Membungkam kelompok Islam yang dianggap radikal dan dilabeli ekstrim nampaknya semakin menjadi gejala dunia Islam hari ini seiring dengan wabah Islamophobia yang ditiupkan Barat. Baru-baru saja pemerintah Pakistan mengintensifkan kampanye pelarangan ormas Islam yang dituduh ekstrimis. Seperti diberitakan Reuters, atas arahan Amerika, Pakistan berani melakukan langkah keji dengan menarget organisasi-organisasi Islam yang menyediakan layanan sosial yang menurut versi Amerika Serikat adalah front bagi militan. Tidak hanya itu, 182 sekolah, 34 perguruan tinggi, 163 apotik, 184 ambulan, lima rumah sakit, delapan kantor organisasi terlarang dan penahan terhadap lebih dari 100 orang telah menjadi bagian dari kampanye yang mereka jalankan sejak kamis (07/03/2019).
Atas dasar atas pernyataan Departemen Luar Negeri AS, kelompok-kelompok tersebut dituduh oleh badan anti teroris Pakistan karena telah merekrut kelompok bersenjata yang bertanggung jawab atas serangan bom di Mumbai, India. Tuduhan ini kemudian ditolak oleh Yahya Mujahid, juru bicara Al-Dawa’, lembaga kemanusiaan yang mengelola rumah sakit, armada ambulans, dan sekitar 300 sekolah di seluruh negeri. Mereka menyebut bahwa mereka hanya mengelola organisasi amal kemanusiaan.
Apa yang dilakukan pemerintahan Pakistan melalui kampanye ini adalah tindakan dzalim dan khianat. Kenapa? karena jelas melanggar prinsip tauhid yang agung yakni Al Wala’ wal Bara’ (loyalitas dan pengingkaran) – dimana prinsip ini meletakkan kesetiaan kepada Allah, Rasul-Nya dan kepada orang-orang beriman di posisi tertinggi, sementara disloyalitas atau berlepas diri atau ketidakpercayaan tertuju kepada kaum kafir dan semua orang yang membantu mereka dengan cara apa pun. Sikap rezim Pakistan jauh panggang dari api dari konsep al wala wal bara’; aliansi bersama Amerika selama puluhan tahun sejatinya telah membius cara pandang mereka bahwa optimalisasi kekuatan negara hanya bisa dijaga melalui ketergantungan dengan pihak asing. Padahal sebagai negara kolonialis, Amerika kerap kali mempraktikkan kebijakan menyimpang dan menggandeng Pakistan hanya untuk membangun basis militer dalam perang melawan Afghanistan dan pihak-pihak yang mereka tuduh sebagai teroris dan ekstrimis.
Praktek yang sama juga dilakukan oleh pemerintah Indonesia – melalui pembubaran HTI, ormas Islam yang secara aktif menyuarakan keberpihakannya terhadap Islam, kampanye ide Khilafah dan hak-hak kaum muslimin. Inkracht-nya pencabutan Badan Hukum Perkumpulan (BHP) Hizbut Tahrir Indonesia pasca ditolaknya kasasi HTI oleh Mahkamah Agung dinilai sebagai bentuk perampasan hak konsitusional warga negara seperti diungkap oleh Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Asyafi’iyah Prof. Dr. Zainal Arifin Hoesein, kepada mediaumat.news, 23 Maret yang lalu. HTI sebelumnya selalu memprotes rezim korup yang menipu jutaan publik dengan berbagai skandal korupsinya untuk masuk ke dalam pundi-pundi pribadi orang-orang korup itu. HTI juga selalu membangkitkan optimisme umat, bahwa Khilafah Islam adalah kewajiban umat untuk merealisasikannya. Sekaligus mengingatkan bahwa Khilafah akan kembali tegak di Dunia Islam, termasuk di Indonesia. Anehnya rezim di Indonesia sama sekali tidak bisa menangkap niat baik HTI dengan berusaha memahami ide-idenya dengan jernih.
Indikasinya justru sebaliknya, rezim di negeri Muslim terbesar ini sangat tersihir oleh narasi global anti terorisme dan ekstrimisme yang digemboskan oleh negara kufar kapitalis untuk memerangi kebangkitan Islam secara massif sehingga berimplikasi pada sejumlah kebijakan domestik berlebihan yang sulit dinalar. Misalnya, tuduhan intoleransi dan mengancam keutuhan negara, dialamatkan kepada mereka yang mendakwahkan konsep negara Islam atau Khilafah. Padahal, dalam sejumlah pemberitaan media justru penebar intoleransi dan pihak yang terus mengancam keutuhan negara ini justru muncul dari kelompok yang anti pada syariat Islam.
Kampanye pelarangan ormas Islam yang dijalankan oleh pemerintahan Pakistan dan Indonesia memiliki pola kemiripan, yaitu pertama adanya ketakutan berlebihan terhadap simbol dan ajaran Islam, kedua tunduk pasrah alias ber- wala’ terhadap arahan negara Barat imperialis, sehingga para pemimpin ruwaibidloh ini tega memproduksi kebijakan dzalim yang menyasar kaum muslimin, rakyatnya sendiri. Sistem politik sekuler kapitalistik juga ditengarai menjadi penyebab tercabutnya pemahaman tauhid dari jiwa para pemimpin negeri Muslim ini, hingga terbelenggunya tangan-tangan mereka menerapkan kebijakan politik berdasarkan ajaran tauhid.
Pemimpin sejati umat tidak akan membungkam suara kelompok umat yang mukhlish. Apa yang dilakukan oleh dua rezim ini jelas BUKANLAH sikap pemimpin umat sejati, seperti apa yang dilakukan oleh Sa’ad bin Muadz, sosok pemimpin di Madinah yang justru berani mengambil langkah yang tidak populis dengan mendukung dakwah Islam dan menyerahkan kepemipinannya kepada Rasulullah Saw., padahal ketika itu, mayoritas pemimpin kabilah di jazirah Arab menolak dan terprovokasi dengan propaganda para pemimpin kafir Makkah agar memusuhi dan menghentikan dakwah Muhammad. Namun keberpihakannya kepada kebenaran tidak membuatnya goyah untuk mengambil pilihan yang tepat berada di barisan pemimpin yang diridhoi Allah.
Tercerabutnya visi politik Islam telah membutakan mata para pemimpin di negeri-negeri muslim sehingga mereka rela menyerahkan wala’ mereka pada musuh-musuh Islam dan tega mengkhianati kelompok umat Islam. Padahal tanggung jawab seorang pemimpin umat amatlah berat, bila tidak amanah bahkan mengkhianati umat maka kelak hal itu hanyalah kehinaan dan penyesalan.
“Kemudian Allah menghinakan mereka di hari kiamat, dan berfirman: “Di manakah sekutu-sekutu-Ku itu (yang karena membelanya) kamu selalu memusuhi mereka (nabi-nabi dan orang-orang mukmin)?” Berkatalah orang-orang yang telah diberi ilmu: “Sesungguhnya kehinaan dan azab hari ini ditimpakan atas orang-orang yang kafir”. (QS. An-Nahl: 27).
Penulis: AiraUlfah Attamimi
Reviewer: Indriani
Editor : Fika Komara
0 Komentar