Kepulauan Natuna memiliki luas wilayah 264.198,37 km2 dengan luas daratan 2.001,30 km2 dan lautan 262.197,07 km2. Lokasinya terletak di daerah perbatasan Indonesia dengan beberapa negara di sekitar Laut Cina Selatan.

Natuna memiliki beragam potensi sumber daya alam berupa minyak bumi, gas, dan kekayaan laut yang melimpah. Kepulauan Natuna ditetapkan menjadi salah satu Pusat Kegiatan Strategis Nasional berdasarkan PP No. 26 Tahun 2008 tentang RTRW Nasional karena wilayahnya yang terletak di perbatasan yang dikaruniai potensi SDA yang besar.

Berdasarkan catatan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Blok East Natuna mempunyai kandungan volume gas di tempat (Initial Gas in Place/IGIP) sebanyak 222 triliun kaki kubik (tcf), serta cadangan sebesar 46 tcf. Potensi minyak di blok itu mencapai 36 juta barel minyak. Namun baru dimanfaatkan sekitar 25 ribu barel minyak. (tirto.id)

Hasil studi identifikasi potensi sumber daya kelautan dan perikanan Provinsi Kepulauan Riau (2011) menyatakan bahwa, potensi ikan laut Natuna mencapai 504.212,85 ton per tahun. Angka itu hampir 50% dari potensi Wilayah Pengelolaan Perikanan atau WPP 711 (Laut China selatan, Laut Natuna, dan Selat Karimata) yang menyentuh 1.143.341 ton per tahun. Data ini menunjukkan bahwa wilayah kepulauan Natuna ini merupakan wilayah kepulauan yang memiliki sumberdaya perikanan yang melimpah dengan jumlah populasi nelayan 5.590 Rumah Tangga Perikanan (RTP) dari total 81.495 jiwa.

Hal tersebut diperkuat oleh data hasil pemantauan sampel kapal asing yang diperoleh CNNIndonesia.com melalui pemantauan Sistem Monitoring Skylight (2019). Data tersebut menunjukkan hasil pemantauan sampel kapal asing yang melintasi perairan Natuna mencapai 1.647 kapal per hari pada April 2019. Sementara di bulan-bulan lain cenderung menurun, misalnya 810 kapal di Mei, 580 kapal di Juni, dan 768 kapal di Juli.

Letak Natuna yang berada di jalur ALKI I menjadikannya semakin strategis karena berada di antara jalur perairan Selat Malaka dan Laut China Selatan yang dilalui banyak kapal, Kepulauan Natuna menjadi wilayah yang kerap diperebutkan, rawan terhadap konflik kawasan dan kedaulatan wilayah maritim. 

Terjadinya berbagai konflik Kawasan Natuna khususnya di wilayah perairan ini disebabkan karena kurang seriusnya peri’ayahan (pengurusan) terhadap wilayah-wilayah perbatasan. Hal tersebut bisa kita lihat dari keterbatasan postur pertahanan militer yang kita miliki di wilayah perbatasan yang hanya berjumlah tiga titik, yaitu Kalimantan Barat dan Kepulauan Riau. Padahal dalam waktu yang bersamaan di sekitar Natuna sendiri, juga telah dikelilingi oleh pangkalan angkatan militer dari Amerika Serikat dan China. Pangkalan militer Amerika Serikat di sekitar Kepulauan Natuna terletak di wilayah Singapura, Vietnam, dan Filiphina. Sementara pangkalan militer China terletak di Kepulauan Spartly. Hal ini tentu perlu menjadi perhatian yang lebih serius lagi dalam mengurus pemanfaatan sumber daya alam di Kepulauan Natuna beserta penjagaannya agar tidak lagi menjadi lokasi eksploitasi asing dan aseng.

Tidak hanya sumber daya alamnya yang perlu diperhatikan pemanfaatannya. Ketersediaan sumberdaya manusia di Kepulauan Natuna juga perlu menjadi perhatian serius untuk diri’ayah dengan benar. Data statistik Kabupaten Natuna (2021) menunjukkan bahwa jumlah penduduk miskin di Natuna pada 2020 meningkat sebesar 3,47% jika dibandingkan data 2019. Hal ini menunjukkan bahwa potensi sumber daya alam dan strategis lokasi yang dimiliki oleh Natuna saat ini tidak memberikan dampak positif pada kesejahteraan masyarakat setempat.

Ketika didudukkan dalam perspektif Islam, terdapat beberapa catatan kritis terkait kedudukan Kepulauan Natuna. Pertama, Natuna merupakan tanah ribath laut dan terdapat keutamaan untuk melakukan penjagaan di wilayah perbatasan tersebut. Beberapa dalil diantaranya yang menyebutkan keistimewaan menjaga wilayah perbatasan adalah sebagai berikut.

Hai orang-orang yang beriman, bersabarlah kamu dan kuatkanlah kesabaranmu dan tetaplah bersiap siaga (di perbatasan negerimu) dan bertakwalah kepada Allah, supaya kamu beruntung.” (TQS. Ali Imran [3]: 200)

“Satu kali berperang di lautan itu lebih baik dari sepuluh kali berperang di daratan. Orang yang berlayar di lautan [dalam jihad] adalah seperti orang yang telah mengarungi seluruh lembah [daratan]. Dan orang yang mabuk di lautan [dalam jihad] adalah seperti orang yang bersimbah darah [dalam jihad].” (HR. Al-Hakim no. 2634 dan Ath-Thabarani dalam Al-Mu’jam Al-Kabir)

Kedua, pengelolaan sumberdaya alam migas di Natuna berbasis korporasi, banyak pihak atau negara luar mengincar, baik untuk berinvestasi maupun menguasainya. Padahal syariat Islam yang diturunkan oleh Allah swt Sang Pencipta bahan baku energi, menetapkan bahwa barang tambang adalah jenis barang milik umum (milkiyyah ‘aammah).

“Kaum muslimin berserikat dalam 3 hal, air, padang gembalaan, dan api”. (HR. Ibnu Madjah)

Ketiga, konektivitas yang rendah di wilayah Kepulauan Natuna menyebabkan pulau-pulau terpencil menjadi terisolir sehingga ri’ayah umat lemah. Padahal, Konektivitas antar wilayah merupakan aspek yang sangat penting dalam menjangkau pengurusan pemenuhan kebutuhan ummat. Kalaupun konektivitas antar wilayah itu dibangun pada masa sekarang, maka tujuannya hanya sebatas pada orientasi pembukaan lahan investasi bagi asing dan aseng dalam melanggengkan cengkramannya di negeri ini dengan ideologi kapitalisme yang mereka emban.

Sungguh, ketiadaan kekuatan ideologi islam di negeri-negeri muslim seperti Indonesia saat ini menjadikan negara ini melemah dalam berbagai aspek. Mulai dari kelemahan visi politik, postur militer, pembangunan kualitas masyarakat, dan pengelolaan sumberdaya alam dan ekonomi yang adil dan berkelanjutan.

Belajar dari hal ini, maka sepatutnya kita harus terus mengasah kesadaran politik Islam yang kita miliki. Mengenai politik Islam dalam hal ini adalah peri’ayahan terhadap seluruh umat, mampu mengelola ruang-ruang strategis umat terutama pada aspek pembangunan manusia.

Pembangunan harusnya tidak hanya mementingkan aspek fisik dan tersentral ala kapitalisme, namun pulau-pulau terluar yang bernilai strategis juga perlu mendapat perhatian penuh termasuk membangun kualitas sumberdaya manusianya. Hal ini tentu hanya bisa dilakukan oleh negara yang memiliki visi geopolitik yang kuat.

Penyelesaian yang efektif atas problematika geostrategi Natuna ini adalah dengan menawarkan Islam sebagai pemikiran yang menyeluruh tentang alam semesta, manusia, dan hidup di medan perdebatan dunia yang dapat dijangkau oleh seluruh umat manusia dan bangsa, serta meletakkan pemikiran menyeluruh itu secara internasional sebagai objek pembahasan dan perdebatan di antara seluruh negara.

وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ الْقُرَىٰ آمَنُوا وَاتَّقَوْا لَفَتَحْنَا عَلَيْهِمْ بَرَكَاتٍ مِنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ وَلَٰكِنْ كَذَّبُوا فَأَخَذْنَاهُمْ بِمَا كَانُوا يَكْسِبُونَ

Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya (QS. Al-A’raf: 96).


0 Komentar

Tinggalkan Balasan

Avatar placeholder

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *