Oleh: Dr. Fika Komara (CEO IMuNe)

Kawasan Sudirman Central Business District (SCBD) pernah viral menjadi perbincangan di Twitter dan Tiktok akhir tahun lalu. Tak lain karena netizen membicarakan gaya dan kehidupan ‘mbak-mbak SCBD’ yang fashionable dengan outfit serba bermerk. Mereka mengenakan sepatu Tori Burch seharga minimal Rp. 2,5 juta, ikat pinggang Michale Kors yang mencapai 1 juta rupiah, atau smart watch Apple yang harganya bisa mencapai dua digit. Namun ironisnya, kemudian terungkap bahwa ‘mbak-mbak SCBD’ tersebut ternyata memiliki gaji yang pas-pasan.

Dikutip dari situs finansialku.com terungkap fakta dari seorang pengguna sosial media bernama John Dee yang mengaku pernah bekerja sebagai manager di salah satu perusahaan di SCBD. Ia menyebut jika realitanya para karyawan SCBD banyak memiliki hutang konsumtif dan berusaha tampil kaya dihadapan orang lain, padahal bergaji pas-pasan.

“Mayoritas orang yang bekerja di kawasan segitiga emas Jakarta dan SCBD itu hanya digaji minimal UMR Jakarta atau sedikit di atasnya (sekitar 5 s.d 6 juta), sebagian kecil lagi berpenghasilan diatas 10 juta, hanya sedikit yang berpenghasilan di atas 30juta, dan jauh lebih sedikit yang berpenghasilan di atas 50 juta,” ungkapnya. John Doe juga menceritakan jika mengenal salah satu karyawan SCBD mengalami kesulitan untuk memenuhi kebutuhan dasar anaknya. Hingga sang anak karyawan tersebut mengalami kekurangan gizi atau bahkan stunting.

Fakta ini hanyalah salah satu potret dari kehidupan keras ibukota yang menjadi pusat bisnis dan inti dari kehidupan mega urban yang metropolis. Tulisan ini mencoba menguak kenapa tingkat konsumsi barang-barang bermerk menjadi ukuran kesuksesan hidup Muslim perkotaan, bahkan mereka rela berhutang (ribawi) hanya demi menjadi konsumen bagi benda-benda ini. Sebenarnya, apa itu konsumerisme? Dalam KBBI terdapat dua definisi yang dapat menjelaskan makna kata tersebut.  Yang pertama, konsumerisme adalah gerakan atau kebijakan untuk melindungi konsumen dengan menata metode dan standar kerja produsen, penjual, dan pengiklan. Definisi kedua, konsumerisme dijelaskan sebagai paham atau gaya hidup yang menganggap barang-barang mewah sebagai ukuran kebahagiaan, kesenangan, dan sebagainya, yang kurang lebih mengindikasikan gaya hidup yang tidak hemat.

Tulisan ini membatasi definisi konsumerisme dalam konteks pengaruh ideologi, yakni sebagai paham dan gaya hidup. Penulis mencoba membaca konsumerisme sebagai sebuah tantangan nilai sekaligus tantangan sistemik bagi masyarakat perkotaan Kapitalis, dengan harapan bisa menjadi renungan bagi para pengemban dakwah di kota-kota besar untuk menajamkan amunisi dakwah dalam rangka merespon gaya hidup ini secara lebih mendalam.

I. Membaca Konsumerisme sebagai Tantangan Nilai dan Ideologi

Gaya hidup adalah bentukan paling luar dari sebuah peradaban, yang berakar pada ideologi dan nilai-nilai mendasar yang dianut oleh suatu masyarakat. Begitupula gaya hidup konsumtif yang mendominasi warga perkotaan, tingkat konsumsi seperti ini bukan sebuah kebetulan atau sekedar tradisi belaka, melainkan pancaran dari bentukan nilai dan sistem tertentu yang dianut suatu bangsa. Oleh karenanya kita perlu melengkapi lensa kacamata kita dalam membaca konsumerisme sebagai sebuah tantangan nilai yang terinternalisasi pada sebuah masyarakat, selain tentu melihatnya sebagai batasan normatif Islam tentang halal dan haramnya.

Sebuah ideologi memiliki kapasitas tersendiri dalam memberi celupan khas pada aktivitas manusia yang hidup dalam masyarakat tertentu. Sekilas kita lihat tidak ada yang keliru dalam aktivitas konsumsi dalam pemenuhan kebutuhan hidup, selama kita sebagai Muslim menerapkan standar mana yang halal dan haram. Namun Kapitalisme telah memberi celupan berbeda saat konsumsi menjadi standar qana’ah masyarakat, yang mempengaruhi naluri dan gengsi manusia. Berbalut dengan nilai materialisme dan hedonisme, maka aktivitas konsumsi berkembang menjadi budaya pamer (flexing) bangga menjadi konsumen benda-benda bermerk hanya karena takut dianggap ‘ketinggalan zaman’ demi memenuhi gengsinya. Budaya pamer ini terus berkembang menjadi tekanan sosial bahkan stressor mental dan akhirnya mengubah Muslim menjadi cinta harta dan cinta dunia.

Contoh celupan lain Kapitalisme adalah makna profesionalisme, sekilas tidak ada yang salah karena Islam juga memuji nilai-nilai profesional, namun celupan sekulerisme telah mengaburkan konsep identitas Muslim sehingga banyak karyawan memandang bahwa profesi adalah puncak dedikasi hidupnya karena akan memberinya status, penghasilan dan pengakuan identitas sosial. Maka dakwah pun dipandang sekedar sebagai profesi, wajar jika banyak ditemukan kalangan sosialita kurang menghargai ustadz atau Da’I karena menganggap mereka bisa dibayar. Padahal dakwah dalam paradigma Islam adalah sebuah peran yang menyangkut tanggung jawab kepada Sang Pencipta, bukan sekedar profesi dengan penghasilan tertentu. Di sisi lain, menjadi profesional dalam dunia ketenagakerjaan kapitalis juga memaksa banyak karyawan untuk tetap bekerja banting tulang agar tetap bisa menjalani “gaya hidup cicilan” yang sangat konsumtif. Ideologi dan sistem materialistis inilah yang mendorong konsumsi barang dan jasa oleh individu secara tidak terkendali, didorong oleh keinginan memiliki walau tak benar-benar membutuhkan.

Konsumerisme sebagai tatanan nilai Kapitalistik memang sangat dipengaruhi oleh suprastruktur peradaban sekuler, dengan infrastruktur fisiknya adalah Mall-mall di perkotaan, lembaga perbankan ribawi, pembangunan kota-kota digital, dan pusat-pusat pertumbuhan seperti kawasan CBD. Setiap peradaban sudah pasti memiliki tatanan suprastruktur dan infrastrukturnya masing-masing. Suprastruktur dalam konteks sosiologis adalah kekuatan otoritatif yang sifatnya non-materi dan ideologis yang bisa berwujud lembaga-lembaga politik, hukum atau undang-undang, juga pemikiran dan filsafat, sementara infrastruktur lebih berwujud fisik seperti bangunan, jalan-jalan dan fasilitas umum.

Pembacaan konsumerisme sebagai tata nilai dan gaya hidup ini akhirnya mengerucut pada pembahasan dampaknya pada kesehatan mental masyarakat perkotaan dan isu pembangunan manusia di era modern, serta bagaimana pandangan Islam akan hal ini.

Konsumerisme dan Fitnah Harta

“Demi Allah, sebenarnya bukanlah kemiskinan yang aku takutkan akan membahayakan kalian. Akan tetapi, yang kutakutkan adalah apabila dunia telah dibentangkan pada kalian, sebagaimana telah dibentangkan pula bagi orang-orang sebelum kalian.  Lalu kalian pun akhirnya berlomba-lomba untuk meraih dunia sebagaimana orang-orang terdahulu berlomba untuk mendapatkannya. Akhirnya kalian pun akan binasa, sebagaimana mereka binasa. (Hadist Riwayat Bukhari dan Muslim)

Hadits ini memberi peringatan keras pada setiap jiwa bahwa harta bisa menjadi fitnah bahkan jalan kebinasaan bagi umat. Seorang ulama bahkan mengatakan ciri masyarakat yang sekarat adalah yang fokus pada capaian materi dan harta. “Suatu masyarakat akan mengalami sekarat dan mati, apabila pemikiran dan individu bergerak pada poros benda” (Dr. Majid Irsan al Kilani, pakar pendidikan dan sejarah Islam)

Kenapa sekarat dan mati? Karena cinta terhadap harta itu membutakan dan paham kebebasan itu membinasakan. Kerusakan sosial dan mental yang merajalela ketika kehidupannya berporos pada materi, saling bangga-membanggakan harta dan capaian angka, persis seperti kehancuran masyarakat kapitalis yang mendewakan materi. Benarlah kata ulama’, hawa nafsu itu merusak. Merusak karena memberi kesenangan sesaat akibat merasa bangga diri, bermewah-mewah dan akhirnya merendahkan orang lain. Sikap seperti ini adalah cerminan hawa nafsu dan ego manusia di level terkecil, pada level berikutnya akan mengantarkan pada kerusakan sosial.

Tidak diragukan lagi, konsumerisme yang mewabah adalah penyakit yang harus disembuhkan, karena ia lahir dari paham materialisme yang meniadakan peran ruh dalam pengelolaan harta. Konsumerisme lahir dari mereka yang tidak mengenal konsep ‘keberkahan’ harta, tidak mengenal besarnya dosa riba dan judi, tidak peduli pahala dan konsep amal jariyah dan tidak mengenal investasi akhirat.

Semua akibat diterapkannya hukum-hukum buatan manusia yang liberal. Ketika kalimat-kalimat sekuler yang mengisi tatanan nilai dan hukum sebuah masyarakat, maka kerusakan hebat menjadi tak terhindarkan. Ibarat pohon yang buruk, masyarakat sekuler hanya akan mencetak manusia – manusia lemah yang mengalami gangguan mental dan kepribadian, mirip seperti pohon Hanzhal yang mudah roboh, berbuah pahit dan tidak memberikan manfaat kepada sesamanya.

Jiwa Manusia yang Tergadai

Saat banyak pemuja teknologi dan modernitas berteriak soal kemajuan, daya saing dan progresivitas; maka kita akan dapati sesungguhnya yang terjadi hanyalah kemunduran dalam masyarakat. Masyarakat perkotaan tergadai hanya sebagai kelas konsumen yang menjadi pasar bagi dunia industri. Kemajuan teknologi dan pembangunan ekonomi berbanding lurus dengan kerusakan sosial, angka kekerasan terhadap perempuan, dan keruntuhan bangunan keluarga.

Hari ini kita melihat kondisi masyarakat perkotaan sesungguhnya berjalan dalam kemunduran dan diwarnai berbagai kerusakan. Ini terlihat dari bagaimana konsumtifnya keluarga urban dan menjadikan aktivitas konsumsi sebagai standar kesuksesan saat semua kebutuhannya terpenuhi. Ayah Ibu bekerja memiliki karir, gaji bulanan, asuransi dan pinjaman bank untuk memenuhi semua kebutuhan termasuk biaya pendidikan dan kesehatan anak-anak mereka, tak ketinggalan cicilan rumah dan mobil. Bagi mereka inilah fulfilment karena berhasil ‘berjuang’ untuk memenuhi kebutuhan yang sebenarnya termasuk kebutuhan dasar. Gaya hidup “low level struggle” atau perjuangan di level kebutuhan dasar ini menjadikan kehidupan mereka tidak pernah meningkat, individualisme kian merebak karena mereka adalah orang-orang dengan self-centered yang kurang peduli dengan orang lain karena merasa beban hidupnya sudah berat. Ditambah peran agama melemah dalam bangunan keluarga, akibatnya mereka tidak mampu berfikir panjang dan tidak lagi peka pada halal dan haram. Mereka hanya mengikuti arus materialisme dan pragmatism di perkotaan dan menjadi bagian dari masyarakat industri konsumtif yang sekuler.

Pun saat naik level sedikit, yakni ingin memenuhi kebutuhan sekunder atau tersier maka mereka tetap terjebak dengan lingkaran gaya hidup yang sama. Yaitu menjadikan mereka konsumen brand-brand bergengsi, apakah itu handphone, mobil mewah ataupun travelling untuk berwisata. Kemewahan bagi mereka adalah kemampuan menjangkau harga barang-barang tersebut, yang dianggap akan menaikkan status sosial mereka di masyarakat. Walhasil nilai-nilai hedonism dari filsafat utilitarianism telah semakin merasuk pada keluarga urban. Ironis, padahal mereka semua hanya konsumen, tidak ada prestasi yang berkontribusi pada khalayak luas, selain hanya mengkonsumsi saja.

Sebenarnya kesadaran akan gaya hidup merusak ini sudah mulai terlihat di masyarakat urban, mereka mulai mencari gaya hidup alternatif seperti minimalisme dan stoikisme sebagai bentuk perlawanan terhadap arus materialism dan konsumerisme. Tentu ini adalah tantangan sekaligus kesempatan bagi dakwah Islam untuk masuk dan mencerdaskan umat, menjawab keresahan, mengisi kehampaan dan menggerakkan umat dalam kebangkitan hakiki.

Pembangunan Manusia dalam Islam

Kapitalisme memang lebih mengutamakan membangun infrastruktur ekonomi secara fisik, daripada berinvestasi membangun kekuatan suprastruktur moral yang akan membangun manusia. Akibatnya kemanusiaan mengalami kemandekan dan kualitas peradaban manusia hanya berputar dan berjibaku di level terendah yakni konsumsi / pemenuhan kebutuhan dasar semata. Rakyat terpaksa berjuang untuk sesuatu yang rendah yakni sekedar untuk bertahan hidup, bukan untuk sesuatu yang besar dan mulia. Padahal kebutuhan dasar rakyat adalah kunci pertama sehatnya sebuah peradaban, penentu dalam pembangunan manusia, yang akan meng’unlock’ kualitas generasi peradaban secara berkelanjutan. Saat kebutuhan dasar terampas, maka mereka akan terus menjadi inward looking dan individualis, tidak mampu memberi perhatian pada masalah besar lain, dan selalu berada dalam mode krisis di level rendah.

Inilah perbedaan kapitalisme dengan Islam. Islam sangat memperhatikan jaminan pemenuhan kebutuhan pokok, kepala per kepala. Itulah kenapa dalam politik ekonomi Islam Syaikh Taqiyuddin an Nabhani memberi kritik tajam pada ekonomi Kapitalis yang memakai pendekatan akumulasi dalam menilai kesejahteraan. Prinsip politik ekonomi Islam memiliki dampak sosiologis yang dahsyat. Sebab saat kebutuhan dasar terpenuhi maka manusia bisa bertumbuh dan berkembang lalu terbukalah (unlocking) banyak potensi akalnya dan perhatiannya pada masalah-masalah besar umat. Mereka akan menjelma menjadi manusia yang mampu mengukir prestasi dan karya peradaban yang lebih besar sehingga peradaban masyarakat terus berjalan dalam keluhuran dan kemuliaan.

Level pembangunan manusia

Manifestasi pembangunan manusia yang benar terpancar dari konsep kebangkitan yang didefinisikan oleh Syaikh Taqiyuddin an Nabhaniy sebagai “al irtifa’ul fikri” atau peningkatan taraf berfikir. (An Nabhaniy, dalam kitab Hadist as Shiyam). Karena itu dengan peningkatan taraf berpikir, mafahim/persepsi mereka meningkat, dan membuahkan perubahan perilaku yang mewujudkan keadaan baru yang lebih baik.

Poin ini memiliki kemiripan dengan pemikiran Dr. Majid Irsan al Kilani, seorang sejarawan dan pakar Pendidikan Islam, dalam bukunya Model Kebangkitan Umat – beliau menyatakan masyarakat yang sehat itu adalah masyarakat yang berporos pada pemikiran, bukan pada figur/individu ataupun materi.

Rasulullah SAW berhasil membentuk generasi pertama dari manusia biasa (insan) di gurun Arab menjadi manusia berkepribadian (asykhash) yang mampu menjadi pemain global. Rasulullah SAW membina sekelompok sahabatnya menjadi manusia yang berhasil membebaskan diri dari belenggu jahiliyah menjadi manusia risalah, visioner, dan mampu menghubungkan peran mereka di dunia untuk tujuan akhirat. Hal ini disebabkan Rasulullah menanam kalimat tauhid laa ilaaha illa ALLAHU dalam jiwa manusia. Dimana kalimat Tauhid dalam surat Ibrahim ayat 24-25 disebut sebagai kalimah thayyibah yang diibaratkan sebagai pohon yang baik (syajarah thayyibah), yakni pohon yang indah yang akarnya merasuk ke dalam petala bumi, sedangkan cabangnya menjulang tinggi ke angkasa, serta berbuah manis memberikan manfaat kepada alam sekitarnya.

II. Membaca Konsumerisme sebagai Tantangan Sistemik Pembangunan Kapitalis

Hari ini saat Kapitalisme membangun peradaban perkotaan, ia menyerukan kebebasan liberal untuk diagungkan dan dilindungi dalam masyarakat, termasuk kebebasan kepemilikan dan kebebasan pribadi, memungkinkan individu atau perusahaan untuk memiliki dan sering memonopoli sumber daya alam dunia yang berharga, serta memanfaatkan dan menyalahgunakannya sesuai keinginan mereka.

Menurut Mansour Fakih (2001), teori-teori pembangunan yang berkembang sebenarnya adalah kelanjutan dari proses kolonialisme yang terpental akibat gemuruh tuntutan berbagai pihak. Dalam praktiknya, pembangunan memang terlalu sering diartikan semata-mata sebagai pertumbuhan ekonomi, dan abai terhadap masalah keadilan, pemerataan, atau pembangunan manusia. Wajar pembangunan kapitalistik memang tidak memprioritaskan kemanusiaan, segala sesuatu dilihat semata-mata dari perspektif material, termasuk pula manusia. Karena itu, tidak heran bila atas nama pembangunan penggusuran dilegalkan, atas nama pembangunan digital, investor asing dihalalkan, dan atas nama pembangunan rakyat dininabobokan dalam kabut kebodohan dan arus konsumerisme.

Konsumerisme jika dilihat dengan lensa yang lebih luas memang tidak bisa dilepaskan dari kebijakan pembangunan ekonomi kapitalistik ini yang dengan sukses menciptakan kesenjangan dan kemiskinan. Maka bagian tulisan ini akan mengupasnya dari dua pendekatan yakni pendekatan tata ruang dimana arus urbanisasi telah mengantarkan kesenjangan pembangunan wilayah, dan kedua tinjauan aktor pembangunannya yang berperan dalam praksis pembangunan.

Urbanisasi dan Kerusakan Lingkungan

Banyak mall pertokoan besar yang berada di perkotaan, mencerminkan dua megatren dunia yang membentuk ekonomi global kapitalis hari ini: yakni meningkatnya kelas konsumen global dan urbanisasi. Kedua megatrend mengalami titik kritis di abad ini. Pada tahun 2008, dunia menjadi mayoritas perkotaan dan pada tahun 2019, World Data Lab memproyeksikan bahwa separuh dunia akan menjadi kelas menengah atau lebih kaya.

Para elit Kapitalis bahkan sudah memiliki proyeksi bahwa pada akhir tahun 2021, akan ada 4 miliar orang di kelas konsumen global, dan, jika tidak ada krisis ekonomi besar, kelas konsumen global akan mencapai 5,2 miliar orang pada tahun 2030. Menurut ukuran mereka yang layak disebut sebagai kelas konsumen adalah mereka yang berpenghasilan lebih dari $11/per hari, sementara kelas penduduk miskin dan rentan adalah mereka yang berpenghasilan  kurang dari $11/per hari.

Urbanisasi juga akan terus berlanjut sepanjang dekade ini. Gelombang manusia berpindah dari desa ke kota hanya untuk mendapatkan pendidikan, pelayanan kesehatan, dan pekerjaan yang lebih baik. Selain itu, di pasar negara berkembang, bekas desa berkontribusi terhadap urbanisasi karena mereka tumbuh pesat hingga mewakili segmen sub urban (pinggiran kota) seperti yang terjadi di daerah satelit Jakarta, Mexico City, Mumbai, São Paolo, atau Lagos. [1]

Urbanisasi hari ini merupakan simbol dari dua hal yang paradoks, pertama kemajuan perkotaan modern, kedua urbanisasi juga merupakan simbol kesenjangan antara desa dan kota, fenomena mudik lebaran adalah buktinya. Pembangunan perkotaan yang berorientasi pada pertumbuhan ekonomi, sangat kontras dengan di desa yang identik dengan ketertinggalan dan kejumudan. Jelas ini mencerminkan kegagalan distribusi kekayaan. Kesenjangan pembangunan desa dengan kota sering didiskusikan sebagai persoalan ketertinggalan pembangunan di wilayah pinggiran. Ini sangat tipikal dalam pembangunan kapitalistik, yakni fenomena dikotomi wilayah pusat dengan pinggiran (centre-periphery).

Daerah perkotaan kebanyakan memang lebih makmur daripada daerah pedesaan. Kedekatan jarak akibat penumpukan (aglomerasi) melahirkan inovasi dan memungkinkan aktivitas ekonomi berskala besar. Dalam “Triumph of the City,” Edward Glaeser menunjukkan bahwa kota biasanya lebih sehat, lebih kaya, dan lebih baik bagi lingkungan karena kepadatan penduduk yang lebih tinggi memungkinkan untuk menghasilkan barang dan jasa dalam skala besar dan dengan demikian dengan biaya yang lebih rendah untuk semua orang. Biaya produksi yang rendah ini menyebabkan harga menjadi terjangkau dan barang murah. Inilah sebabnya mengapa sebagian besar kelas konsumen global sekarang tinggal di perkotaan. Fenomena ini juga mengonfirmasi bahwa Kapitalisme memang tidak punya mekanisme distribusi yang menghapus kesenjangan, selain dengan mekanisme harga an sich. Akibatnya Kapitalisme memaksa manusia berkumpul dan hidup bertumpuk di perkotaan agar bisa mengakses sumber-sumber kehidupan di zona-zona pusat pertumbuhan ekonomi.

Di sisi lain penumpukan penduduk telah mendorong tingkat konsumsi berlebihan dan akhirnya menciptakan tumpukan sampah – yang semuanya memicu krisis lingkungan. Dalam masyarakat konsumen kapitalis seperti itu, dampak lingkungan dari konsumsi berlebihan ini sering tidak diperhitungkan. Padahal strategi marketing produk-produk kuliner, fashion dan teknologi makin canggih, apalagi di era digital ini marketing massif dibantu dengan algoritma media sosial. Efek jangka panjangnya sangat luar biasa. Mungkin bagi mereka yang berpikiran pendekdampaknya tidak terlalu berasa.

Itulah kenapa pabrik-pabrik kapitalis terus menggenjot produksi demi menyuapi masyarakat yang over consumption. Industri-industri besar dan perusahaan-perusahaan manufaktur akhirnya juga mengalami over production dengan mengeksploitasi sumber daya alam dengan bengis, membangun pabrik-pabrik yang sangat mencemari lingkungan dan mengejar keuntungan secara serakah tanpa batas, tanpa mempedulikan apapun selain keuntungan materi. Data menunjukkan sekitar 30 persen dari semua pakaian yang diproduksi oleh industri fashion global telah gagal terjual. [2] Pada Maret 2018, brand fashion ternama H&M dilaporkan memiliki tumpukan inventaris produk yang tidak terjual senilai 4,3 miliar dolar AS. Beberapa bulan kemudian, label mewah Inggris Burberry menghancurkan produknya yang tidak terjual senilai 36 juta dolar AS alih-alih menjualnya dengan harga lebih rendah.

Walhasil, pabrik terus menghasilkan limbah, sementara konsumen terus menghasilkan sampah konsumsi. Klop dari hulu ke hilir, semua berkontribusi merusak lingkungan. Akibatnya sangat mahal, kota-kota besar dekat dengan ancaman banjir, cuaca ekstrim jadi ancaman sehari-hari, serta pulau-pulau kecil yang terancam tenggelam karena muka air laut makin naik.

Aktor Pembangunan yang Cacat

Dalam mazhab pembangunan kapitalis, aktor negara hanya berperan sebagai fasilitator dan regulator yang sejajar dengan aktor-aktor lain. Penguasa sebenarnya adalah kaum oligarkh yang menjadi aktor utama pembangunan kapitalistik, merekalah yang memegang kemudi aset-aset strategis publik yang memonopoli hajat hidup orang banyak. Seperti kata Noreena Hertz, sistem demokrasi menjadi berbiaya mahal karena telah berselingkuh dengan sistem kapitalisme. Anak haramnya adalah oligarki. Oligarkhi adalah politik untuk mempertahankan kekayaan kaum elit. Sementara oligarkh adalah sang elit itu sendiri yang menguasai dan mengendalikan konsentrasi besar sumber daya material yang bisa digunakan untuk mempertahankan atau meningkatkan kekayaan pribadi dan posisi sosial eksklusifnya.  Keterlibatan oligarki ini dikemas cantik dalam konsep pembangunan ‘pentahelix’ [3], dimana seolah unsur pemerintah, masyarakat atau komunitas, akademisi, pengusaha, dan media memiliki peran yang sama besar dalam pembangunan.

Para oligarkh inilah yang mengendalikan pejabat dan pemimpin politik, sehingga praktek KKN (korupsi, kolusi dan nepotisme) seolah menjadi normal dan menjadi budaya di elit politik pemerintahan. Pada tahun 2020 Sebuah video wawancara Bupati Banjarnegara Budhi Sarwono sempat viral karena mengatakan jadi kepala daerah harus korupsi, karena gaji yang sangat kecil. Kala itu, Budhi mengeluh gaji dan tunjangan bupati hanya sekitar Rp5,9 juta. Dalam wawancara tersebut, Budhi sempat menyinggung kemungkinan kepala daerah korupsi akibat gaji yang terlampau kecil. “Pasti, harus itu. Bukan potensi. Harus korupsi […] lama-lama kan jadi mikir. Kita punya partai, kita punya tim sukses, kita punya konstituen. Benar gak mas? Semua harus dirawat,” kata Budhi dalam wawancara tersebut. Kisah miris ini nyata dan dekat, bahwa rakyat dipimpin oleh pejabat yang cacat moral dan etika.

Kecacatan moral berjama’ah ini yang menjangkiti sebagian besar aktor-aktor pembangunan modern. Aktor utama dan aktor pembantu pembangunan kapitalistik ini memiliki pola interaksi yang terbentuk dari prinsip kebebasan kepemilikan, modal ribawi serta kultur korupsi oportunistik yang sangat kental dengan praktek risywah dan gratifikasi hadiah untuk pejabat. Interaksi yang rusak ini adalah kezaliman dan kemaksiatan, yang menjadi pangkal kerusakan proses pembangunan baik secara fisik, sosial maupun mental. Padahal harta yang tidak bersih akan mengundang kemurkaan Allah dan dicabutnya keberkahan dalam banyak proyek pembangunan.

Ibnu Khaldun dalam kitab Muqaddimah sudah menulis tentang pentingnya kualitas takwa seorang pejabat sebagai aktor pembangunan, terutama kualitasnya dalam pengelolaan harta. Dalam bab berjudul “Kebijakan Pembangunan Harus Mempunyai Strategi Agar Teratur”. Ibnu Khaldun memuat surat Thahir bin Al-Husain kepada puteranya, Abdullah bin Thahir, ketika Khalifah Al-Makmun Ar-Rasyid mengangkat puteranya itu menjadi gubernur di Riqqah, Mesir dan sekitarnya. Surat Thahir ini kemudian sampai pada Khalifah dan diperbanyak oleh al Makmun agar dibaca oleh semua pejabat di bawah kepemimpinannya.

Nasehat paling pertama dan utama adalah taqwa, ” Amma ba’du. Berpeganglah engkau pada ketakwaan Allah Yang Esa, yang tiada sekutu bagi-Nya, merasa diawasi-Nya dan jauhilah murka-Nya. Jagalah rakyatmu siang dan malam. Peliharalah keselamatan yang dikenakan oleh Allah kepadamu dengan cara mengingat tempatmu kembali, di mana engkau menghadap-Nya dan meminta pertanggungjawabanmu tentangnya…”

Nasehat menonjol berikutnya adalah soal amanah pengelolaan harta umat; “Hindarilah sifat tamak. Hendaklah yang menjadi simpanan dan kekayaanmu adalah kebaikan, ketakwaan, memperbaiki rakyat, memakmurkan negeri mereka, meneliti urusan-urusan mereka, menjaga darah mereka dan membantu mereka yang lemah. Ketahuilah, harta jika disimpan dan ditimbun dalam gudang-gudang penyimpanan tidak akan bisa berkembang. Namun jika harta berada dalam kebaikan rakyat, memberikan hak-hak mereka dan menghindarkan kepedihan dari mereka, maka harta pun bisa berkembang. Orang umum menjadi bersih dan baik, kekuasaan menjadi teratur, zaman menjadi baik dan diyakini di dalamnya terdapat kemuliaan dan manfaat.

Pesan yang dituliskan berabad lalu ini mengandung sebuah konsep universal yang sangat relevan dengan kehidupan manusia di segala zaman. Khalifah Umar juga mengambil paksa harta yang disalahgunakan keluarga khalifah untuk dikembalikan kepada baitul mal. Memakmurkan negeri dengan cara membantu mereka yang lemah dan mengembangkan harta dengan memberikan hak-hak rakyat terbukti sebagai metode yang lebih efektif dibandingkan dengan “menyimpan dan menimbun” kekayaan pada segelintir kelompok apalagi jika kelompok itu adalah pemimpin berkuasa yang diamanahi tanggung jawab untuk menyejahterakan rakyat.

Walhasil jika aktor pembangunan tidak memiliki ketakwaan dalam mengelola kekayaan umat dan asset-aset pembangunan, maka ingatlah perkataan Imam Al Ghazali berikut, “Rusaknya rakyat disebabkan rusaknya penguasa.  Rusaknya penguasa disebabkan rusaknya ulama. Dan rusaknya ulama disebabkan ulama dikuasai cinta harta dan ketenaran.  Barang siapa dikuasai cinta dunia, ia takkan mampu mengawasi rakyat kecil, lantas bagaimana mungkin (ia bisa mengawasi) penguasa dan para pembesar negara?” (Ihya’ Ulum al-Diin, juz 2/357)

Urgensi Politik Ekonomi Islam dalam Menyembuhkan Konsumerisme

Dari semua pembacaan ini maka kita bisa menyimpulkan, konsumerisme adalah penyakit sistemik yang disebabkan oleh suprastruktur nilai sekulerisme dan infrastruktur kebijakan ekonomi pembangunan kapitalistik. Maka tidak ada jalan lain menyembuhkan penyakit ini kecuali dengan penyembuhan sistemik. Sebuah visi baru perlu diadopsi, dan jalan kesembuhannya harus dimulai dari negara, dimana negara harus fokus dalam mengurusi urusan rakyatnya dengan menerapkan mekanisme distribusi harta serta melarang kepemilikan aset-aset publik oleh swasta.

Distribusi merupakan masalah pokok yang dihadapi oleh masyarakat sekarang ini. Kemiskinan pada dasarnya terjadi karena mekanisme distribusi yang tidak berjalan, sementara konsumerisme terjadi karena cara pandang kapitalistik yang mengutamakan produksi tapi minus distribusi.

Di dalam Islam, distribusi dilakukan secara ekonomis dan non ekonomis. Mekanisme ekonomi diarahkan kepada sektor produktif, sedangkan mekanisme non ekonomi tidak melalui aktivitas ekonomi produktif, melainkan melalui aktivitas non produktif misalnya zakat, waris, dan sedekah sunnah. Dengan begitu pemerataan kesejahteraan baik di desa dan kota akan terjadi secara alami dan sistemik.

Penyakit konsumerisme akan dihapus oleh Islam, pertama untuk kalangan kelas konsumen yang memiliki daya beli tinggi, mereka akan dididik dengan tsaqofah Islam tentang investasi harta yang benar dengan gaya hidup yang berkah. Masyarakat perkotaan dalam Islam tidak akan hidup dalam kabut gelap konsumerisme karena dijauhkan dari virus hedonisme dan dimotivasi untuk berlomba dalam sedekah dan wakaf sebagai amal jariyah untuk akhirat mereka. Harta mereka diinvestasikan untuk menyelesaikan urusan-urusan agung umat seperti dakwah dan jihad, bukan semata demi gengsi dan status sosial. Negara juga tidak akan memfasilitasi pembangunan mall-mall di perkotaan yang terlalu banyak hanya demi memfasilitasi bisnis oligarki, karena infrastruktur perkotaan diarahkan untuk kemajuan peradaban Islam dimana aktivitas ekonomi, ilmu pengetahuan dan syiar Islam berjalan secara seimbang dalam kendali Aqidah dan Syariah Islam.

Kedua untuk kalangan miskin dan lemah maka akan ada jaminan konsumsi kebutuhan pokok pada mereka, sehingga warga desa tidak perlu berbondong-bondong ke kota hanya untuk mengisi perut mereka, karena tidak sulit bagi mereka memenuhi kebutuhan keluarga meskipun berada di desa. Mereka akan pergi ke kota untuk berkarya, berdagang atau berguru menimba ilmu, karena fungsi kota dalam Islam bukan sekedar sebagai pusat pertumbuhan ekonomi tetapi juga sebagai pusat syiar Islam, dakwah dan ilmu pengetahuan. Ini terlihat dari bagaimana Rasulullah saw saat membangun Madinah, Masjid adalah bangunan pertama yang dibangun sebagai simbol infrastruktur hubungan spiritual masyarakat Islam dengan Rabb mereka.

Demikianlah sekilas gambaran visi politik ekonomi Islam dalam menghapus konsumerisme pada masyarakat, tentu upaya ini harus dimulai secara simultan baik dari kesadaran individu, kontrol masyarakat dan peran negara yang tidak mengabaikan hukum-hukum Allah. Ingatlah firman Allah ta’ala:

وَاِذَآ اَرَدْنَآ اَنْ نُّهْلِكَ قَرْيَةً اَمَرْنَا مُتْرَفِيْهَا فَفَسَقُوْا فِيْهَا فَحَقَّ عَلَيْهَا الْقَوْلُ فَدَمَّرْنٰهَا تَدْمِيْرًا

Dan jika Kami hendak membinasakan suatu negeri, maka Kami perintahkan kepada orang yang hidup mewah di negeri itu (agar menaati Allah), tetapi bila mereka melakukan kedurhakaan di dalam (negeri) itu, maka sepantasnya berlakulah terhadapnya perkataan (hukuman Kami), kemudian Kami binasakan sama sekali (negeri itu).” (QS. Al Isra: 16)

Wallahu a’lam bish showwab


[1] Brookings.edu, The rapid rise of the urban consumer class, Desember 2021

[2] menurut Australian Circular Textile Association (ACTA)

[3] Academic, Business, Community, Government, dan Media atau dikenal sebagai ABCGM.


0 Komentar

Tinggalkan Balasan

Avatar placeholder

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *