Masih di bulan Ramadhan 1439 H, dalam keberkahan bulan mulia ini tim IMuNe diberi kesempatan luar biasa mengunjungi provinsi Bangka Belitung, kunjungan ke-2 dalam rangkaian program Karimata Geopolitical Trip – setelah dari Kalimantan Barat Mei lalu.
Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush shaalihat…
Kunjungan kali ini berbeda karena tim IMuNe dipisah menjadi dua tim. Tim pertama saya dengan Dik Sayyidah Nisa dan Tati Pertiwi fokus di Kota Bangka selama 5 hari, sementara tim kedua Ayu Paranitha dan Cupi Fauziah menjelajahi kota Belitung selama 3 hari, dengan harapan tujuan penelitian IMuNe akan lebih tercover, bismillah.
Di Balik Negeri Timah yang Ramah
Kesan pertama saat kami menginjakkan kaki di Bangka, adalah keramahan penduduknya – supir taksi bandara yang kami tumpangi dengan sangat ramah bercerita soal Bangka Belitung selama perjalanan, masya Allah. Pulau Bangka yang dikenal sebagai bagian dari sabuk timah dunia ini memiliki badan jalan yang cukup tertata rapi meski pembangunan infrastruktur tidak sepesat di Palembang, tidak banyak ditemui gedung-gedung tinggi atau pun mall di sini, bahkan belum ada jaringan Indomaret dan Alfamart seperti di kota-kota besar di Jawa. Bahkan untuk Kabupaten Belitung belum ada sarana transportasi umum di sana, kotanya belum banyak tersentuh pembangunan.
Hari pertama agenda di Kota Bangka diisi oleh workshop MTJ yang diikuti oleh aktivis dan tokoh Muslimah, penggerak dakwah di Kota Bangka… saya takjub mendengar ada banyak kisah soal seluk beluk penambangan timah di tanah ini yang sudah dimulai sejak ratusan tahun yang lalu. Timah dan PT Timah rupanya sudah menjadi bagian keseharian masyarakat Bangka, bagian terintegrasi dari kehidupan sosial mereka. Ini yang saya tangkap pertama kali. Berbeda dengan Kalimantan Barat dimana masyarakatnya tidak terlalu identik dengan Bauksit atau Sawit (misalnya), seperti identiknya Timah dengan masyarakat Bangka.
Sebuah perlekatan sosial yang menarik…
Awalnya saya pikir kesadaran masyarakat akan kekayaan alam dan lingkungan geografisnya sudah cukup menjadi modal pertama kesadaran geopolitik. Tapi ternyata belum, belum cukup. Ternyata kesadaran itu perlu dibangun lagi oleh visi yang benar, karena timah akhirnya menjadi kekayaan yang melenakan, dimana semua lapisan masyarakat di Bangka tergiur untuk mendapat periuk demi perut hingga tak peduli lagi kerusakan lingkungan, keselamatan bahkan ada tangan-tangan asing bermain mencoba menyedot kekayaan timah di negeri ini. Eksplorasi timah telah bermetamorfosa menjadi eksploitasi yang lebih dikenal masyarakat dengan istilah TI (tambang inkonvensional).
Eksploitasi yang dilakukan TI ini bermuara pada meningkatnya jumlah lahan kritis yang ada di Babel. Lahan kritis di Provinsi Babel mencapai 278.000 hektar dari luas daratan 1,1 juta hektar. Karena massifnya lahan kritis inilah, Bangka dikenal dengan negeri sejuta kolong (lubang bekas galian tambang timah- yang dikenal juga dengan lubang camoi), area yang sulit ditanami lagi karena tingginya kandungan logam dan sifatnya yang sangat asam.

lubang camoi
Seperti kegundahan yang dituangkan oleh peserta workshop Ibu Miliani dalam narasinya; kekayaan timah di Bangka Belitung berbanding terbalik dengan lonjakan data orang miskin yang terjadi pada September 2017. Data BPS 2017 menunjukkan jumlah orang miskin di kepulauan Babel mencapai 76.200 orang (5,30%) bertambah sebesar 2.120 orang dibandingkan dengan kondisi Maret 2017 yang sebesar 74.090 orang (5,20%). Ironis…
Belum lagi bicara dampak sosial yang mengerikan yang dihadapi masyarakat Muslim Babel, masih menurut Miliani, maraknya praktek TI juga turut menyumbang jumlah pengguna narkoba di Babel. Tribunnews.com pada April 2017 memberitakan bahwa jumlah penambang pasir timah ilegal sebagai pengguna narkoba mencapai 52% dari perkiraan 17.268 pengguna narkoba di Babel.
Dampak sosial ini juga diperingatkan oleh Novita Ertiana, seorang tokoh Muslimah babel, yang juga menjadi narasumber dalam FGD Aktivis Karimata. Beliau memberi warning penggunaan narkoba di lokasi-lokasi TI ini berkonsekuensi diikuti oleh masalah sosial lain seperti trafficking anak perempuan, prostitusi dan mewabahnya penyakit AIDS. Na’udzubillahi mindzalik
Tangan-tangan Mafia tak Terlihat
Alhamdulillaah, baik di kota Pangkal Pinang dan kabupaten Belitung – tim IMuNe berhasil mewawancarai beberapa profesional pertambangan dan karyawan PT Timah Tbk. Banyak hal yang kami gali dari mereka, dan yang paling menggelitik adalah kisah soal permainan cukong-cukong dari China dan Singapura yang mencoba ikut menikmati bahkan menyedot hasil tambang timah dengan kekuatan modal dan teknologi kapal hisap yang mereka miliki. Perubahan regulasi pasca orde baru yang menurunkan derajat timah bukan lagi sebagai material strategis, akhirnya mengubah status timah menjadi barang bebas, hal ini membuat pihak swasta dan masyarakat lebih massif dengan TI-TI liar, sekaligus kian membuka peluang bagi gurita modal asing sebagai “tangan-tangan tak terlihat” dari mafia cukong.
The invisible hand cukong ini menggunakan nama warga Bangka sebagai perpanjangan tangan mereka agar mendapat ijin beroperasi di lahan PT Timah, dimana kita ketahui PT Timah Tbk adalah BUMN pemilik luas area IUP (Ijin Usaha Produksi) sekitar 511.361 ha, sekitar 70% dari total luas wilayah Pulau Bangka.
Akibat ulah mafia ini aliran ekspor timah sebagian raib entah kemana. Berdasarkan data dari
United Nations Comtrade (UN Comtrade) tahun 2014, menyebutkan ekspor timah dari Indonesia ke Singapura sebesar US$ 1,2 miliar akan tetapi yang tercatat di Singapura hanya sebesar US$ 638 juta atau terdapat ketidakjelasan legalitas ekspor timah Indonesia ke Singapura sebesar US$ 562 juta. Kemanakah raibnya ratusan juta dollar timah tersebut?
Di sisi lain yang lebih berbahaya dari praktik mafia ini, membuat masyarakat Babel justru lebih memberikan loyalitasnya kepada pemilik modal, bukan pada negaranya sendiri. Inilah akibatnya jika geoekonomi kapitalis yang menjadi panglima, mengangkangi kedaulatan ekonomi negara dan mengendalikan pengelolaan kekayaan alam milik umum, termasuk pengelolaan kekayaan timah di Bangka Belitung. Hal ini semakin massif pasca orde baru, dipererat dengan berbagai perjanjian perdagangan bebas ASEAN seperti IMT-GT yang memuluskan investasi asing dan konektivitas dengan dunia luar.
Pariwisata Abu-abu
Selain timah, isu pariwisata yang dideraskan oleh pemerintah juga tak kalah menarik. Usulan zonasi pariwisata di Bangka Belitung ini semakin massif sejak 2016-2017, pasca Sail Karimata diselenggarakan pemerintah pusat Oktober 2016. Meski terbilang trend baru tapi di Bangka Belitung sudah dibuat banyak zonasi pariwisata yang disebut KEK (Kawasan Ekonomi Khusus) berbasis pariwisata. Di Belitong, begitulah masyarakat di sana menyebutnya, pulau yang dikenal berkat novelis Andrea Hirata menjadi lebih dominan pariwisatanya karena memang tengah menjadi fokus perhatian pemda setempat.
Di sana tim IMuNe berhasil mewawancarai dinas pariwisata setempat, mengingat negeri laskar pelangi ini masih memiliki area eksotis yang masih perawan. Sebut saja Tanjung Kelayang, Tanjung Pendam, Tanjung Tinggi, adalah pantai-pantai Belitong yang dikenal akan keindahan alamnya yang diklaim lebih bagus ketimbang pulau Bangka meski tanpa pembangunan berlebihan, cukup dengan tempat-tempat wisata sederhana tadi, sektor pariwisata sudah mampu menyumbangkan pendapatan hingga Rp 15 Milyar per tahun untuk Kabupaten Belitung.
Meski belum berskala trilyunan seperti industri timah, tapi untuk ukuran sektor baru, pariwisata menjadi sektor yang diandalkan oleh para pengambil kebijakan Bangka Belitung. Tim IMuNe juga berkesempatan mewawancarai salah seorang pengembang KEK di Pangkal Pinang yakni KEK Pariwisata Tanjung Gunung. Dari hasil wawancara tersebut ada temuan menggelitik, KEK Tanjung Gunung dengan garis pantai sepanjang 5 km dan 350 hektar areal lahan pesisir yang dikelola oleh PT Pan Semujur ternyata seluruh modal pembangunan resortnya bukanlah dari negara tapi dari pihak swasta, bahkan lahannya pun sudah milik perseorangan, yakni milik salah seorang konglomerat Bangka keturunan China, sang komisaris PT Pan Semujur.
Inilah kemudian yang dikhawatirkan oleh Muhammad Berry, salah seorang profesional penambangan timah yang juga sempat diwawancarai tim IMuNe, regulasi zona pariwisata ini akan membuat semakin banyak zona abu-abu yang justru membatasi area operasi resmi PT Timah dan melapangkan jalan bagi swasta dan modal asing untuk menguasai lebih banyak lahan di provinsi Bangka Belitung.
Massifnya program pariwisata jangan sekedar kita sikapi sebagai peluang kemajuan ekonomi, tapi juga harus diwaspadai, seperti ujaran Agustinus Wibowo dalam bukunya bahwa :
“penjelajah itu mengilhami datangnya penjajahan… dalam catatan-catatan penjelajahan terungkap rahasia negeri-negeri kaya dan indah laksana surga, tapi rakyatnya masih terbelakang dan mudah ditaklukan… eksotisme dan mistisme perjalanan justru mengundang kerakusan, nafsu untuk mengubah dan hasrat untuk menguasai”
Catatan Penutup
Ternyata dibalik eksotisnya alam Bangka Belitung dan kekayaan timahnya, tersimpan kisah yang rumit akibat praktek penambangan timah beratus tahun. Bangka Belitung modern yang kian terkoneksi dengan dunia luar – akibat teknologi dan rezim perdagangan bebas ASEAN- perlu mewaspadai banyak tangan-tangan tak terlihat mengambil keuntungan bahkan sampai mengangkangi kedaulatan ekonomi negeri ini. Apalagi posisi Bangka Belitung berada di jalur ALKI I, di pinggir Selat Karimata, sebuah posisi strategis yang diincar oleh banyak pihak.
Di sisi lain, di tengah kegaduhan politik negeri ini, bertebarannya narasi
“Saya Pancasila” atau
“NKRI Harga Mati” saya jadi miris, kenapa pihak-pihak yang mengaku paling Pancasila ini tidak turun tangan melihat ancaman kedaulatan ekonomi yang demikian nyata di Bangka Belitung? Apakah mereka tidak tahu atau menutup mata? Atau loyalitas terhadap Pancasila itu hanya slogan semata? Inilah catatan paling krusial untuk kepemimpinan negeri ini, dibutuhkan konsistensi antara perkataan dan perbuatan untuk mereka yang mengaku paling Pancasila!
Satu lagi pelajaran yang harus kita petik, ternyata sadar akan kekayaan alam saja tidak cukup, dibutuhkan juga ketaqwaan untuk mengelolanya, agar tidak terjebak pada geostrategi mafia asing. Untuk itu dibutuhkan bukan hanya ketakwaan ruhiyah, tapi juga ketakwaan politik. Mengelola kekayaan alam perlu dilandasi kesadaran berIslam secara
kaffah, sehingga pengelolaannya terkawal oleh visi geopolitik Islam dengan baik.
ظَهَرَ الْفَسَادُ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِي النَّاسِ لِيُذِيقَهُمْ بَعْضَ الَّذِي عَمِلُوا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ
“
Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).” (TQS Ar-Rum : 41)
Walhasil, bagi umat Islam di Bangka Belitung sudah seharusnya kembali pada Islam, berlepaslah diri pada kesetiaan untuk pemilik modal, bangunlah kembali kesetiaan hanya pada Islam, karena Islam memiliki khazanah ilmu yang solutif tak lekang zaman yang mampu menjawab masalah dan mengawal pengelolaan kekayaan Bangka Belitung dengan visi geopolitik Islam. Yuk Ngaji Islam!
Jakarta, 3 Juni 2018
Ukhtukum,
Fika Komara
CEO Institut Muslimah Negarawan
3 Komentar
Ari Nurainun · Juni 3, 2018 pada 11:54 pm
Assalamu’alaikum, teh fika. Nama saya Ari. Domisili balikpapan. Mungkin teh fika masih ingat, ketika di balikpapan untuk acara bedah buku muslimah negarawan, saya berkesempatan bertanya tentang ambisi besar. Alhamdulillah terjawab. Selanjutnya sy intens mengikuti channel ini dan sangat tertarik dengan tulisan tim imune. Ingin rasanya berdiskusi lebih lanjut, terkait kegelisahan sy tentang kondisi balikpapan. Khususnya kecamatan balikpapan timur yang banyak sekali destinasi wisata. Sampai sampai pemkot menganggarkan dana 10 m utk membangun puskesmas wisata. Saya ingin mendalami dan mengurai lebih lanjut tentang hal itu. Sekiranya teh fika bersedia menjadi teman diskusi saya di sela-sela kesibukan teh fika.
Wassalam
admin · Juni 4, 2018 pada 8:33 am
Waalaikumussalaam wrb mbak Ari.. Barokallahu bertemu lg meski di website.. Syukran kunjungannya ke web kecil kami ❤️
Boleh saja, kebetulan teluk Balikpapan itu jg menarik minat saya krn berada di Selat Makassar yg merupakan ALKI II
Doakan kami bisa melakukan Geopolitical Trip ke Selat Makassar ya thn depan.. Aamiin
Salaam
-Fika-
Rosmaeni · Juli 28, 2020 pada 12:38 pm
Assalamu Alaikum wr.wb.
Mba Fika apa kabar? Semoga mba sehat sekeluarga. Amiin.
Saya ingin sekali ikut dikelas IMuNe moga aja lolos seleksi. Sangat tertarik untuk mengetahui tentang geopolitik. Apalagi di Makassar nyaris pantainya sudah dikuasai oleh para korporasi. Semoga nanti bisa berdiskusi dengan mba fika. Tks.
Ros Makassar