Oleh : Yulia Sari
#CatmonKopiMuslimah
Catatan monitoring tatabu tematik kali ini adalah “menemukan dimensi strategis ideologi pada isu-isu lokal. Hal yang menjadi poin penting adalah bagaimana menganalisis isu lokal itu dengan tepat. Yang menjadi permasalahan bagi emak-emak keren para pejuang opini Islam kebanyakan adalah kurang dalam menganalisis. Jadi disinilah kemudian para emak pejuang belajar bersama menganalisis dimensi strategis dari sebuah isu lokal.
Menurut mbak Fika, dari tatabu tematik tentang isu lokal yang dilakukan oleh anggota Kopi Muslimah terdapat 3 (tiga) jenis berita:
(1) Berita soal daerah yang berlomba-lomba menawarkan diri menjadi calon ibukota baru
(2) Berita proyek investasi aseng dan asing didaerahnya
(3) Berita masalah-masalah sosial di lokal
Dari ketiga jenis berita itu kemudian mba Fika menyampaikan bahwa dari berita pertama kita dapat melihat suatu pola. Kepala daerah di era otonomi daerah liberal hari ini demikian agresif memasarkan daerahnya. Termasuk berlomba menjadi ibukota yang tentunya dari pandangan kapitalistik ini sangat lezat dan menggiurkan.
Dikaitkan dengan berita kedua yaitu kekuatan tsaqofah. Bahwa dengan praktik ekonomi daerah liberal seperti ini adalah sistem “tata negara yang masuk angin”. Dalam kitab Ajhizah dijelaskan bahwa urusan kerja sama luar negeri itu harus tersentralisasi pada Khalifah bukan Wali atau Amil. Dan para kepala daerah bukankah setingkat Wali atau Amil? Bahkan desa pun sudah mulai otonomi desa hingga asing pun lenggang kangkung masuk desa. Bayangkan betapa mudah dan rentan umat ini dijarah dan dijamah.
Jelas ini adalah tatanan negara yang benar-benar masuk angin. Sehingga kedua jenis berita ini memiliki hubungan erat dengan proyek-proyek asing yang masuk dengan deras melalui mudahnya akses dari otonomi daerah. Dan dampaknya jelas pemberitaan ketiga bahwa akan ada masalah-masalah sosial yang muncul. Dan hal tersebut adalah dampak dari pembangunan ekonomi batil yang berkolaborasi dengan tangan penjajah. Dan mereka yang paling rentan terkena dampak adalah kaum perempuan. Seperti bayi-bayi di Konowe yang terkena HIV/AIDS . Ini bukan sekedar akibat seks bebas tetapi juga dampak dari penjajahan aseng di sana. Karena kata Mbak Ulfa, Konawe adalah salah satu sasaran investasi aseng dengan seperangkat kebijakan turunannya. Sekali lagi mbak Fika mengingatkan bahwa sebagai penulis kita tidak boleh keliru menganalisis.
Seperangkat kebijakan turunan ini bisa termasuk program pariwisata. Apalagi pariwisata sekarang menjadi idola untuk menambah PAD (pendapatan asli daerah). Tapi membangunnya dengan investasi asing. Bahkan lahan wisatanya dijual ke asing. Yang harus diperhatikan dari pola masuknya asing ke daerah adalah dilihat dari potensi daerah tersebut. Apakah tambang seperti Kalimantan dan Sulawesi. Atau keindahan alamnya seperti berita tentang festival Malino yang tujuannya adalah menggaet investor asing.
Dan pembelajaran penting kali ini adalah bahwa dimensi strategis sebuah isu lokal setidaknya dapat dilihat dari beberapa aspek:
1. Hubungannya dengan kebijakan dari atas/pusat (atau juga konstelasi internasional)
2. Posisi geopolitik area tersebut
3. Terlihatnya gerak-gerik penjajah di daerah itu dengan berbagai bentuknya. Apakah budaya, pariwisata, infrastruktur, tambang, industri, dll (sesuai dengan potensi daerah tersebut)
4. Masalah-masalah sosial yang terjadi pada kalangan perempuan dan anak, harus dilihat polanya apakah berhubungan dengan kebijakan kapitalistik atau kehadiran aseng/asing disana.
Jadi jika 4 faktor ini bisa dideteksi dan didiskusikan maka InsyaAllah akan menajamkan analisis dalam tulisan kita. Bahkan dapat dibuat beberapa angle tulisan.
Jadi kemampuan analisis itu didapat dari “membaca pola-pola” dari 4 poin tadi dan ditentukan oleh “kekuatan tsaqofah Islam” kita.
Dari saya pribadi dan mbak Wati sesama warga Kalimantan Selatan merasakan betapa ke-4 pola itu terdeteksi di daerah. Kebijakan pusat sangatlah lekat, apalagi beberapa even nasional diadakan di Kalsel. Even hari pangan sedunia, juga even hari keluarga nasional. Ditambah dengan kebijakan pariwisata kalsel yang terus digaungkan seperti festival budaya Banjar di Jakarta. Bahkan pegunungan meratus tidak hanya di target ekpolitasi tambang tetapi juga menjadi target wisata alam dengan kebijakan geoparknya. Dan lagi kalsel pun menjadi kandidat kuat calon Ibukota baru.
Kita memang perlu terus melakukan analisa konstelasi terkait isu-isu lokal, karena bisa jadi isu lokal ini merupakan arus tidak hanya dari pusat tetapi juga merupakan pengarusan dari Internasional. Seperti halnya isu Geopark yang justru diaruskan oleh UNESCO. Dimana pada akhirnya tiap daerah berlomba menawarkan potensi alamnya sebagai wilayah “Geopark”.
Akhir kata dari catatan monitoring ini bahwa kita tidak bisa melepaskan isu-isu lokal dari dimensi strategisnya. Bahwa isu lokal tak lepas dari pola pengarusan dari pusat bahkan internasional. Potensi daerahnya terus dipasarkan sebagai dampak dari kebijakan ekonomi otonomi daerah yang liberal. Sehingga masalah-masalah sosial yang muncul adalah dampak dari penjajahan asing dan aseng yang melenggang kangkung masuk ke daerah dengan mudah. Jika ini adalah tatanan negara yang masuk angin. Maka angin itu telah meresap, merongga masuk ke setiap celah-celah tubuh umat ini.
#Catmon, Yulia Sari (Martapura, Kalimantan Selatan
0 Komentar