@ayuparanitha_
 
Tiga hari melakukan perjalanan di Belitung dan berinteraksi dengan penduduk lokal mengingatkan saya pada sebuah istilah dalam social science, Tragedy of The Commons, begitu para ahli menyebutnya. Istilah ini jika kita terjemah bebas berarti “Tragedi Kepemilikan Umum”. Sebuah peristiwa dimana ada segelintir manusia yang mengeksploitasi sumber daya alam milik umum dimana sumber daya ini lama-lama akan habis dan/atau menimbulkan kerusakan yang akhirnya dirasakan bukan hanya oleh pihak yang melakukan eksploitasi, melainkan juga mereka yang ada disekitarnya.
 
Belitung, sebuah pulau kecil yang Allah titipkan kekayaan berupa timah yang melimpah, walaupun masih lebih kecil jika dibandingkan dengan saudaranya, Bangka. Hari terakhir kami melakukan wawancara dengan komunitas pelajar Belitung, mereka mengajukan petisi untuk menolak keberadaan kapal penghisap timah di Belitung Timur. Alasannya? Tentu saja karena melihat apa yang sudah terjadi di pulau tetangganya, Bangka. Pantai di Bangka sudah tidak lagi jernih, dan kontributor utamanya tidak lain adalah penambangan timah di Kawasan perairan disana. Para nelayan pun semakin kesulitan untuk mencari ikan dengan terjadinya kerusakan ekosistem laut. Sedangkan di Belitung sendiri, pemerintah telah merancang sebuah Kawasan ekonomi khusus pariwisata Tanjung Kelayang dimana keindahan alam menjadi primadonanya. Akan menjadi kontraproduktif dengan kerusakan tak terhindarkan dari aktivitas penambangan. Oleh karena tidak ingin kerusakan yang terjadi di Bangka terulang di Belitung, komunitas ini dengan keras menolak keberadaan kapal hisap timah di Belitung.
 
Sebelumnya, kami juga mendapat kesempatan untuk melakukan wawancara dengan kepala unit produksi PT Timah. Beberapa hal yang kami konfirmasi kepada beliau diantaranya adalah tentang penanggulangan dampak kerusakan lingkungan dari aktivitas penambangan yang dilakukan oleh PT Timah. Sebagai sebuah korporasi yang dulunya adalah BUMN dan kini bertransformasi menjadi PT Timah Tbk di bawah induk holding PT Inalum, PT Timah mengaku bahwasanya mereka pun melakukan upaya pemulihan lahan bekas kegiatan penambangan diantaranya yang sudah berhasil adalah rehabilitasi lahan untuk penanaman tanaman produktif seperti kelapa sawit, lada, pepaya, cabe dan jeruk. Konversi lahan bekas pertambangan menjadi objek wisata. Begitu pun dengan wilayah perairan, korporasi melakukan perbaikan berupa transplantasi terumbu karang, tetapi tentu saja hal ini tidak nampak di permukaan.
 
Lalu kami juga mencoba mencari informasi dari dinas perikanan apakah benar telah terjadi penurunan produksi ikan di laut. Aspek ini memang terkonfirmasi, tapi penyebabnya bukan hanya satu faktor, yaitu penambangan timah, tetapi termasuk di dalamnya adalah overfishing yang dilakukan oleh kapal-kapal besar, penggunaan bahan peledak, serta penangkapan ikan menggunakan metode tradisional yang merusak terumbu karang. Akhirnya kini kita memetik hasilnya berupa penurunan produksi ikan.
 
Beruntung kami juga berhasil melakukan wawancara dengan salah satu pemilik kapal di Belitung. Narasumber kami mengatakan sudah sekitar lima tahun menggeluti bisnis penangkapan ikan. Ketika kami tanya apakah terjadi penurunan jumlah tangkapan ikan, narasumber kami mengatakan tidak, dia menambahkan bahwa kenaikan atau penurunan jumlah ikan mengikuti musim, sehingga para nelayan berangkat sambil menduga di wilayah mana kira-kira mereka akan mampu untuk menangkap ikan dalam jumlah yang banyak. Nelayan ini mungkin masi bisa dibilang cukup beruntung, hal yang berbeda ditemukan oleh tim watchdoc di perairan maluku, di sana tim watchdoc menemukan sebuah fakta dimana dari 100an kapal nelayan menyusut menjadi 6 kapal saja, alasannya? Kapal-kapal asing yang berada di luar area tangkapan nelayan lokal telah “memagari” area tangkapannya sehingga ikan tidak berhasil bermigrasi ke area nelayan lokal ditambah harga bbm yang naik 100%, cost produksi meningkat berlipat-lipat menghantam para nelayan membuat mereka berguguran secara bersamaan. Ketika ditanya bagaimana pendapat tentang pendapat bantuan 5.000 kapal gratis dari pemerintah bagi para nelayan, narasumber hanya tertawa, seperti ada kesatiran yang tidak ia ungkapkan, karena kita tentu saja paham bahwa masalah menangkap ikan ini bukan hanya masalah keberadaan kapal.
 
Pariwisata yang kini menjadi primadona, era leisure economy mereka bilang, sesungguhnya tanpa kita sadari membawa pada dilemma buah simalakama. Seperti yang dikatakan Agustinus Wibowo dalam bukunya Titik Nol, “Layakkah para pelancong menuntut negeri-negeri tetap hidup dalam keterbelakangan, supaya tetap “asli”, “eksotik”, dan “misterius” di ujung bumi terpencil, sebagai taman bermain di tengah deraan modernitas dunia? … Turisme membawa uang, pembaharuan, pembangunan infrastruktur dan ekonomi, pertukaran ide dan perubahan pola pikir, tapi turisme juga membawa sekalian nafsu mengeruk keuntungan, ketidakjujuran, materialisme, komersialisasi budaya, hedonism, pelacuran, pengemis, narkotika, kriminalitas, mimpi-mimpi kosong…”
 
Otto Scharmer mengatakan, ekonomi global hari ini menggunakan sumber daya alam 1,5 kali dari kapasitas regenerasi yang dimiliki oleh planet bumi. Maka perjalanan kemarin meninggalkan tanya bagi saya, tidak ada diantara kita yang menginginkan kehancuran alam, tapi secara kolektif kita telah melakukannya. Setiap dari kita merasa telah melakukan perannya sesuai dengan aturan yang berlaku, tapi kenyataannya kita secara langsung atau tidak telah merugikan orang lain. Perusahaan tambang sebagai korporasi merasa telah berusaha melakukan eksploitasi dengan memperhatikan lingkungan, sedangkan nelayan dan penduduk sekitar merasa dirugikan dengan aktivitas penambangan. Korporasi merasa telah menyelesaikan kewajiban nya dengan melakukan CSR (corporate social responsibility) tapi kemiskinan masyarakat di tengah bumi yang kaya angkanya terus meningkat. Leisure economy yang semakin sering kita dengar seolah menjadi ambisi manusia untuk mencapai kebahagian, tapi hari ini dibandingkan tingkat kriminalitas yang begitu tinggi, kenyataannya lebih banyak manusia membunuh dirinya sendiri dibandingkan dibunuh orang lain. Tidak ada seorang pun dari kita yang bangun di pagi hari dan berharap bumi semakin rusak, menjadi seseorang yang tidak bahagia, berbuat kejahatan pada orang lain, tapi tanpa sadar secara kolektif kita telah melakukannya. Pertanyaannya adalah, kenapa?

0 Komentar

Tinggalkan Balasan

Avatar placeholder

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *