Oleh: Nindira Aryudhani, Relawan Opini dan Media, Kampung Inggris, Pare, Kediri, Jawa Timur; E-mail : nindira.a@gmail.com

Pilkada serentak 2018 digelar di 171 daerah, Rabu (27/6/2018). Tujuh belas daerah di antaranya pilkada provinsi. Tak pelak, dana fantastis sejumlah Rp 15,95 triliun pun digelontorkan untuk menunaikan pesta demokrasi ini. Terkait hal ini, sebenarnya ada fakta kritis. Dalam Laporan Direktorat Penelitian dan Pengembangan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) berjudul Studi Potensi Benturan Kepentingan Dalam Pendanaan Pilkada 2015, disebutkan ongkos menjadi wali kota atau bupati mencapai Rp 20 miliar-Rp 30 miliar, sementara untuk gubernur Rp 20 miliar-Rp 100 miliar. Di satu sisi, masih menurut sumber yang sama, di tahun 2015 tersebut harta kekayaan calon kepala daerah rata-rata hanya Rp 6,7 miliar.

Adanya jurang yang lebar antara ongkos dan jumlah kekayaan, akan membuat siapa pun yang hendak mencalonkan diri bakal berpikir keras untuk mendapatkan uang. Memang tak mesti semua dana datang dari kocek pribadi. Peraturan KPU Nomor 5 Tahun 2017 tentang Dana Kampanye memungkinkan sumber dana dari tempat lain, yaitu partai atau koalisi pengusung serta sumbangan yang sah menurut hukum dari pihak lain (Pasal 4 ayat 1). Pihak lain yang dimaksud, salah satunya, bisa dari perusahaan swasta. Malangnya, di sinilah potensi masalah konflik kepentingan justru bisa terjadi.

Menurut Koordinator Nasional Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Merah Johansyah, yang kerap terjadi adalah perusahaan-perusahaan swasta tersebut akan menawarkan sejumlah dana kepada pasangan calon. Perusahaan-perusahaan yang dimaksud, terutama adalah perusahaan tambang. Dengan kata lain, ini sebagai celah sponsor politik yang bisa berlangsung. Salah satunya yakni dari korporasi yang menitipkan uangnya. Sebagai timbal balik, jika nanti berkuasa mereka yang telah dimodali itu diminta untuk mempermudah perizinan usaha perusahaan yang bersangkutan.

Jatam menyebut fenomena ini sebagai “ijon politik”. Pasalnya, ijon politik selama ini terkesan aman, karena Bawaslu (Badan Pengawas Pemilu) juga tidak pernah meminta pasangan calon untuk menyebutkan sumber dana Pilkada. Biasanya hanya disebut ‘perusahaan swasta’, tanpa pendetilan nama atau sektor kerja perusahaan tersebut. Menguatkan fakta ini, akhir Mei lalu Jatam menyatakan ada ratusan Surat Izin Usaha Pertambangan (SIUP) yang terbit menjelang Pilkada Serentak 2018.

Tercatat ada sekitar 171 izin tambang di berbagai daerah sejak tahun 2017 hingga 2018, tepatnya hingga mendekati penetapan masa calon Pilkada 2018 lalu. SIUP tersebut meliputi 120 izin di Jawa Tengah, 34 izin di Jawa Barat lalu diikuti oleh izin-izin tambang di Lampung, Sumsel hingga NTT. Bukan tidak mungkin, masih ada daerah lain yang belum terdata.

Terjawab sudah, bahwa penerbitan izin tambang yang terkesan diobral ini ternyata memang bisa menjadi sumber pendapatan politik bagi Calon Kepala Daerah. Atas nama kapital, makna pilkada telah bergeser menjadi ‘Pintu Ajaib’ menuju kapitalisasi sektor pertambangan dan sumber daya alam strategis. Analisis tersebut merujuk pada riset KPK terkait biaya seorang calon bupati walikota dan gubernur untuk maju di Pilkada tadi.

Tak ayal, pada akhirnya kasus izin tambang acapkali erat dengan kasus suap. Beberapa di antaranya, seperti korupsi mantan Bupati Kutai Kartanegara Rita Widyasari, mantan Gubernur Sulawesi Tenggara Nur Alam, Bupati Ngada NTT Marianus Sae dan mantan bupati Konawe Utara Aswad Sulaiman. Kasus-kasus yang melibatkan para kepala daerah ini sungguh bagai fenomena puncak gunung es korupsi di sektor sumber daya alam.

Menanggapi hal tersebut, pantaslah kiranya ketika di kemudian hari begitu banyak ditemukan para kepala daerah yang tak amanah. Rupanya mereka menjabat bukan murni demi rakyat. Melainkan demi mengembalikan modal saat hendak terpilih menjadi pejabat. Jika seperti ini adanya, bagaimana mungkin mereka akan dengan tulus menjalankan mandat rakyat yang telah memilih mereka? Bagaimana mungkin pula mereka akan merasa ringan hati untuk mengurusi urusan rakyat? Tak heran, realita ini telah membuka mata bahwa tiada layak berharap kepada demokrasi.

Tulisan ini dimuat di https://m.republika.co.id/berita/kolom/wacana/18/06/28/pb0xz1396-pilkada-pintu-ajaib-menuju-kapitalisasi-tambang


0 Komentar

Tinggalkan Balasan

Avatar placeholder

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *