Dua minggu berlalu pasca aksi penembakan di Christchurch, New Zealend. Jumat kelabu. Mendungnya cuaca yang mewakili perasaan umat Islam di berbagai belahan dunia hari itu. Seolah mengisyaratkan bahwa alam pun marah atas tewasnya beberapa nyawa tak bersalah di Selandia Baru.

Menanggapi kejadian tersebut perdana menteri Selandia Baru – Jacinda Ardern langsung memberikan respon. Ardern mengatakan bahwa penembakan masjid di kota Christchurch ini adalah aksi terorisme dan menjadi salah satu hari terkelam di Selandia Baru, sementara yang terkena dampak dari aksi teroris tersebut adalah migran atau pengungsi. Disebutkan PM Ardern bahwa serangan ini tampaknya direncanakan dengan matang. Dia juga menyebut bahwa Selandia Baru dipilih sebagai lokasi serangan karena nilai-nilai multikulturalnya yang kuat.” (Detik.com, 15/3/2019).

Mesin analisis media sosial Drone Emprit merilis data tentang framing publik dan media terhadap peristiwa tersebut, dengan menyaring kata “Terrorist” dan “Shooting” seperti dilaporkan oleh Tirto.id. Pendiri Drone Emprit Ismail Fahmi menyampaikan analisis itu ia lakukan untuk mengetahui respons publik setelah kejadian. Fahmi membeberkan, mulanya Drone Emprit menggunakan kata kunci ‘New Zealand’ dan menyaring percakapan di Twitter berdasarkan kata kunci yang dikategorikan sebagai ‘Shooting’ dan ‘Terrorist’. Saat masih beberapa jam setelah insiden Ismail Fahmi mengatakan dari SNA (Social Network Analysis), ternyata pada jam itu banyak yang menggunakan ‘Shooting’ daripada ‘Teroris’,” Setelah dua hari, Drone Emprit kembali merilis analisis data percakapan di Twitter, dan menemukan bahwa 70 persen (460.366) percakapan mengatakan bahwa kejadian itu adalah serangan “terrorist” dan 30 persen (197.529) sisanya menyebut bahwa kejadian tersebut adalah “shooting”. ujar Ismail Fahmi kepada Tirto, Sabtu (16/3/2019).

Menjadi sebuah pertanyaan kiranya mengapa aksi teror ini menarget Masjid dan umat Islam? Lalu kenapa ada perbedaan penilaian antara yang mengatakan ini adalah aksi penembakan bersenjata, dengan sebagian yang lain menilai ini adalah aksi terorisme?

Penembakan Massal ataukah Terorisme???

Perdebatan ini sebenarnya berakar dari Amerika Serikat, negara adidaya yang sudah ‘telanjur’ aktif mempropagandakan label teroris yang tendensius pada kelompok Muslim, namun ironisnya juga mengalami sejumlah rangkaian tragedi menahun terkait penembakan bersenjata di negerinya sendiri.  Seperti diulas Tirto.id dimana pada Oktober 2017- Masha Gessen seorang penulis di New Yorker dalam artikel berjudul “Why We Should Resist Calling The Las Vegas Shooting ‘Terrorism’”. Dalam artikel tersebut, Masha Gessen, memaparkan bahwa setiap insiden penembakan terjadi, public di AS pasti akan menunggu pernyataan yang dikeluarkan negara. Apakah kejadian itu disebut “terorisme” atau “penembakan massal”. Dalam artikel tersebut, Gessen mengatakan bahwa tidak ada definisi tunggal terkait terorisme. Namun, Ilmuwan politik Irlandia Louise Richardson telah menetapkan tujuh karakteristik utama dari aksi teroris: terinspirasi oleh politik; disertai dengan kekerasan atau ancaman kekerasan; bertujuan mengirim pesan daripada mengalahkan musuh; memiliki makna simbolis; dilakukan oleh “kelompok substate” daripada aktor negara; para korban kekerasan berbeda dari audiens yang disampaikan oleh teroris; dan tindakan tersebut menargetkan warga sipil. Dari karakteristik ini jelas insiden di Selandia Baru adalah termasuk aksi terorisme, jadi masuk akal jika Perdana Menteri Selandia Baru Jacinda Ardern menyatakan itu adalah aksi terorisme.

Setelah menengok pandangan ilmuwan dan pengamat Barat, tentu perlu bagi kita melihat bagaimana justru pandangan Islam sendiri? Nabi menyatakan, “Siapa saja yang meneror orang Islam demi mendapatkan ridha penguasa, maka dia akan diseret pada Hari kiamat bersamanya.” (Lihat, as-Suyuthi, Jami’ al-Masanid wa al-Marasil, VII/44). Teror yang dimasuk di sini bisa berbentuk verbal maupun fisik. Demikian juga hadits Nabi, “Siapa yang menghunus pedang terhadap seorang muslim, maka benar-benar telah menumpahkan darahnya.” (Lihat, as-Syaibani, Syarah as-Sair al-Kabir, I/6). Kedua hadits ini jelas mengharamkan tindakan teror. Karena itu, tindakan ini dianggap pelanggaran syar’i (mukhalafah syar’iyyah), dan merupakan bentuk krimininal (jarimah).

Ditambah adanya penegasan betapa berharganya nyawa seorang Muslim. Darah Muslim bukan perkara remeh. Rasulullah SAW bersabda: “Hancurnya dunia lebih ringan di sisi Allah dibandingkan terbunuhnya seorang muslim.” (HR. An-Nasa’i)

Sekarang mari kita dudukkan masalahnya dengan jernih, perbedaan penilaian apakah aksi di Selandia Baru ini masuk kategori penembakan bersenjata dan aksi terorisme ini sebenarnya muncul karena kebingungan Barat sendiri tentang definisi terorisme, sekaligus mengindikasikan adanya standar ganda terhadap Muslim yang dilakukan oleh otoritas negeri-negeri Barat dan jaringan medianya akibat kebencian terselubung terhadap Islam. Di sisi lain pemikiran dan solusi Islam justru enggan dirujuk dalam menyelesaikan masalah terror ini, bahkan dijauhkan dari panggung opini publik.

Memutarbalikkan Kesalahan pada Umat Islam

Reaksi cepat kontroversial dari Fraser Anning, senator Australia yang mengatakan bahwa penyebab pertumpahan darah sesungguhnya di jalanan Selandia Baru adalah program imigrasi yang memungkinkan kaum Muslim fanatik untuk bermigrasi ke Selandia Baru. Dia mengatakan masyarakat Muslim ‘secara konsisten sudah menunjukkan sebagai kelompok yang paling tidak mungkin berasimilasi dan berintegrasi.’ Senator yang berasal dari Australian Party pimpinan Bob Katter yang mendukung kebijakan Kulit Putih Australia itu, mendapat banyak kecaman dari politisi lain atas pernyataannya itu.

Pernyataan Anning ini menggambarkan bagaimana sejatinya tabiat Barat beserta ideologinya dalam mempertahankan hegemoninya. Ketakutan yang tidak berdasar bahkan telah mematikan rasa kemanusiaan yang sejatinya masih ada sebagai naluri pada tiap diri manusia. Kebencian yang nampak bahkan belum seutuhnya merupakan kebencian yang tersimpan di hatinya.

Pelaku terror sub-state atau non negara di Selandia Baru bukanlah merupakan yang pertama kali menimpa kaum muslim. Bahkan kaum Muslim juga merupakan korban terbesar dari teroris negara. Lihat saja kondisi muslim Uighur di Xinjiang, muslim Rohingya dan kondisi umat muslim di Palestina dan Suriah. Termasuk di Indonesia. Kondisi yang memprihatinkan hampir dialami oleh kaum muslim di belahan dunia lainnya. Padahal jumlah mereka sangat banyak. Di sinilah sebenarnya yang mesti dipahami bersama. Bahwa dimanapun umat Islam berada, baik statusnya minoritas ataupun mayoritas, tetaplah ia tidak memiliki kekuatan besar tuk melawan. Selama sistem yang diterapkan adalah sistem kapitalisme dengan wajah imperialismenya.

Benarlah sabda Rasulullah Saw, Nyaris orang-orang kafir menyerbu dan membinasakan kalian, seperti halnya orang-orang yang menyerbu makanan di atas piring. Seseorang berkata, “Apakah karena sedikitnya kami waktu itu?” Beliau bersabda, “Bahkan kalian waktu itu banyak sekali, tetapi kamu seperti buih di atas air. Dan Allah mencabut rasa takut musuh-musuhmu terhadap kalian serta menjangkitkan di dalam hatimu penyakit wahn.” Seseorang bertanya, “Apakah wahn itu?” Beliau menjawab, “Cinta dunia dan takut mati,” (HR. Ahmad, Al-Baihaqi, Abu Dawud).

Umat butuh perisai (Junnah). Kaum muslim sekarang ini bagai anak ayam kehilangan induknya. Mereka bingung harus berlindung kepada siapa. Harus meminta pertolongan kepada siapa. Nasib mereka terkatung-katung. Tidak tentu arah. Seolah tidak ada tempat yang aman untuk mereka tinggali. Umat muslim butuh tentara yang akan membebaskan mereka dari rasa takut dan ancaman dari para pembenci Islam. Umat muslim butuh perisai. Yang dengan perisainya, umat berlindung dibelakangnya dan perisai menjadi garda terdepan dalam memberikan perlindungan kepada mereka. Perisai yang hanya ada saat Islam tegak dalam sebuah negara Khilafah Islamiyah.

Rasulullah Saw bersabda,

Sesungguhnya al-imam (khalifah) itu (laksana) perisai, dimana (orang-orang) akan berperang di belakangnya (mendukung) dan berlindung (dari musuh) dengan (kekuasaan)nya. Jika seorang imam (Khalifah) memerintahkan supaya takwa kepada Allah azza wajalla dan berlaku adil, maka dia (khalifah) mendapatkan pahala karenanya, dan jika dia memerintahkan selain itu, maka ia akan mendapatkan siksa.” (HR. Al-Bukhari, Muslim, An-Nasa’i, Abu Dawud, Ahmad)

Wallahua’lam bishawab.

Penulis                           : Indriani, SE, Ak (Penulis, Pemerhati Politik dan Ekonomi)

Reviewer dan Editor   : Fika Komara


0 Komentar

Tinggalkan Balasan

Avatar placeholder

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *