Keracunan MBG Buah dari Kebijakan Populis? 

Kanti Rahmillah, M.Si
(Peneliti Ekonomi Keumatan ImuNe)

Program Makan Bergizi Gratis (MBG) kembali disorot lantaran semakin banyak siswa yang keracunan. Sejak program MBG dijalankan hingga pertengahan September 2025, lembaga pemantau pendidikan mencatat sebanyak 5.360 siswa menjadi korban keracunan makanan akibat program ini. Angkanya terus bertambah setiap hari hingga beberapa kabupaten di Jawa Barat menetapkan kejadian tersebut sebagai KLB (Kejadian Luar Biasa).

Menteri Sekretaris Negara Prasetyo Hadi meminta maaf atas kondisi tersebut dan berjanji akan melakukan evaluasi agar ke depan tidak terjadi hal serupa. Sedangkan Menteri Keuangan Purbaya, mengatakan persoalan utama MBG adalah rendahnya serapan anggaran. Anggaran hanya terserap sebesar 18,6 persen dari total pagu Rp71 triliun. Padahal, anggota Komisi IX DPR RI, Edy Wuryanto, menyatakan bahwa akar persoalan tidak terlepas dari langkah Badan Gizi Nasional (BGN) yang terlalu mengejar kuantitas pembangunan dapur demi serapan anggaran, ketimbang memastikan standar mutu.

Jika kita evaluasi ketiga tujuan besar MBG yakni memenuhi gizi anak, meningkatkan prestasi hingga menggerakan ekonomi. Kesemuanya bisa dianggap gagal, dikatakan demikian sebab alih-alih terpenuhi gizinya, anak-anak malah banyak yang keracunan. Begitupun dengan tujuan meningkatkan prestasi, dianggap hanya omong kosong sebab justru proses belajar mengajar malah terganggu dengan sibuknya para guru untuk mengatur distribusi.

Apalagi menggerakan ekonomi, investigasi Tempo menemukan bahwa mayoritas yayasan yang melakukan MoU dengan BGN Adalah kroni penguasa. Artinya ekonomi hanya berputar pada segelintir saja. Belum lagi dugaan korupsi. Transparansi Internasional (TI) Indonesia menemukan potensi kegagalan dan ruang korupsi yang amat adalah besar di proyek ini. 

Misalnya pada penunjukan mitra pelaksana SPPG yang tidak terbuka juga proses PJB (Pengadaan Barang dan Jasa)  yang tidak transparan. Padahal menurut KPK sektor PJB masih mendominasi sebagai sektor dengan kasus suap dan gratifikasi tertinggi. Inilah yang menjadikan persoalan MBG bukan lagi persoalan teknis melainkan sistematis.

Lebih dari itu MBG bukanlah solusi fundamental untuk mengatasi gizi buruk. Sebab jika ingin memenuhi gizi anak seharusnya negara mampu menciptakan lapangan pekerjaan bagi seluruh kepala keluarga sehingga mereka bisa memenuhi gizi anggota keluarganya. 

Oleh karena itu program MBG sebenarnya sedang mengonfirmasi kegagalan negara dalam menciptakan lapangan kerja bagi kepala keluarga dengan gaji yang layak. Program MBG pun sedang mengonfirmasi gagalnya negara dalam mensejahterakan rakyatnya. Sehingga kecukupan gizi tidak bisa terpenuhi. Selain itu negara pun gagal dalam menyediakan layanan kesehatan dengan gratis dan merata sehingga jika ada yang sakit atau kurang gizi tidak bisa ditangani dengan optimal. 

Kegagalan semua ini tidak bisa dilepaskan dari tata kelola negara yang bercorak kapitalistik. Negara hanya berperan sebagai regulator bagi korporasi. Akibatnya, program ataupun kebijakan ditetapkan bukan untuk kemasalahatn umat melainkan pencitraan semata. Sistem politik demokrasi meniscayakan penguasa hanya fokus pada pencitraan dan populisme daripada memenuhi kebutuhan rakyat. 

Pemenuhan gizi rakyat tidak bisa dianggap sepele, terlebih untuk generasi mendatang. Mekanisme dalam Islam untuk menjamin gizi anak dan orang tuanya adalah sebagai berikut:

  1. Terjaminnya kebutuhan primer setiap individu secara layak.
    Syariat memerintahkan setiap kepala keluarga untuk bekerja (QS Al-Mulk: 15). Jika kepala keluarga tidak sanggup bekerja, maka kerabatnya yang membantu. Jika tidak ada kerabat atau kerabat tidak mampu membantu, maka keluarga tersebut akan mendapatkan santunan dari negara.
  2. Negara wajib membuka lapangan pekerjaan bagi rakyatnya.
    Dengan tersedianya lapangan pekerjaan bagi orang tua, maka setiap keluarga akan mampu memenuhi kebutuhan gizi keluarganya. Adapun makan siang saat anak berada di sekolah, pemenuhan gizinya bisa berasal dari sekolah. Ini satu kesatuan dengan pendidikan, sebab pendidikan dan pangan adalah kebutuhan primer yang dijamin oleh negara.
  3. Politik APBN syariah mampu menyediakan fasilitas sekolah berkualitas beserta makan siang bergizi.
    Sehingga tidak ada istilah “program makan siang gratis”, sebab seluruh kebutuhan termasuk pangan sudah terjamin baik dari sisi kuantitas maupun kualitasnya. Politik APBN yang sesuai syariat akan menjadikan pemasukannya melimpah. Salah satunya dari hasil pengelolaan SDA. Islam mengharamkan kepemilikan umum seperti SDA yang melimpah dikuasai individu. Begitupun dengan pengeluarannya akan berdasarkan skala prioritas. Umat menjadi prioritas utama. Sehingga tidak akan ada dana mengalir pada program yang mubazir apalai mudorot bagi umat.
  4. Sistem politik Islam menyelesaikan masalah umat, bukan berdasar populisme.
    Penguasa dalam sistem Islam tidak mementingkan pencitraan, melainkan fokus pada nasib umat. inilah yang menjadi jaminan seluruh kebijakannya mampu menuntaskan persoalan, termasuk pemenuhan gizi umat.

Demikianlah jaminan ketersediaan pangan bergizi bagi seluruh rakyat. Bukan hanya di siang hari, tapi di setiap waktu makan. Bukan hanya untuk anak-anak tapi seluruh warganya. Maka dari itu kembali kepada kehidupan Islam adalah perkara yang penting. Wallahualam.

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Scroll to Top