Oleh: Indriani, SE, Ak (IRT, Penulis dan Alumni Kelompok Studi Ekonomi Islam) “Ekonom senior Rizal Ramli mengakui utang luar negeri Indonesia masih menjadi topik menarik untuk dibicarakan. Terlebih setelah ada pengumuman Bank Indonesia bahwa ULN Indonesia tahun 2017 mencapai lebih Rp 4.000 triliun.” (Tribunnews.com, 6/4/2018) Rizal pun mengingatkan jumlah ULN Indonesia itu sudah lampu kuning. “Sudah gali lubang tutup jurang”, tegas Rizal. Indikatornya dapat dilihat dari beberapa hal, yaitu: Keseimbangan primer yang berarti sebagian bunga utang dibayar tidak dari pendapatan melainkan utang baru, Debt Service Ratio (DSR) terhadap kinerja ekspor juga turut berkontribusi pada kurang produktifnya ULN Indonesia, Trade account, service account, dan current account semuanya negatif, dan faktor US fed rate. Itulah alasan utama kenapa kurs rupiah terus anjlok. Bahkan, dikabarkan pada tahun 2018, cicilan pokok + bunga yang harus dibayar Indonesia sudah Rp 840 triliun. Dua kali anggaran infrastruktur. Melihat akan fakta terkait utang Indonesia, sungguh sangat miris. Bagaimana bisa negara dengan SDA yang berlimpah, namun harus terlilit utang beserta bunga yang sedemikian besar? Padahal yang harus dipahami bersama, bahwa skema utang yang ditawarkan oleh para kapitalis baik asing maupun aseng dengan berlindung di balik “topeng” kerja sama ataupun investasi tersebut disertai bunga atau riba yang dalam pandangan Islam hukumnya haram. Dan ini akan mengundang murka dari Allah SWT, Sang Pencipta manusia, kehidupan dan alam semesta. Ditambah lagi, apabila memahami bagaimana konstalasi politik Barat dalam sistem Kapitalisme. Di mana utang merupakan alat yang diluncurkan Barat untuk mengikat agar kebijakan Dalam dan Luar Negeri negara berkembang, khususnya negeri-negeri Islam sesuai dengan kepentingan Barat. Melalui utang ini juga, Barat sebagai negara imperialis, berupaya untuk menjajah dan mencengkeram negeri-negeri Islam agar senantiasa bergantung dan kehilangan independensinya sebagai sebuah negara. Baik itu di negeri-negeri Islam yang mayoritas muslimnya maupun yang minoritas. Sehingga bagi negeri-negeri Islam yang pemimpinnya telah menjadi antek Barat selepas runtuhnya Khilafah, ditambah rakyatnya bersedia untuk tunduk dengan kebijakan yang pro dengan kepentingan Barat, maka akan ditambah utang atas negeri tersebut. Fungsinya untuk semakin menekan dan mempertahankan hegemoninya di negeri-negeri Islam tersebut. Sedangkan, bagi negeri-negeri Islam yang pemimpinnya menolak ataupun rakyatnya memberontak akan kebijakan politik Dalam dan Luar Negeri Barat di negeri tersebut, maka alat atau senjata yang digunakan adalah perangkat keras. Serangan fisik yang akan diluncurkan oleh Barat ke negeri-negeri Islam tersebut. Sebagaimana yang dirasakan oleh kaum muslim saat ini di Palestina, Suriah, Afganistan, Myanmar dan negeri-negeri Islam lainnya. Inilah konsekuensi yang harus diterima oleh negeri-negeri Islam saat menerapkan sistem yang tidak bersumber dari Syariat-Nya. Bahkan para penguasa Muslim saat ini tidak mempunyai pemikiran produktif, sehingga tidak mempunyai alternatif pendapatan negara maupun pembayaran utang luar negeri, kecuali dengan mengemis dari Luar Negeri lagi. Sudah saatnya negeri-negeri Islam bersatu, berlepas dari sekat-sekat nasionalisme dan mengembalikan kemuliaan umat Islam dengan diterapkannya Syariah Islam. Karena dalam Islam jelas riba itu haram, maka alternatif utang dengan bunga sebagaimana yang digunakan oleh Barat ini tidak akan ada di dalam Institusi Khilafah yang menerapkan Syariah Islam. Dan wajib diketahui bahwa di dalam sistem ekonomi Islam terdapat sebuah instrumen yang menjadi pos pemasukan dan pengeluaran harta yang menjadi hak kaum muslim atau pun warga negara Khilafah, yaitu Baitul Maal. Serta politik ekonomi Islam yang menjadikan kesejahteraan individu itu sebagai tolak ukur kesejahteraan rakyat. Bukan kesejahteraan dengan perhitungan pendapatan perkapita ala sistem kapitalisme.
“Orang-orang yang memakan riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan setan karena gila. Yang demikian itu karena mereka berkata bahwa jual beli itu sama dengan riba. Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Barangsiapa mendapat peringatan dari Tuhannya, lalu dia berhenti, maka apa yang telah diperolehnya dahulu menjadi miliknya dan urusannya (terserah) kepada Allah. Barangsiapa mengulangi, maka mereka itu penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya.” (QS. Al Baqarah: 275)
Wallahu’alam bi shawab

0 Komentar

Tinggalkan Balasan

Avatar placeholder

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *