
Islam memiliki konsep batas laut teritorial. Batas tersebut tidak seformal hukum internasional saat ini. Islam memandang bahwa batas-batas wilayah tidak permanen dan kaku. Batas tersebut dinamis seiring dengan meluasnya daratan yang ditaklukkan.

Sementara itu, pandangan terkait laut di luar Islam mengalami beberapa perubahan seiring dengan ambisi pengelolaan sumber daya laut sebagaimana dikutip dari (Neonbeni & Manubulu, 2023), yaitu
- Mare Liberum: Prinsip ini, dipelopori oleh Hugo Grotius pada tahun 1609, menyatakan bahwa laut terbuka untuk navigasi dan perdagangan bebas oleh semua bangsa.
- Mare Clausum: Prinsip ini, diklaim oleh Inggris pada abad ke-17, menyatakan bahwa negara-negara pesisir dapat memiliki laut di sekitar mereka.
- Konvensi PBB tentang Hukum Laut (UNCLOS) 1982: Perjanjian internasional ini menetapkan kerangka kerja komprehensif untuk pengelolaan laut, termasuk Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) 200 mil laut di sekitar negara pesisir dan wilayah laut internasional.

Dari Sahl bin Sa’ad Radhiyallahu ‘Anhu, bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Seorang berjaga di daerah-daerah perbatasan kaum muslimin selama satu hari karena Allah adalah lebih baik baginya daripada dunia dan semua yang ada diatas dunia ini. Dan satu tempat untuk meletakkan cambuk dari salah seorang di antara kalian di surga itu lebih baik daripada dunia dan apa yang ada di dalamnya. Dan seorang yang keluar dari rumahnya dalam rangka untuk berjihad di jalan Allah, baik diwaktu pagi atau sore, adalah lebih baik daripada dunia dan apa yang ada diatasnya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Pada masa Khilafah Abbasiyah di Timur, sarana prasarana ribat dibangun. Menara pengawas dan mercusuar didirikan sepanjang pantai sebagai panduan untuk kapal dan untuk mengamankan jalur maritim. Ribāt dan miḥrās (menara pengawas) berfungsi sebagai titik pengamatan untuk kapal-kapal yang berlayar di lepas pantai perbatasan Islam. Dalam sebuah surat Geniza yang ditulis pada akhir Juni atau awal Juli tahun 1060-an, seorang pengirim mencatat nama-nama kapal dagang yang berlayar antara Mesir dan Maghrib dan mengidentifikasi titik-titik pengamatan dari mana mereka terlihat.

Indonesia sendiri menghadapi tantangan besar dalam pengelolaan maritimnya yang cenderung fokus pada pengelolaan sumber daya alam (tangible) seperti perikanan dan pertambangan di laut, dan meninggalkan pengelolaan maritim sebagai sebuah ruang (intangible) seperti penguasaan alur pelayaran dan kontrol atas ruang maritim. Sehingga pengelolaan keamanan maritim kurang optimal. Kementerian dan lembaga yang bertanggung jawab atas laut saat ini juga bekerja dengan regulasi yang terpisah-pisah, menyebabkan kurangnya kesatuan dalam pengelolaan laut. Hal ini menciptakan kekosongan yang membuat pengawasan dan pengelolaan maritim jadi kurang efektif.

Dalam penindakan pelanggaran maritim saat ini, suatu negara tak jarang menghadapi konflik kepentingan ketika melawan negara adidaya yang melanggar. Contohnya dalam kasus pelanggaran maritim kapal penangkap ikan Tiongkok dengan pengawalan coast guard negaranya yang masuk ke Laut Natuna Utara. Kurangnya bargaining position Indonesia karena ketergantungan ekonomi dan pertahanan terhadap RRT menyebabkan kurang tegasnya menyikapi insiden tersebut.
0 Komentar