Oleh: Indriani, SE, Ak
(IRT, Penulis, Pemerhati Ekonomi)
Gubernur Bank Indonesia (BI) mengomentari jumlah utang luar negeri (ULN) Indonesia pada akhir April 2018. Dari catatan BI, ULN tersebut berada pada angka 356,9 miliar dollar Amerika Serikat (AS) atau setara dengan Rp 4.996,6 triliun (kurs Rp 14.000 per dollar AS). Menurut Perry, ULN tersebut masih dalam kategori aman jika dilihat dari rasio produk domestik bruto (PDB).
“Jadi jangan dilihat nominalnya, sebab ukuran ini kan relatif. Satu dollar AS sekarang kan berbeda dengan satu dollar AS 10 tahun lalu. Jadi harus dibandingkan satu dollar sekarang dengan ekonomi kita,” ucap Perry kepada wartawan selepas halalbihalal di Kompleks Gedung BI, Jakarta, Jumat (22/6/2018). Perry menambahkan, dengan rasio PDB sekarang, maka outstanding utang tersebut masih aman. (Kompas.com, 22/06/2018)
Mengamati akan keberadaan utang yang semakin tahun bukannya berkurang, namun cenderung naik dengan demikian signifikan. Memberikan gambaran bagaimana sejatinya sistem ekonomi kapitalis menjadikan utang itu sebagai sebuah keniscayaan. Bahkan dengan nominal yang sedemikian besar tersebut, gubernur BI maupun Menteri Ekonomi Indonesia masih menanggapi dengan tenang bahwa utang tersebut masih dinilai aman.
Utang dalam Sistem Kapitalisme
“Utang negara (Inggris: Sovereign debt) adalah utang yang dijamin oleh pemerintah, sering disebut sebagai utang luar negeri. Dalam rangka mengumpulkan uang, pemerintah akan menerbitkan obligasi dan menjualnya kepada investor asing (pemberi pinjaman). Obligasi adalah instrumen utang yang harus dibayar kembali pada waktu tertentu (bisa selama sepuluh tahun atau satu tahun) dengan pokok utang ditambah bunga. Untuk membayar utang, pemerintah harus mengembalikannya dalam mata uang asing saat ia menjual obligasi”. (Wikipedia)
Kalau kita telaah lebih mendalam, ideologi kapitalisme sebagai basis kekuatan yang dikembangkan dunia terutama Amerika, Eropa dan negara-negara maju, punya pengaruh yang kuat terhadap utang ini. Karena dalam kapitalisme, utang telah menempati peran penting melalui mekanisme ekonomi kapitalis.
Dalam konsep kapitalisme yang sudah kita pelajari dari mulai kita sekolah sampai dengan tingkat praktisi, sudah diarahkan dan dibenamkan pemikiran kita bahwa utang mengambil peranan yang penting dari mulai penempatan modal awal yang akan digunakan untuk memulai suatu usaha sampai dengan ekspansi bisnis yang dilakukan oleh individu maupun perusahaan. Ini sudah menjadi jalan yang shohih dalam kehidupan sekarang ini. Padahal tanpa terasa didalamnya mengandung riba karena adanya perhitungan time value of money. Kita bisa lihat hal ini dalam skala kecil industri menengah, multinasional, baik usaha biasa maupun di perusahaan di bursa hingga pemerintah.
Dalam konteks negara, khususnya negara berkembang seperti Indonesia, tingkat utang pemerintah yang tinggi yang didanai oleh utang luar negeri bisa menurunkan pengaruh politis negara dalam percaturan global. Bahkan risiko terbesar yang harus dihadapi negara yaitu berujung pada hilangnya kedaulatan negara. Karena kita bisa mengetahui bagaimana asing bisa mendikte sebuah negara yang mempunyai beban utang sangat tinggi melalui syarat-syarat yang mereka ajukan dalam memberikan utang.
Demikianlah kapitalisme telah menjadikan utang sebagai alat baru untuk menguasai Indonesia. Sebagaimana yang kita pahami bersama, bahwa “tidak ada makan siang gratis” dalam sistem Kapitalisme-Neoliberal saat ini. Artinya, melalui utang inilah, Indonesia diikat dengan semua kepentingan Barat.
Utang Sebagai Alat Menjajah Gaya Baru
Sejatinya bagi negara yang menjadikan Kapitalisme sebagai Ideloginya baik secara penuh maupun sebagian, maka akan ada konsekuensi untuk mengemban atau menyebarluaskannya. Karena sejatinya demikianlah Kapitalisme telah menjadikan Imperialisme sebagai Thoriqoh (metode) dalam mengemban Ideologinya.
Maka, apabila sebelumnya penjajahan itu nyata karena bersifat fisik. Berbeda halnya dengan imperialisme gaya baru. Dimana penjajahan yang digunakan adalah melalui gaya soft, baik melalui pemikan (ide-ide yang disebarluaskan) maupun melalui utang.
Sehingga, melalui utang inilah, Barat sebagai negara imperialis, berupaya untuk menjajah dan mencengkeram negeri-negeri Islam agar senantiasa bergantung dan kehilangan independensinya sebagai sebuah negara. Baik itu di negeri-negeri Islam yang mayoritas muslimnya maupun yang minoritas.
Ditambah lagi, apabila memahami bagaimana konstelasi politik Barat dalam sistem Kapitalisme. Di mana utang merupakan alat yang diluncurkan untuk mengikat agar kebijakan Dalam dan Luar Negeri negara berkembang, khususnya negeri-negeri Islam sesuai dengan keinginan Barat.
Utang Luar Negeri Mengandung Riba
Sedikit mengutip akan definisi riba menurut Wikipedia. Dimana dijelaskan bahwa, “Riba adalah penetapan bunga atau melebihkan jumlah pinjaman saat pengembalian berdasarkan persentase tertentu dari jumlah pinjaman pokok yang dibebankan kepada peminjam. Riba secara bahasa bermakna ziyadah (tambahan). Dalam pengertian lain, secara linguistik riba juga berarti tumbuh dan membesar. Sedangkan menurut istilah teknis, riba berarti pengambilan tambahan dari harta pokok atau modal secara batil. Ada beberapa pendapat dalam menjelaskan riba, tetapi secara umum terdapat benang merah yang menegaskan bahwa riba adalah pengambilan tambahan, baik dalam transaksi jual-beli maupun pinjam-meminjam secara batil atau bertentangan dengan prinsip muamalat dalam Islam”.
Melihat akan fakta terkait utang Indonesia, sungguh sangat miris. Bagaimana bisa negara dengan Sumber Daya Alam yang berlimpah, namun harus terlilit utang beserta bunga yang sedemikian besar? Padahal yang harus dipahami bersama, bahwa skema utang yang ditawarkan oleh para kapitalis baik asing maupun aseng dengan berlindung di balik “topeng” kerja sama ataupun investasi tersebut disertai bunga atau riba yang dalam pandangan Islam hukumnya haram. Dan ini akan mengundang murka dari Allah SWT, Sang Pencipta manusia, kehidupan dan alam semesta.
Inilah konsekuensi yang harus diterima oleh negeri-negeri Islam saat menerapkan sistem yang tidak bersumber dari Syariat-Nya. Bahkan para penguasa Muslim saat ini tidak mempunyai pemikiran produktif, sehingga tidak mempunyai alternatif pendapatan negara maupun pembayaran utang luar negeri, kecuali dengan mengemis dari Luar Negeri lagi.
Utang dalam Negara Khilafah
“Khilafah adalah negara berdaulat, ia akan menentukan secara bebas bagaimana utang-utang semacam itu akan dibayar (kalaupun akan dibayar). Semua pengaruh IMF dan World Bank dan juga pasar bebas asing akan didekonstruksi dan disingkirkan. Tidak ada institusi asing yang dibolehkan mengatur perekonomian Khilafah atau menentukan cara pembayaran utang. Jika pembayaran utang diambil sebagai kebijakan, jumlah aslinya saja yang akan dibayar, tanpa bunga dan para penguasa korup yang tadinya menyetujui utang itu akan berkontribusi pada pembayarannya.” (Khilafah.com)
Ditinjau dari pemasukan negara dalam sistem pemerintahan Islam, sumber-sumber pendapatannya diperoleh dari kepemilikan negara (milkiyyah ad-daulah) seperti ‘usyur, fa’i, ghonimah, kharaj, jizyah dan lain sebagainya. Selain itu dapat pula diperoleh dari pemasukan pemilikan umum (milkiyyah ‘ammah) seperti pengelolaan hasil pertambangan, minyak bumi, gas alam, kehutanan dan lainnya.
Negara bertanggung jawab atas optimalisasi dari harta kepemilikan umum dan negara tersebut tanpa adanya liberalisasi dalam lima aspek ekonomi, yaitu liberalisasi barang, jasa, investasi, modal dan tenaga kerja terampil. Dan juga diperoleh dari zakat maal (ternak, pertanian, perdagangan, emas dan perak). Tiga pos ini mengalirkan harta baitul mal karena bertumpu pada sektor produktif.
Harta baitul mal juga selalu mengalir karena tidak terjerat utang ribawi. Dengan demikian, kemandirian dan kedaulatan negara dapat terjaga dan potensi penutupan kebutuhan anggaran dari utang luar negeri dapat dihindari.
Baitul mal sebagai lembaga yang mengelola pemasukan tersebut dan akan dikeluarkan atau dibelanjakan untuk keperluan negara dan rakyat. Termasuk diantaranya proyek-proyek infrastruktur. Hal tersebut bukanlah tanggung jawab kaum muslimin melainkan tanggung jawab baitul mal, yang berarti bagian dari tanggung jawab negara. Disini terlihat jelas, sumber-sumber pemasukan negara didapatkan tanpa membebani rakyat. Kalaupun ada pengambilan pajak (dhoribah), hanya akan dibebankan jika baitul mal sedang kosong dan pelaksanaannya sesuai dengan apa yang telah diwajibkan oleh syariat atas kaum muslimin.
Islam mengharamkan penguasaan kafir atas umat Islam
Sejatinya Islam telah memiliki sistem ekonomi yang unggul melalui sistem ekonomi Islam, yang menjadikan Syariat-Nya sebagai pedoman. Ditambah terdapat sebuah instrumen berupa Baitul Mal yang mengelola keuangan dengan tepat dan sesuai sasaran.
Ditambah, dalam Islam, utang akan menjadi alternatif terakhir, di saat kondisi daulah benar-benar dalam keadaan darurat. Dimana Baitul Mal dalam keadaan defisit atau kosong kasnya. Namun, itupun diprioritaskan berutang pada kaum muslim yang memiliki kelebihan harta. Bukan kepada kaum kafir, terlebih kaum kafir “Harbi Fi’lan” yang memusuhi dan memerangi Islam secara nyata.
Sehingga, sudah saatnya negeri-negeri Islam bersatu, berlepas dari sekat-sekat nasionalisme dan mengembalikan kemuliaan umat Islam dengan diterapkannya Syariah Islam. Sebab ketiadaan syariat-Nya telah menjadikan negeri-negeri Islam berada di jurang kehancuran yang sedemikian parah. Maka keberadaan Khilafah sebagai institusi yang menerapkan Syariat-Nya adalah sebuah kebutuhan bagi kaum muslim.
Sejatinya, kaum kafir berkeinginan untuk menguasai negeri-negeri Islam, karena keserakahan, kebencian dan kesombongannya. Namun, Allah tidak akan memberikan barang secuil kekuasaan pun kepada kaum kafir atas kaum muslim.
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu ambil menjadi “teman kepercayaanmu” orang-orang yang di luar kalanganmu (karena) mereka tidak henti-hentinya (menimbulkan) kemudharatan bagimu. Mereka menyukai apa yang menyusahkan kamu. Telah nyata kebencian dari mulut mereka, dan apa yang disembunyikan oleh hati mereka adalah lebih besar lagi. Sungguh telah Kami terangkan kepadamu ayat-ayat (Kami), jika kamu memahaminya.” (QS. Ali Imran: 118)
“,,,dan Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk menguasai (memusnahkan) orang-orang yang beriman.” (QS. An Nisaa: 141)
Wallahu’alam bi shawab
0 Komentar