Profesor Noreena Hertz, dalam buku best seller The Silent Take Over menyatakan bahwa hegemoni kapitalisme semakin menguat di era demokrasi, dimana para kapital mudah bersimbiosis dengan kekuasaan demi meraih kepentingannya. Demokrasi menjadi sistem politik yang saat ini dipilih di banyak negara. Harapan bahwa demokrasi menjadi antitesis dari sistem otoriter, nyatanya tetap membuka peluang rezim menjadi otoriter, termasuk dalam era digital saat ini. Pengekangan kebebasan publik, sensor digital, pembungkaman kritik, buzzer kekuasaan, hingga penguasaan dan pengendalian data digital nyatanya telah banyak dilakukan oleh rezim ‘demokratis’. Upaya kritik terhadap rezim yang mengarah pada otoritarian digital kebanyakan diarahkan pada penguatan demokrasi, hingga muncullah gagasan ‘demokrasi digital’.
Sejatinya, demokrasi telah gagal menciptakan iklim yang berpihak pada kepentingan rakyat banyak. Demokrasi terbukti tidak mampu mencegah disrupsi digital, justru demokrasilah yang memperparah disrupsi digital. Asas mendasar demokrasi yang menyerahkan kedaulatan di tangan manusia sesungguhnya pangkal dari segala malapetaka. Demokrasi menjadi sebuah sistem yang sejalan dengan kepentingan para kapital, yang celakanya, raksasa digital adalah penguasa sesungguhnya dalam era digital saat ini. Regulasi yang dihasilkan pun belum terbukti cukup efektif melindungi kepentingan rakyat banyak, apalagi ketika raksasa digital semakin mudah bersimbiosis dengan kekuasaan, baik pada saat pemilihan maupun dalam upaya mempertahankan kekuasaannya.
Jika demokrasi nyata-nyata telah gagal, bahkan membuka peluang munculnya rezim otoriter digital, bukankah seharusnya mengarahkan pandangan pada alternatif solusi sistem yang lebih baik? Agaknya, harapan buta pada demokrasi seringkali membuat publik menutup mata bahwa Islam menawarkan sebuah sistem yang tentu saja bukan hanya lebih baik, namun satu-satunya yang terbaik. Jika memang demokrasi konsisten dengan kebebasan publiknya maupun mengakomodir kepentingan mayoritas, bukankah seharusnya memberikan peluang seluas-luasnya bagi publik untuk mendiskusikan Islam sebagai sebuah sistem alternatif? Sayang, demokrasi memang tidak pernah konsisten dengan tujuan demokrasinya.

0 Komentar