Oleh : Juanmartin Per januari 2018, berdasarkan catatan BI, ULN (utang luar negeri) Indonesia berada pada angka 356,9 miliar dollar Amerika Serikat (AS) atau setara dengan Rp 4.996,6 triliun (kurs Rp 14.000 per dollar AS). Jumlah ULN Indonesia ini terdiri atas utang pemerintah dan bank sentral sebesar 183,8 miliar dollar AS serta utang swasta termasuk BUMN sebesar 173,1 miliar dollar AS. Gubernur Bank Indonesia (BI) mengomentari jumlah utang luar negeri (ULN) Indonesia pada akhir April 2018. Menurut Perry Warjiyo, ULN tersebut masih dalam kategori aman jika dilihat dari rasio produk domestik bruto (PDB). “Jadi jangan dilihat nominalnya, sebab ukuran ini kan relatif. Satu dollar AS sekarang kan berbeda dengan satu dollar AS 10 tahun lalu. Jadi harus dibandingkan satu dollar sekarang dengan ekonomi kita,”. Beliau menambahkan, dengan rasio PDB sekarang, maka outstanding utang tersebut masih aman. Di sisi lain, Perry juga menerangkan bahwa saat ini kemampuan membayar debt service ratio atau DSR Indonesia masih aman. Indikator berikutnya yang membuat ULN Indonesia masih dalam batas aman adalah adanya ketentuan tentang kehati-hatian dalam pengelolaan utang. Hal tersebut membuat ULN swasta non korporasi wajib untuk melakukan hedging. Menurut beliau, Ketiga indikator seperti outstanding utang terhadap rasio PDB, kemampuan bayar DSR yang aman, dan hedging ULN swasta non korporasi, diyakini Perry membuat ULN dari sisi level dan kemampuan bayar serta manajemen risiko cenderung jauh dari bahaya. Namun, benarkah utang Indonesia masih terkategori aman? Indikator “Utang Aman”, yang tak nyaman Sayangnya masih banyak pihak yang menyangsikan pernyataan gubernur BI tersebut. Setidaknya dilihat dari tiga sisi indikator keamanan utang luar negeri Indonesia yang disebutkan di atas. Pertama, dari sisi rasio produk domestik bruto. Rasio utang negara terhadap PDB kerap menjadi justifikasi untuk menyatakan bahwa utang negeri ini masih di ambang batas aman. Masalahnya adalah, aman atau tidaknya jumlah utang yang ada harus dilihat dari kemampuan negara tersebut membayar utangnya, yakni dari sisi produktivitasnya. Utang yang dianggap produktif itu tak hanya sekedar bisa memenuhi aspek likuiditas seperti kemampuan membayar bunga dan cicilan, tapi juga bisa memberikan pertumbuhan ekonomi yang produktif dan berkualitas. Bagaimana dengan Indonesia? Pertumbuhan ekonomi yang produktif dan berkualitas ini harusnya di indikasikan dengan kian baiknya ekonomi negara yang di iringi dengan membaiknya kesejahteraan rakyat suatu negara. Sayangnya, fakta ini tidak terjadi di Indonesia. Jika mengikuti standar garis kemiskinan menurut BPS saja (yakni pendapatan Rp 387.160 per kapita per bulan) saja banyak rakyat yang masih terkategori miskin, apatah lagi jika mengikuti standar bank dunia yakni pendapatan sebesar USD 1,9 per hari, atau setara Rp 775.200 per bulan (kurs 13.600). Kedua, kemampuan membayar debt service ratio atau DSR Indonesia masih aman. Oleh beberapa pihak, mereka justru memandang indonesia berada pada kondisi harus berhati-hati mengenai hal ini. Terlebih kenaikan suku bunga The Fed yang diperkirakan sebesar 1% atau empat kali kenaikan sepanjang tahun ini membuat pembayaran bunga dan cicilan pokok utang cenderung naik di tahun 2018. Bagi negara-negara berkembang, berdasarkan Debt Services Framework (DSF) IMF dan Bank Dunia ditetapkan batas (threshold) atas yang aman untuk rasio debt services terhadap ekspor adalah sebesar 25 persen. Dari delapan negara berkembang di kawasan Asia Tenggara, Indonesia memiliki rasio debt services terhadap ekspor yang tertinggi, mencapai 39.6%. Nilai ini jauh melewati batas aman rasio berdasarkan DSF IMF dan Bank Dunia yang sebesar 25%. Dengan kata lain sebenarnya Indonesia sudah masuk “lampu merah”, sedangkan tujuh negara peer lainnya (Kamboja, Myanmar, Thailand, Filipina, Laos, Malaysia, dan Vietnam) masih sangat aman, alias “lampu hijau”. Ketiga mengenai hedging, ditengah karut marutnya ekonomi dalam negeri, nilai tukar rupiah yang kian melemah terhadap dollar, kondisi hedging pada saat ini sangat jauh dari kata aman. Tak ada kata aman untuk utang Sungguh, tak ada kata yang mengenakkan apalagi merasa aman dalam kondisi berhutang, terlebih hutang negara. Selain menjadi beban bagi pembiayaan dalam negeri (membebani APBN), hutang juga bisa menjadi alat politik bagi satu negara kreditor untuk mendikte negara debitor. Untuk dalam negeri Indonesia, utang luar negeri ini sudah sangat membebani APBN. Indikasinya bisa dilihat dari aspek penerimaan maupun pengeluaran APBN. Dari sisi penerimaan, sumber utama RAPBN berasal dari pajak yang diambil dari rakyat kian meningkat dari tahun ke tahun. Sumber lainnya, hutang, yang saat ini telah menembus angka 356,9 miliar dollar Amerika Serikat (AS) atau setara dengan Rp 4.996,6 triliun. Padahal, sumber-sumber pendapatan dari kekayaan alam negeri ini masih sangat banyak seperti tambang emas, perak, minyak, gas dan lainnya. Kemana hasil kekayaan alam tersebut yang harusnya menjadi sumber utama APBN itu? Adapun dari sisi pengeluaran, APBN selalu dibebani oleh anggaran pembayaran hutang luar negeri. Cicilan untuk bunga utang per 2017 saja telah mencapai 130,891 triliun, belum termasuk pokoknya. Sebaliknya, anggaran subsidi untuk kepentingan rakyat terus dikurangi. Untuk tahun 2018 ini, rakyat harus meradang dengan dikuranginya subsidi tarif dasar listik, BBM, elpiji yang notabene merupakan kebutuhan dasar warga masyarakat. Walhasil, dampak utang ini sejatinya akan sangat dirasakan oleh rakyat. Dalam skala yang lebih luas, beban utang ini telah membuat Indonesia sulit untuk menjadi negara mandiri, kuat dan terdepan. Tawaran utang dari berbagai lembaga utang dunia, telah terbukti menjadi alat untuk mendikte strategi dan kebijakan suatu negeri termasuk Indonesia. Akibatnya, negeri ini dengan mudah tunduk pada tekanan asing yang cenderung memaksakan kepentingan dan ideologi mereka. Hal ini terbukti dengan kian kacaunya kondisi negeri ini. Mulai dari isu terorisme dan radikalisme yang sarat akan kepentingan barat, pembangunan infrastruktur yang cenderung tak sesuai dengan kebutuhan masyarakat, kebijakan tenaga kerja asing yang tak populer, hingga kriminalisasi ajaran Islam dan para ulama yang kian memicu islamfobia di negeri yang penduduknya mayoritas muslim ini. Alhasil, tak ada kata aman untuk utang. Negeri ini membutuhkan visi politik ekonomi yang yang mampu menjawab seluruh krisis di bidang ekonomi. Ini tentu hanya akan mampu dijalankan oleh sebuah negara yang memiliki kemandirian visi politik yang khas, dan jauh dari intervensi asing dan aseng. Wallaahu a’lam.

0 Komentar

Tinggalkan Balasan

Avatar placeholder

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *