rezim Jokowi ini pada akhirnya secara sadar memilih menjadi penjahat meski sempat berkoar anti korupsi. Fenomena ini membuat kita bertanya. Dimanakah sosok pemimpin jujur dan adil di tengah wabah korupsi yang sistemik ini? Dimanakah posisi politik tauhid di tengah gaduhnya pesta demokrasi tahun ini?
Hari ini dengan politik demokrasi sekuler, pandangan politik umat telah “dibonsai”, dibuat rabun jauh dan dangkal. Para politisi Muslim akhirnya kehilangan identitas sekaligus integritasnya. Mereka tidak segan menggadaikan negerinya diperas dan dijajah oleh asing demi untuk memperkaya diri, keluarga, atau kelompoknya – semua demi untuk bertahan dan tetap eksis dalam pentas politik yang berbiaya tinggi. Wajar dalam sekejap mereka yang awalnya lurus bisa dengan mudah berubah menjadi koruptor dan penjahat, bukan hanya jual beli jabatan, bentuk korupsi politik yang paling berbahaya adalah memperjual-belikan pasal-pasal dalam undang-undang atau keputusan politik seperti membungkam suara kelompok umat yang mukhlis. Tak mengherankan, jika pejabat partai maupun pejabat parlemen yang semestinya menjadi pemimpin perjuangan politik demi kepentingan rakyat, justru menjadi alat untuk melakukan berbagai tindakan korupsi bahkan kezhaliman politik tadi.
Para politisi korup ini juga tega menunggangi dan memanipulasi suara umat demi mendukung kelompok kapital berpengaruh yang menjual narasi Islamophobia dan anti-Khilafah. Tak heran Pemilu tahun ini sangatlah gaduh tanpa ada ruang bagi visi politik Tauhid yang jernih untuk masa depan negeri ini, hanya ada kontestasi kepentingan yang kuat di level elit, meski pada umat sudah terjadi pergolakan ideologis. Suara ideologi tauhid dari umat justru dibungkam dengan dibubarkannya HTI sebagai ormas terdepan di Indonesia yang menyuarakan ideologi Islam.
Jadilah politisi korup ini sebagai budak-budak politik pragmatis yang menuhankan kepentingan tuannya dan tak lagi takut pada Rabb Nya serta ajaran tauhid. Wajar politisi seperti Rommy rela mempertaruhkan integritasnya, membungkam ormas Islam yang mukhlis, menjelekkan Khilafah ajaran Islam hanya demi kepentingan kelompoknya.
Politik Islam sesungguhnya bermakna pengaturan urusan umat dengan aturan-aturan Islam, baik didalam maupun luar negeri. Dari definisi ini bisa kita pahami apa sebenarnya yang menjadi kepentingan politik umat Islam; dan itu adalah politik tauhid bukan politik kepentingan. Politik tauhid seperti yang dicontohkan oleh Rasulullah Saw dan Khulafaur Rasyidin setelahnya. Aktivitas politik dilaksanakan oleh rakyat (umat) dan pemerintah (negara). Pemerintah merupakan lembaga yang mengatur urusan rakyat secara praktis (‘amali). Lalu umat mengontrol sekaligus mengoreksi (Muhasabah) pemerintah dalam melaksanakan tugasnya. Walhasil, dalam konsep politik Islam ini, umat Islam bukan hanya berkepentingan untuk memiliki pemerintahan yang bisa memakmurkan, mensejahterakan dan memajukan mereka secara materi, tetapi juga pemerintahan yang MAU menegakkan dan menerapkan politik tauhid dan Syariah Islam.
Sejak dulu umat Islam sudah dibentuk dengan pemikiran politik Islam yang luhur, hingga memahami bahwa kepentingan politik mereka berdimensi spiritual, visioner dan berkelanjutan. BUKAN kepentingan yang berdimensi sesaat, dangkal dan penuh kompromi terhadap misi tauhid yakni ibadah pada Allah Swt. Perlu dicatat bahwa sebuah kepentingan politik yang benar dalam pandangan Islam, tidak boleh menghalalkan segala cara, apalagi sampai melacurkan diri dan agamanya; tidak boleh juga berhenti hanya dalam kerangka kepentingan sesaat dan jangka pendek, melainkan wajib berpegang teguh dengan kerangka dakwah Islam yang komit untuk perubahan mendasar jangka panjang.
Sungguh umat teramat merindukan kepemimpinan sejati mereka, kepemimpinan yang dicontohkan Rasulullah Saw yang investasi politiknya terbukti berabad-abad lamanya. Umat Islam di Indonesia harus menyadari kepentingan politik terbesar mereka adalah mewujudkan sistem politik ideal ajaran Rasulullah Saw, dan di tahun politik ini umat Islam berkewajiban mencari dan memilih pemimpin yang mau dan mampu menerapkan syariat Islam secara menyeluruh untuk masa depan umat dan Islam yang berkelanjutan.
أَلَمْ تَرَ إِلَى الَّذِينَ يَزْعُمُونَ أَنَّهُمْ آمَنُوا بِمَا أُنْزِلَ إِلَيْكَ وَمَا أُنْزِلَ مِنْ قَبْلِكَ يُرِيدُونَ أَنْ يَتَحَاكَمُوا إِلَى الطَّاغُوتِ وَقَدْ أُمِرُوا أَنْ يَكْفُرُوا بِهِ وَيُرِيدُ الشَّيْطَانُ أَنْ يُضِلَّهُمْ ضَلَالًا بَعِيدًا
“Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang mengaku dirinya telah beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu dan kepada apa yang diturunkan sebelum kamu? Mereka hendak berhakim kepada thaghut. Padahal mereka telah diperintah mengingkari thaghut itu. Dan syaitan bermaksud menyesatkan mereka (dengan) penyesatan yang sejauh-jauhnya.” (Qs. an-Nisaa’ [4]: 60)
— Fika Komara
http://www.hizb-ut-tahrir.info/en/index.php/2017-01-28-14-59-33/news-comment/17124.html
0 Komentar