Paska Arab Spring di Timur Tengah dan Gerakan 212 di Indonesia, aktivisme umat Islam di berbagai negeri Muslim semakin mendapatkan banyak tekanan dan represi rezim. Era digital yang diharapkan membuka ruang publik untuk menyuarakan arus perubahan terasa mengalami kebuntuan. Peristiwa Arab spring dan Gerakan 212 yang berhasil memanfaatkan teknologi digital dengan baik, rupanya justru memantik rezim melakukan berbagai cara untuk membungkam berbagai kritik dan opini publik.
Demokrasi yang dipromosikan sebagai wadah kebebasan semakin menampakkan diri sebagai pengekang kebebasan itu sendiri. Sebagian kalangan menganggap hal ini dapat mengancam demokrasi itu sendiri. Benarkah pada era digital saat ini rezim tengah bergerak menuju otoriter? Apa yang menyebabkan represi rezim begitu menguat? Apakah era digital yang memperlemah demokrasi ataukah sebaliknya, demokrasi lah yang memperburuk disrupsi digital? Mungkinkah ide digital demokrasi akan semakin memperkuat posisi umat di hadapan rezim?
Merespons hal tersebut, Departemen Media dan Dakwah Digital Institut Muslimah Negarawan (IMuNe) menyelenggarakan diskusi terbatas yang membahas hasil kajian tim dengan topik “Demokrasi Era Digital dan Aktivisme Umat Islam” via zoom meeting, Sabtu (4/9/2021).
Dihadiri tak kurang dari 50 aktivis muslimah perwakilan dari beberapa organisasi, hadir antara lain perwakilan dari BMI (Komunitas Back to Muslim Identity) Depok, Korpus BEM SI, Pioner Muslimah, Kohati, Muslimah Dewan Dakwah, Komunitas Kalam Santun, IMM, Komunitas Pembelajar Palu, Forum Jurnalistik Muslimah, BEM UNISBA, LDF Gamais ITB, KAMMI Bogor dan Tim Penulis MPP Jateng.
Dalam sambutannya, Direktur IMuNe Dr. Fika Komara memaparkan bahwa Distas ini merupakan ruang untuk bertukar pikiran dan menajamkan diskusi terkait hasil temuan tim Departemen Media dan Dakwah Digital IMuNe. Harapannya temuan ini dapat ditindaklanjuti melalui agenda riset lanjutan dan memberikan manfaat bagi umat.
Hadir dalam acara tersebut tiga pemantik diskusi yang dimoderatori oleh Fahmiyah Tsaqofah Islamiy. Pemantik diskusi pertama membahas hasil kajian tim dengan topik “Aktivisme Umat Islam dan Represi Rezim Era Digital” yang disampaikan oleh Yul Rahma (Anggota Departemen Media dan Dakwah Digital IMuNe). Beliau memaparkan secara gamblang urutan peristiwa yang terjadi di dunia digital sejak peristiwa Arab Spring dan gerakan 212 di Indonesia hingga perkembangan represi rezim setelahnya.
Pemantik diskusi kedua adalah Nurani Sekar S. (Tim Mahasiswa Pioner Muslimah IMuNe) yang membahas Represi Intelektual Kampus. Pembahasan lebih fokus pada represi kekuasaan yang terjadi di dunia kampus.
Lalu pemantik diskusi ketiga oleh Lestari Admojo (Koordinator Departemen Media dan Dakwah Digital IMuNe), membahas “Demokrasi Era Digital: Harapan atau Ancaman?” Dia menjelaskan perkembangan demokrasi hingga era digital saat ini. Menurutnya, demokrasi menurut banyak pengamat telah mengalami kemunduran dan kegagalan, dan berpotensi semakin mengancam pada era digital saat ini.
Diskusi disambut antusias oleh para peserta yang hadir. Penanggap pertama oleh Siti Habibah (Aktivis Mahasiswi Univ. Djuanda Bogor) yang sepakat bahwa kemunduran demokrasi telah terjadi termasuk di Indonesia. Hal tersebut menurutnya banyak disepakati dan dirasakan oleh kebanyakan aktivis mahasiswa di Indonesia. Contoh bagaimana RUU Omnibus Law yang kemudian menelorkan kebijakan kampus merdeka namun faktanya mematikan nalar kritis mahasiswa.
Penanggap kedua adalah Eksi Ahmad (Pioner Muslimah) yang menanggapi kemungkinan adanya faktor karakter historis yang mempengaruhi pola pergerakan atau aktivisme umat Islam di suatu negara, sehingga ada perbedaan respon di berbagai tempat. Beliau juga mempertanyakan tentang kesaktian demokrasi dimana sekalipun sudah sangat melemah faktanya masih banyak yang berharap dengan kebaikan sistem tersebut.
Tanggapan menarik datang dari Sayidah Mumtazah (Founder BMI) yang menyoroti tiga hal. Pertama, sepakat tentang hakikat demokrasi yang sangat lemah bahkan sejak asasnya. Dan kelemahan itu semakin terekspos di tengah pandemi saat ini, karena sangat mudah disusupi oleh berbagi kepentingan yang sayangnya bukan demi kepentingan rakyat.
Dia juga menanggapi keberhasilan gerakan atau aktivisme umat yang mampu mengawal perubahan, namun pada akhirnya berkubang pada kegagalan. Menurutnya tidak cukup berbekal semangat dan sekadar berubah, namun sangat diperlukan kekuatan pemikiran terutama di kalangan pemuda atau aktivis. Dia ikut menyoroti adanya kebijakan kampus merdeka yang seharusnya mereka dibebaskan dengan diskursus pemikiran, bukan malah dimatikan.
Diskusi pun diakhiri dengan closing speech dari Direktur IMuNe Dr. Fika Komara. Beliau menyampaikan bahwa ruang diskusi pemikiran seperti ini harusnya dibuka lebar, sehingga wacana demokrasi tidak berhenti pada upaya perbaikan namun dapat memberikan wacana alternatif yang jauh lebih baik. Pendalaman konsep wacana alternatif termasuk konsep Islam sudah seharusnya didiskusikan bersama terutama para aktivis pergerakan Islam.
Rekaman diskusi dapat disaksikan melalui channel youtube Muslimah Negarawan melalui link berikut ini https://youtu.be/NYLsuRbMKUA
0 Komentar