Sebuah Catatan Perjalanan ke Palembang Oleh; Riskha Budiarti (tim Litbang IMuNe) Awal Ramadhan lalu, adalah kali pertama saya datang ke kota terbesar kedua di Pulau Sumatera. Kota yang menjadi ikon pertumbuhan ekonomi Sumatera bagian selatan. Perwujudan sebagai kota besar telah nampak saat tiba di Bandara Sultan Mahmud Badaruddin II sebagai bandara internasional dengan ratusan jadwal penerbangan dan puluhan maskapai baik domestik maupun internasional. Berbagai poster menyambut ASIAN Games Agustus mendatang banyak terpampang di dalam maupun luar bandara. Sesaat setelah keluar bandara kita disuguhi pemandangan tiang pancang LRT (Light Rail Transit) yang menjulang sepanjang jalan dari Bandara menuju Pusat Olahraga Jakabaring. Jalan yang kami lewati di bawah tiang LRT rusak berat, selain karena pembangunan LRT juga karena ada beberapa pembangunan jalan fly over yang sedang berlangsung. Di tengah perjalanan saya mengobrol ringan dengan sahabat yang orang asli Palembang. Saya katakan bahwa wah jalannya jadi rusak berat ya. Sahabat saya mengatakan bahwa jalan rusak semacam ini sudah banyak menelan korban kecelakaan sampai meninggal. Wah ongkos sosialnya tinggi juga guman saya. Perjalanan lanjut sampai ke Jembatan Ampera yang terkenal itu. Jembatan diatas Sungai Musi ini ternyata padat sekali. Di sebelah Jembatan Ampera ini juga menjulang lintasan LRT. Lalu di sebelahnya lagi sedang terjadi pembangunan jembatan yang baru. Di bawah Jembatan terlihat puluhan kapal untuk transportasi orang maupun barang yang hendak menyeberang Sungai Musi. Rupanya meskipun sudah ada jembatan, penduduk Palembang khususnya daerah yang dipisahkan Sungai Musi masih membutuhkan perahu untuk menyeberangi Sungai Musi karena terlalu jauh jika harus menyeberang melalui jembatan ampera. Sahabat saya mengatakan bahwa di Palembang ini sebenarnya butuh banyak moda transportasi sungai, karena banyak daerah-daerah yang memang bisa dijangkau dengan menyeberangi sungai, saya timpali berarti nggak butuh LRT ya? Sahabat saya mengatakan ya nggak terlalu butuh, LRT ini kan bukan untuk kita, tapi untuk kepentingan pesta olahraga saja. Dalam hati saya berguman, pantaskah ongkos ekonomi dan sosial yang tinggi untuk mengejar gengsi pesta olahraga?   Pesta olahraga yang mahal Menjadi tuan rumah sebuah pesta olahraga internasional memang harus siap dengan pendanaan yang tinggi. Meskipun demikian masih banyak negara yang berani dan mau menjadi tuan rumah pesta olahraga internasional karena dianggap bisa mendatangkan pemasukan yang besar dari wisatawan asing yang datang ke negaranya. Padahal realita menunjukkan negara tuan rumah pesta olahraga seringkali harus nombok karena pemasukan tidak sebanding dengan pengeluarannya. Bahkan Yunani dan Brazil menjadi contoh yang buruk ruginya bahkan bangkrutnya negara setelah menjadi tuan rumah Olimpiade.  Pada 2004, Athena menjadi tuan rumah Olimpiade. Diperkirakan kegiatan itu menelan ongkos 9 miliar dolar. Negara yang sedang kesusahan akhirnya semakin memburuk berakibat pada krisis keuangan pada 2007, tak lama setelah itu Yunani pun bangkrut. Sedangkan Brazil, tahun 2016 Rio de Jeneiro menjadi tuan rumah Olimpiade, ongkos ekonomi yang harus ditanggung sebesar 13 miliar dolar, namun ternyata bukan hanya ongos ekonomi saja yang mahal, ongkos sosial yang harus ditanggung pun tak tanggung-tanggung. Gelombang protes datang dari warganya sendiri karena banyak yang menjadi korban penggusuran. Disamping itu tingkat kemiskinan di Rio De Jeneiro sendiri masih cukup tinggi, tetapi pemerintah lebih memilih membangun sarana olahraga yang mahal daripada menghidupi rakyatnya. Puncaknya, pemerintah kehilangan kepercayaan rakyatnya. Sehingga ongkos politik yang harus ditanggung pun juga mahal. Sedangkan untuk penyelenggaraan Asian Games 2018, Kepala Bappenas menyebutkan biaya infrastruktur dan operasional (Jakarta dan Palembang) diperkirakan mencapai 41,2 Triliun rupiah. Biaya ini diperkirakan akan mendatangkan dampak ekonomi yang besar apalagi ditambah dengan total pengeluaran pengunjung yang diperkirakan mencapai 3,6 milliar rupiah (2,5 milliar untuk Jakarta, dan 1,1 milliar untuk Palembang). Angka yang fantastis tersebut terkesan memberikan keuntungan ekonomi yang signifikan, namun itu belum mempertimbangkan biaya pemeliharaan fasilitas-fasilitas olahraga yang telah dibangun. Selama ini biaya pemeliharaan fasilitas masih mengandalkan APBD, padahal dengan semakin banyaknya fasilitas olahraga yang dibangun mka semakin membengkak biaya pemeliharaannya. Jika hal ini tidak diperhitungkan secara matang, maka bukan tidak mungkin akan banyak fasilitas olahraga yang terbengkalai seperti yang terjadi di Riau pasca penyelenggaraan PON tahun 2012. Ini baru ongkos yang nampak di permukaan. Ongkos moral sebenarnya juga menyertai pesta olahraga dimanapun berada. Bisnis prostitusi atau pelacuran sudah menjadi rahasia umum menyertai perhelatan pesta olahraga.   Kota Pempek menjadi kota olahraga dunia? Seringnya Palembang menjadi tuan rumah pesta olahraga baik nasional maupun internasional, rupanya telah mengubah visi kota palembang menjadi kota olahraga dunia. Hal ini juga yang menjadikan Gubernur Sumatera Selatan Alex Nordin percaya diri bahwa fasilitas yang dibangun di Jakabaring Sport City (JSC) tidak akan terbengkalai karena akan terus ada penyelenggaraan event-event olahraga.  JSC akan dipromosikan ke seluruh dunia agar menarik penyelenggaraan event olah raga untuk selanjutnya menari wisatawan. Benarkah sesederhana itu? Sampai kapan akan terus mengandalkan event olahraga? Jelas sebuah event olahraga tidak hanya bicara pemasukan tetapi juga pengeluaran. Banyak bukti bahwa penyelenggaraan event olahraga justru rugi daripada untung. Karena untuk menarik wisatawan yang besar, diperlukan acara-acara yang spektakuler yang biayanya juga besar. Sebuah visi kota harusnya dibangun dari pandangan hidup dan potensi masyarakat yang ada di dalamnya. Apakah masyarakat Palembang memang punya karakteristik yang dekat atau cinta dengan olahraga? Saya kira tidak. Kalaupun mau dibangun agar masyarakat cinta dengan olahraga maka perlu rekayasa khusus yang melibatkan banyak bidang terkait mulai dari pendidikan hingga mendekatkan fasilitas olahraga ditengah-tengah konsentrasi penduduk. Jika kita lihat kota olahraga yang berkembang seperti Barcelona memang punya kebijakan dalam jarak lima sampai sepuluh menit ada lapangan sepak bola. Kalau di Palembang terpusat di JSC siapa yang mau ke rawa-rawa yang jaraknya jauh dari pemukiman? Karena itu, menjadikan Palembang sebagai kota olah raga dunia sepertinya agak dipaksakan. Aji mumpung saja karena pemerintah pusat telah membangun beberapa sarana olah raga kelas dunia. Pekerjaan pemerintah daerah untuk kelanjutan fasilitas-fasilitas olah raga yang sudah dibangun sebenarnya sangat berat. Karena biaya pemeliharaan fasilitas tersebut tidaklah murah.   LRT VS Moda Transportasi Masyarakat Kembali kepada pembangunan LRT di Palembang yang cukup mengganggu bahkan sudah menelan korban kecelakaan lalu-lintas, memang pembangunan LRT ini dimaksudkan seutuhnya untuk kepentingan ASIAN Games yang akan diselenggarakan Agustus mendatang. Pembiayaannya pun dari Pemerintah Pusat, kalaupun masyarakat Palembang dilibatkan untuk memanfaatkannya, hanyalah sebagai ekses positif dari pembangunan LRT. Biaya pembangunan LRT Palembang ini mencapai Rp 10,9 triliun dan seluruhnya menggunakan dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dengan pembayaran multiyears selama empat tahun dari 2016 sampai 2020. Dengan target penyelesaian di 2018, artinya anggaran yang cair masih kurang dua tahun. Kekurangan dua tahun itu ternyata akan ditalangi PT Waskita, ini ternyata yang menyebabkan naiknya utang Waskita meskipun kebanjiran proyek infrastruktur. Dalam hal ini pemerintah terlihat sangat serius untuk mengupayakan moda transportasi yang mendukung ASIAN Games, lalu bagaimana dengan moda transportasi untuk masyarakat? Sepertinya masih menjadi nomor kesekian, bukan prioritas. Di Sumatera Selatan banyak daerah-daerah yang dapat dijangkau melalui sungai-sungai, moda transportasi sungai sangat banyak dibutuhkan namun belum menjadi perhatian prioritas bagi pemerintah daerah dalam hal ini. Padahal dengan biaya pembangunan LRT yang begitu besar untuk event temporal, jika dialihkan ke pembangunan moda transportasi yang lebih dibutuhkan masyarakat banyak, mungkin akan lebih bermanfaat dalam jangka panjang, kalau mau itung-itungan, berapa persen sih masyarakat Sumatera Selatan yang akan mendapatkan keuntungan dengan dibangunnya LRT? Tentu membutuhkan studi lebih lanjut, namun secara kasar sudah terlihat bahwa tidak banyak yang akan diuntungkan mengingat tujuan pembangunan LRT ini adalah untuk menyukseskan ASIAN Games.   Perlunya pembangunan visioner yang berorientasi pada kehormatan dan kesejahteraan rakyat Dalam kitab Nidhamul Iqtishadi fil Islam (Sistem Ekonomi Islam), Syaikh An Nabhani menyatakan berdasarkan telaah terhadap hadist-hadist Rasulullah, didapati bahwa seorang pemimpin dalam Islam harus dapat menjamin terpenuhinya kebutuhan pokok individu maupun komunal rakyatnya. Kebutuhan pokok individu meliputi sandang, pangan, dan papan, dipenuhi melalui mekanisme tidak langsung maupun langsung. Tidak langsung adalah dengan menciptakan suasana agar rakyat dapat bekerja atau beraktivitas sehingga rakyat dapat memenuhi kebutuhan pokok untuk dirinya dan orang lain yang menjadi tangungannya. Sedangkan mekanisme langsung diberikan kepada orang-orang yang tidak mampu dan tidak ada seorang pun dari kerabatnya yang dapat memenuhi kebutuhannya, maka pemimpin atau negara memberikan secara langsung kebutuhan sandang, pangan, maupun papannya. Sedangkan kebutuhan pokok komunal mencakup pendidikan dan kesehatan, diberikan secara langsung dengan menyediakan sarana dan prasarana pendidikan dan kesehatan bagi masyarakat. Visi seperti inilah yang seharusnya diadopsi oleh penguasa-penguasa Muslim di berbagai negeri dalam melakukan pembangunan ekonomi. Sebuah visi yang tertuntun oleh bimbingan wahyu, bukan dituntun oleh nafsu dan kuasa kapital. Pembangunan infrastruktur olahraga dan fisik seharusnya dilakukan dalam rangka melayani tujuan di atas, jaminan kesejahteraan rakyat sekaligus jaminan kehormatannya sebagai manusia. Pembangunan tidak selayaknya justu menjadikan dehumanisasi dimana-mana, meluasnya kemiskinan dan kesenjangan bahkan terenggutnya kehormatan kaum perempuan. Harta, darah dan kehormatan setiap warga negara adalah tanggung jawab penuh negara.  Rasulullaah (saw) pernah bersabda : (( فَإِنَّ دِمَاءَكُمْ وَأَمْوَالَكُمْ وَأَعْرَاضَكُمْ بَيْنَكُمْ حَرَامٌ عَلَيْكُمْ كَحُرْمَةِ يَوْمِكُمْ هَذَا، فِيْ شَهْرِكُمْ هَذَا، فِيْ بَلَدِكُمْ هَذَا، لِيُبَلِّغِ الشَّاهِدُ الْغَائِبَ )) “Sesungguhnya darah kalian, harta benda kalian, kehormatan kalian, haram atas kalian seperti terlarangnya di hari ini, bulan ini dan negeri ini. Hendaknya yang hadir menyampaikan kepada yang tidak hadir….[HR. Bukhari dan Muslim] Untuk visi mulia kenabian inilah diperlukan model negara yang menerapkan sistem ekonomi yang sehat yang menolak model keuangan cacat Kapitalis yang berbasis riba, melarang penimbunan kekayaan atau privatisasi sumberdaya alam dan melarang asing berinvestasi besar dalam pembangunan infrastruktur, pertanian, industri dan teknologi. Pondasi kebijakannya diarahkan untuk mengupayakan distribusi kekayaan yang efektif dalam menjamin kebutuhan pokok semua warga negaranya, di saat yang sama juga meletakkan produktivitas ekonomi yang sehat untuk mangatasi pengangguran massal dan memungkinkan individu untuk mendapat kemewahan. Wallahu a’lam.

0 Komentar

Tinggalkan Balasan

Avatar placeholder

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *