oleh Ulfa Ulinnuha (Forum Mahasiswa Pascasarjana IPB University)

Sejak 2016, warga Wadas menolak pembangunan Bendungan Bener, salah satu proyek strategis nasional di bawah pemerintahan Presiden Joko Widodo. Protes dilakukan dengan menyurati beberapa pihak, audiensi, hingga aksi. Sayangnya, penolakan tersebut tidak direspons pemerintah, proyek tetap berjalan.

Pada 8 Februari 2022, konflik agraria di Wadas kembali memanas. Twitter ramai dengan hashtag #WadasMelawan, #SaveWadas, dan WadasTolakTambang. Banyak video viral yang menunjukkan aparat menurunkan banner penolakan tambang batu andesit, mengepung sejumlah warga di masjid, dan menangkap 64 orang.

Warga tidak sudi dengan dampak kerusakan lingkungan akibat penambangan batu andesit untuk pembangunan Bendungan Bener. Pertambangan quarry akan mengeruk bukit sehingga menimbulkan krisis ekologis dan mengundang bencana alam. Lahan Wadas yang cukup produktif untuk rempah-rempah, buah-buahan, palawija, kopi, aren, dan karet akan rusak sehingga petani setempat kehilangan mata pencaharian.

Payung hukum dari proyek ini adalah UU Cipta Kerja yang memperluas kategori ‘tanah untuk kepentingan umum’ yang bisa dibebaskan untuk pembangunan. Omnibus Law tersebut disinyalir merupakan ‘UU pesanan’ dari pemilik modal yang tergabung dalam jaringan oligarki. Dampaknya, hanya segelintir orang yang menikmati kue pembangunan. Di sisi lain, rakyat kecil terus terpinggirkan sembari dipaksa hidup berdampingan dengan kerusakan alam akibat tambang.

Pemerintah seharusnya mendahulukan kepentingan rakyat daripada kepentingan golongan. Suara-suara rakyat hendaknya dijadikan pertimbangan dalam pengambilan keputusan. Selain itu, negara perlu mengatur kepemilikan individu dan kepemilikan umum. Tambang merupakan bagian dari kepemilikan umum yang wajib dikelola negara, bukan oleh swasta atau asing, apalagi oligarki.

*Telah dimuat di Radar Bogor pada 11 februari 2022.


0 Komentar

Tinggalkan Balasan

Avatar placeholder

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *