
Laut Sulu berada di utara Laut Sulawesi dan Kalimantan Utara, tidak seberapa jauh dari Indonesia namun tak banyak masyarakat Indonesia yang mengenalnya. Laut Sulu memiliki posisi geografis yang sangat strategis dan dianggap sebagai perairan “paling berbahaya” di dunia, karena isu bajak laut dan terorisme. Perairan strategis yang dianggap berbahaya ini justru menyimpan kisah nasib minoritas Muslim yang berada dalam bahaya. Siapakah mereka? Mereka adalah saudara kita seiman yakni Muslim Mindanao, yang seharusnya dekat di hati Muslim di Indonesia. Mereka ini dijuluki Moro oleh penjajah Spanyol karena pengalaman sejarah Romawi berinteraksi dengan Muslim di Aljazair dan Maroko.
Bicara soal keimanan dan perjuangan, jangan ditanya. Muslim Mindanao termasuk kokoh dan keras dalam perjuangan. Selama tiga abad, Spanyol tidak pernah berhasil menaklukkan Mindanao, wilayah ujung selatan Filipina yang saat itu di bawah naungan Kesultanan Sulu dan Kesultanan Mindanao.
Berputarnya zaman juga tidak menciutkan perjuangan saudara-saudara kita ini, penjajahan Spanyol kemudian beralih ke Amerika dimana pada tahun 1898, Spanyol takluk oleh Amerika melalui Perjanjian Paris. Dimulailah era pendudukan Amerika, dimana Amerika mengikrarkan tekad untuk menjamin kebebasan beragama dan sekulerisasi di Mindanao di bawah perjanjian Bates. Salah satu kebijakan Amerika yang paling menonjol adalah sistem agraria baru untuk membentuk Provinsi Moro Land serta migrasi sistemik penduduk Utara ke Selatan yang artinya asimilasi penduduk non Muslim dan Muslim dengan alasan untuk memberikan arah pembentukan sistem masyarakat modern ( civilizing) bagi Bangsa Moro, namun justru akibat kebijakan agraria ini wilayah Muslim Mindanao menyusut signifikan.
Tekanan terhadap Muslim Mindanao terus berlangsung hingga Filipina merdeka bahkan sampai saat ini. Berbagai perjanjian dan pendekatan terus diupayakan pemerintah Filipina atas nama otonomi, dari format ARMM (Autonomous Region in Muslim Mindanao) sekarang menjadi BARMM (Bangsamoro Autonomous Region in Muslim Mindanao). Penambahan kata Bangsamoro sebenarnya tidak lepas dari politik identitas yang dimainkan Barat dalam rangka membentuk identitas baru untuk Muslim Mindanao sebagai “bangsa Moro”, dimana bangsa adalah kata Melayu yang berarti ‘bangsa’ yang akan mencakup tidak hanya Muslim, tetapi juga penduduk yang beragama Kristen dan masyarakat adat di wilayah Bangsamoro. Undang-undang dasar Bangsamoro pun berganti menjadi UU organik Bangsamoro. Berbagai percobaan otonomi ini terus diupayakan oleh rezim sekuler Filipina dengan bantuan tangan-tangan Eropa dan Amerika, walhasil formula ini sejatinya tidak pernah menciptakan kemerdekaan hakiki bagi Muslim Mindanao. Wilayah otonomi Muslim Mindanao terus mengalami penyusutan dan bahkan terus terjadi disparitas pembangunan wilayah antara Filipina Utara dengan wilayah Muslim di Selatan.
Narasi: Anita Delina & Fika Komara
Kartografer: Despry Nur Anisa dan Fitri Ayu Febrianty
Ilustrasi Peta: Tati Pertiwi
0 Komentar