Oleh: Ayu Paranitha Beberapa bulan ke belakang isu-isu tentang radikalisme di kampus memang sedang hangat-hangatnya. Kalau boleh saya bilang puncaknya adalah aksi teror di markas mako brimob dan pengeboman yang diklaim dilakukan oleh ISIS di gereja di Surabaya. Beberapa tahun ke belakang memang peristiwa pengeboman muncul dan tenggelam (tanpa bermaksud mengecilkan atas para korban pengeboman), tapi ada rasa yang berbeda pada peristiwa pengeboman terakhir ini. Islam sebagai sebuah Diin atau kalau boleh saya terjemahkan sebagai ideologi kini dibenturkan vis a vis dengan Pancasila. Bahkan sekelas Profesor pengajar Pancasila dan Filsafat Pancasila selama 24 tahun pun dituduh anti Pancasila dan anti NKRI serta dituduh sebagai penyebar paham radikalisme karena mengatakan bahwa ajaran Khilafah tidak bertentangan dengan Pancasila. Maka saya cuma senyum-senyum saja ketika membaca berita tentang ITB yang membekukan organisasi mahasiswa yang diduga berafiliasi dengan HTI dimana dulu saya pernah menjadi ketua (akhwat) nya. Apa saya menyayangkan tindakan yang dilakukan oleh pihak ITB? Sesungguhnya saya tidak peduli, tapi yang saya sayangkan adalah matinya kampus sebagai oase pemikiran, ruang publik kebebasan beropini, tempat berdialektika, menjadi tempat bertanya dan mendapat jawabnya, bukankah itu pesan yang diabadikan di plaza widya nusantara? Tapi mungkin ITB sudah terlalu tua, penyakit pikun sudah menjangkitinya, atau (sebagaimana hadits nabi) penyakit wahn sudah mendarah daging di dalamnya? Ah mengapa pula kukaitkan dengan sabda nabi yang mulia? Intoleran, Radikalis, Khilafah. Khalifah kini menjadi idiom yang mengerikan. Padahal sebagaimana yang saya kutip dari Cak Nun, Tuhan sendiri Maha Radikal dengan ide neraka-Nya. Maha intoleran kepada yang menyekutukan-Nya, yang membuat-Nya cemburu karena ada manusia menuhankan yang bukan Ia, padahal sama sekali tidak memenuhi syarat nalar, logika, dan akal untuk dituhankan. … Maka Allah intoleran terhadap kekonyolan itu, serta mengambil keputusan radikal: Tidak akan mengampuni kesalahan siapapun saja yang membuat-Nya cemburu-eksistensial. Ah ya dan malam tadi imam shalat malam (saat i’tikaf) membacakan surat Sad,

يَـٰدَاوُۥدُ إِنَّا جَعَلْنَـٰكَ خَلِيفَةًۭ فِى ٱلْأَرْضِ فَٱحْكُم بَيْنَ ٱلنَّاسِ بِٱلْحَقِّ وَلَا تَتَّبِعِ ٱلْهَوَىٰ فَيُضِلَّكَ عَن سَبِيلِ ٱللَّهِ ۚ إِنَّ ٱلَّذِينَ يَضِلُّونَ عَن سَبِيلِ ٱللَّهِ لَهُمْ عَذَابٌۭ شَدِيدٌۢ بِمَا نَسُوا۟ يَوْمَ ٱلْحِسَابِ

Hai Daud, sesungguhnya Kami menjadikan kamu khalifah (penguasa) di muka bumi, maka berilah keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah. Sesungguhnya orang-orang yang sesat darin jalan Allah akan mendapat azab yang berat, karena mereka melupakan hari perhitungan. Allah itu super keren, entah gimana ceritanya selalu menjawab pertanyaan kita dengan cara-Nya, pada waktu yang istimewa. Gara-gara sang imam yang melantunkan surat Sad ayat ke 26 ini, saya jadi diingatkan kembali tentang kita yang Allah ciptakan di muka bumi ini sebagai khalifah yang malaikat pun bertanya mengapa, dan di surat Sad setelah menyebut nama nabi Daud ‘Alaihissallam, Allah menurunkan amr, Allah memfirmankan titah-Nya, fahkum! Tetapkanlah hukum! dengan adil dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu. Barangsiapa yang menyimpang maka ia telah sesat dan barangsiapa yang sesat maka baginya adzab yang pedih. Bukankah ayat ini begitu radikal dan intoleran? Ketika menjelaskan ayat ini Ibn Katsir menceritakan percakapan antara Khalifah Al-Walid ibnu Abdul Malik dengan Abu Zar’ah. Al-Walid bertanya pada Abu Zar’ah apakah khalifah juga akan dihisab? Maka Abu Zar’ah menjawab, “Wahai Amirul Mu-minin, saya hanya berpesan kepadamu, hendaknyalah engkau berdoa semoga berada di dalam keamanan dari Allah. Hai Amirul Mu-minin, apakah engkau lebih mulia bagi Allah ataukah Daud ‘Alaihissalam? Sesungguhnya Allah telah menghimpunkan baginya antara kenabian dan kekhalifahan (kekuasaan), tetapi sekalipun demikian Allah mengancamnya melalui firman-Nya,” sebagaimana yang disebutkan di dalam Al-Qur’an; Hai Daud, sesungguhnya Kami menjadikan kamu khalifah (penguasa) di muka Bumi, maka berilah keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkanmu dari jalan Allah. (Shad: 26) hingga akhir hayat.” Menjadi seorang intelektual bukankah sudah seharusnya mengubah seseorang menjadi radikal? Bukankah intelektual adalah sekelompok orang yang merasa terpanggil untuk memperbaiki masyarakatnya, menangkap aspirasi mereka, merumuskannya dalam bahasa yang dapat dipahami setiap orang, serta menawarkan strategi dan alternatif pemecahan masalah? Inilah intelektual transformatif, yang linear dengan penafsiran ayat Shad ke 26 di atas. Ia adalah problem solver dan memberi alternatif solusi tentu saja harus radikal, menyentuh akar persoalan, karena jika tidak tentu ia akan jadi kumatan -_- Lalu ketika kampus tidak lagi radikal dan lebih senang bermain di zona nyaman pantaskah kita berharap kampus dan para intelektualnya menjadi tumpuan perubahan?

0 Komentar

Tinggalkan Balasan

Avatar placeholder

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *