Oleh: Iranti Mantasari, BA.IR
Mahasiswa Pascasarjana Kajian Timur Tengah dan Islam UI
Terminologi radikalisme akhir-akhir ini cukup menjadi sorotan di banyak belahan dunia, mulai dari Amerika, Eropa, hingga ke Asia. Radikalisme, menurut Dekan Fakultas Psikologi Universitas Mercu Buana, Muhammad Iqbal memiliki arti yang sebenarnya netral atau positif, yaitu cara berpikir yang mendasar dan menggali ke akar permasalahan (Islampos.com 8/6). Namun, kini radikalisme telah menyita perhatian banyak sekali pihak untuk kemudian dirembukkan bersama terkait bagaimana menghilangkannya dari muka bumi.
Radikalisme saat ini sudah bergeser maknanya. Hal ini dapat dilihat dengan menarik lini masa pada peristiwa serangan gedung WTC (world trade center) di Amerika pada tahun 2001 yang menyebabkan Islam serta Muslim menjadi pihak yang dianggap sebagai entitas radikal dan menjadi bibit tumbuhnya berbagai aktivitas ekstrim dan terorisme. Dikarenakan peristiwa ini, Amerika yang cukup disegani pengaruhnya oleh dunia internasional beserta negara lain yang berjabat tangan dengannya memulai sebuah kebijakan global, Perang Melawan Teror (WOT) yang salah satu agendanya adalah deradikalisasi.
Apa yang dialami Islam dan Muslim secara umum cukup bisa dijelaskan oleh peribahasa “karena nila setitik rusak susu sebelanga”, tersebab satu hal kecil maka sebagian besar hal pun menjadi rusak. Aktivitas yang dilakukan oleh sekelompok kecil orang dengan membawa identitas atas nama Islam menjadi pelatuk senapan untuk ditembakkan kepada Muslim, Islam serta ajarannya secara lebih luas. Oknum yang bahkan mungkin tidak mewakili ajaran Islam tersebut telah menjadi dalil pembenar untuk memarginalkan Islam dan Muslim lainnya.
Melalui agenda deradikalisasi, banyak rezim yang pada faktanya memisahkan nilai ketuhanan dan agama dalam menjalankan pemerintahan mulai menetapkan kebijakan yang menyasar aktivitas masyarakat yang berhubungan dengan nilai agama pada praktiknya. Banyak literatur yang secara jelas menyebutkan bahwa Islam yang dilaksanakan oleh penganutnya juga tergolong sebagai bentuk aktivitas radikal. Hal ini disebabkan karena aktivitas yang dilakukan sebagian oknum tadi, berimbas pada Islam dan Muslim secara umumnya dipandang dengan kacamata yang negatif.
Generalisasi Fatal terhadap Islam di Indonesia dan Cina oleh Rezim Sekuler
Jika membahas radikalisme, maka Indonesia dan Cina merupakan contoh yang tepat untuk disorot. Dua negara yang sedang hangat dibicarakan kedekatannya ini dapat dikatakan sedang sibuk berkutat pada isu panas radikalisme. Merupakan sebuah fakta bahwa Indonesia dalam sedekade terakhir ini telah menghadapi berbagai serangan bom yang dilakukan oleh beberapa kelompok yang mengatasnamakan Islam. Jauh di utara Indonesia, Cina juga tengah sibuk mengurusi satu ketegangan panjang antara rezim dengan kelompok etnis yang diduga menjadi pelaku serangan bom serta gerakan separatis di daerah otonomi Xinjiang.
Narasi islamofobia atau ketakutan terhadap Islam, muslim dan ajarannya begitu terasa dalam kebijakan-kebijakan yang ditetapkan oleh rezim di Indonesia dan Cina. Sebut saja ISIS, Jamaah Islamiyah, dan Jamaah Ansharut Daulah, nama-nama tersebut merupakan nama gerakan yang cukup prominen di Indonesia, karena gerakan yang mengusung pendirian Negara Islam dan Khilafah ini mengklaim bahwa mereka telah melancarkan serangkaian serangkaian aksi bom dan serangan fisik dalam beberapa tahun terakhir. Hal ini menyebabkan organisasi lain seperti Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) dianggap berbahaya oleh rezim dan mengancam keutuhan negara karena juga menyerukan ajaran tentang Khilafah atau Negara Islam. Persepsi ancaman ini akhirnya berujung pada pencabutan Badan Hukum HTI serta berbagai aktivitas persekusi kepada siapapun yang dianggap mendukung Khilafah yang disuarakan oleh HTI tersebut.
Di sisi lain, Cina di banyak pemberitaan pun telah menunjukkan sikap represif terhadap etnis muslim Uighur di Xinjiang. Etnis ini dianggap sebagai sumber dari huru-hara yang terjadi di Cina sehingga Islam yang mereka peluk pun dilihat sebagai ancaman. Tindakan represif tersebut seperti melarang kaum muslim Uighur untuk berpuasa selama Ramadan, tidak dibolehkan menunjukkan atribut keislaman, dikirim ke “kamp reedukasi” yang di sana mereka mendapat perlakuan yang tidak mengenakkan, hingga diminta untuk meminum alkohol serta bersumpah setia kepada rezim komunis di sana. Muslim Uighur sendiri memang sudah diperlakukan secara tidak adil oleh rezim sekuler Cina sejak pemerintahan Mao Ze Dong.
Dampak yang dihadapi muslim di Indonesia dan Cina ini sebenarnya memiliki pola dan interkoneksi yang tidak jauh berbeda, yaitu adanya sekelompok orang yang menunjukkan diri dengan membawa identitas dan ajaran Islam kemudian melakukan aksi kekerasan membuat muslim lainnya juga dilihat dengan kacamata yang sama. Di Indonesia, kelompok yang mengakui diri sebagai dalang serangan bom mengatakan bahwa mereka mengusung Khilafah, menyebabkan Khilafah dipandang sebagai ajaran yang radikal dan sebuah ancaman sehingga siapapun yang mengusung dan mendukungnya juga dianggap sebagai ancaman yang harus disingkirkan. Sedangkan di Cina, serangan terorisme yang dituduh dilancarkan oleh sebagian kecil etnis Uighur membuat seluruh muslim Uighur, khususnya di Xinjiang terkena imbas pahitnya.
Pentingnya Kekuatan dan Persatuan Islam
Berbagai peristiwa yang menyudutkan Islam, baik di Indonesia, Cina, maupun di wilayah lainnya tentu harus dilihat dengan kacamata yang jernih. Islam sebagai entitas yang terpecah dan kecil menjadi bulanan pembencinya dengan mudahnya. Islam sebagai agama yang mayoritas dipeluk di Indonesia saja masih menjadi target propaganda musuh-musuhnya, apalagi di Cina yang notabenenya Islam di sana merupakan minoritas.
Menjadi mayoritas tidak menjadi jaminan Islam dan muslim dapat terhindar dari fitnah, pun menjadi minoritas tidak membuat Islam akan mendapat perlindungan. Sekularisme yang meniadakan peran tuhan dalam urusan kenegaraan secara nyata merugikan Islam yang sangat menjunjung tinggi peran tuhan dalam mengatur kehidupannya. Sistem sekuler yan diterapkan oleh rezim di Indonesia maupun di Cina sama sekali bukan diterapkan untuk Islam dan muslim. Sekularisme pun menjadi penyebab mengapa Islam hingga saat ini masih terpecah sehingga lebih mudah untuk dirongrong dari segala arah.
Tak hanya muslim di Cina dan Indonesia, muslim di seluruh dunia pun sebenarnya urgen untuk menyatukan kekuatan dan persatuan yang solid. Tanpa kekuatan yang solid, Islam hanya akan menjadi objek yang lemah tak berdaya, dan tanpa persatuan yang solid, Islam juga hanya akan menjadi pihak yang terus menerus ditindas.
Khilafah, sistem pemerintahan dalam Islam dengan konsep persatuannya yang menyeluruh, meskipun seperti yang sebelumnya dianggap sebagai suatu ancaman oleh banyak pihak, sebetulnya perlu dilihat secara objektif dalam membahas penanganan permasalahan intimidasi dan diskriminasi yang dialami oleh umat. Keberadaan Khalifah, pemimpin dari Khilafah, lengkap dengan ketundukan pengaturannya pada Alquran serta sunnah nabi sebagai sumber hukum di dalam Islam, tentu tidak akan membiarkan muslim di wilayah manapun menjadi bulan-bulanan dan Islam menjadi pesakitan atas aktivitas yang dilakukan oleh oknum.
Kajian mengenai Khilafah yang meniscayakan persatuan dan kekuatan Islam itu sudah sepatutnya diberikan ruang untuk didiskusikan, bukan malah disingkirkan. Tindakan generalisasi masalah yang dilakukan oleh rezim ini sebetulnya mencederai prinsip kebebasan dalam demokrasi yang dielu-elukan itu. Kebebasan berpendapat, beragama, dan berserikat dalam waktu yang bersamaan telah ditabrak atas praduga dan persepsi tentang ancaman. Lantas, masihkah muslim merasa biasa saja hidup dalam demokrasi di bawah rezim sekuler sementara Islam dan ajarannya kerap dimarginalkan?
Oleh karena itu, sudah saatnya umat ini menyatupadukan kekuatannya di dalam Khilafah melalui penerapan syariat Islamnya yang menyeluruh. Rezim sekuler dalam naungan demokrasi terbukti tak mampu menjaga Islam dan muslim dari pengucilan dunia. Persatuan umat dalam naungan Khilafah in syaa Allah akan menguatkan posisi umat Islam secara global, bukan malah dilihat sebagai entitas yang terpecah-belah.
0 Komentar