Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki 17.499 pulau dengan luas total wilayah sekitar 7,81 juta km2. Dari total luas wilayah tersebut, 3,25 juta km2 adalah lautan dan 2,55 juta km2 adalah Zona Ekonomi Eksklusif. Hanya sekitar 2,01 juta km2 yang berupa daratan (KKP, 2020).

Kondisi wilayah perairan yang lebih luas dibanding wilayah daratan ini menjadikan Indonesia sebagai poros maritim dunia, sebagaimana yang ditegaskan oleh Presiden Joko Widodo. Indonesia memiliki potensi laut dengan dimensi yang beragam, mulai dari pertahanan-keamanan, pariwisata bahari, sumber daya alam laut, dan transportasi perhubungan.

Berkaitan dengan potensi sumber daya alam laut, Indonesia memiliki beberapa potensi strategis antara lain:

  1. Potensi minyak dan gas bumi yang tersebar dari Sabang sampai Merauke, dan titik-titik eksplorasi tersebar di berbagai kawasan baik di pesisir maupun di perairan lepas. Kandungan dasar laut Indonesia adalah memiliki 60 cekungan minyak dan gas bumi, yang diperkirakan dapat menghasilkan 84,48 miliar barrel minyak. Dari jumlah cekungan itu, 40 cekungan terdapat di lepas pantai dan 14 cekungan lagi ada di pesisir (Sukamto, 2017).
  2. Potensi biota laut yang tergolong langka di dunia (seperti penyu, duyung, hiu paus) yang masih banyak tersebar dari Sabang sampai Merauke.
  3. Potensi coral reef yang berperan dalam menyerap karbon, sekalipun faktanya seiring berkembangnya pariwisata mengakibatkan terjadinya coral bleaching di beberapa kawasan.
  4. Potensi rumput laut nasional, yang banyak ditemukan di perairan Paparan Sahul, mulai dari Sulawesi sampai Kepulauan Maluku dan sekitarnya. Wilayah Paparan Sahul di bagian timur Indonesia ini memiliki kedalaman yang lebih besar dibanding Paparan Sunda, dan semakin dalam laut maka volume kekayaan yang dimiliki juga bisa semakin besar.

Potensi laut Indonesia tersebut tentu tidak bisa diabaikan, baik itu dalam konteks potensi bawah laut maupun di permukaan laut. Permukaan laut dalam konteks ini berkaitan dengan luas wilayah lautan yang dimiliki Indonesia, seperti pelayaran, ALKI, selat strategis. Sedangkan konteks bawah laut berkaitan dengan kedalaman laut dan segala isinya yang harus dijaga dan dikelola, seperti perikanan, migas, pemanfaatan kabel bawah laut, dan sebagainya. Kedua konteks ini penting untuk diperhatikan dan dikelola secara terintegrasi.

Potensi Jaringan Bawah Laut

Jaringan bawah laut adalah posisi yang strategis dan merupakan salah satu infrastruktur. Misalnya, saat kita bisa berkomunikasi jarak jauh, maka hal itu disebabkan oleh adanya transmisi data dan jaringan pembangunnya yaitu jaringan kabel fiber optik bawah laut.

Pengaruh persaingan akses bawah laut, seperti Cina yang berambisi untuk menguasai jaringan kabel bawah laut dalam konteks membangun kuasa digital secara global ini tentu akan berpengaruh dalam tatanan geopolitik. Semua berawal dari bawah laut. Betapa kayanya potensi dasar laut denganmenghubungkan kabel fiber optik yang merupakan kekuatan infrastruktur dasar dari telekomunikasi digital.

Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar harusnya memberikan perhatian lebih besar terutama dalam memposisikan dan memetakan postur pertahanannya. 

Untuk membangun kekuatan laut suatu negara (Sea Power) Alfred Thayer Mahan menetapkan enam elemen penting yang perlu diperhatikan yaitu posisi geografis, bentuk fisik, luasnya wilayah, jumlah penduduk, karakter bangsa dan karakter pemerintahan.

Kekuatan laut Indonesia hari ini berada di tengah-tengah antara dua kekuatan besar yaitu insiatif OBOR atau yang kemudian berkembang dengan nama BRI-Belt and Road Initiative (ambisi Cina dalam menanam kabel bawah laut, untuk membangun kekuatan dan kuasa digital secara geopolitik); dan ambisi Amerika dengan inisiatif Indo-Pasifik.

Cakupan BRI meliputi 60 negara setara dengan 55% GDP, 70% populasi, dan 75% sumber energi dunia. China bahkan menyediakan dana $17 miliar untuk membangun DSR sejak 2013, termasuk pinjaman $7 miliar untuk fiber-optic bawah laut dalam proyek telekomunikasi. Beberapa produk infrastruktur digital yang telah dibangun oleh China yaitu:

  • Jaringan kabel bawah laut Huawei Marine Networks yang membangun 59.488 kilometer jaringan kabel bawah laut terbentang sepanjang Indo-Pacific, South Pacific, dan regio Atlantic. Meningkat dari 7% pada 2012 menjadi 20% pada 2019.
  • China menguasai jaringan angkasa melalui BeiDou Navigation Satellite System yang memiliki + 33-satellite dan menyaingi GPS yang dipimpin oleh Amerika.
  • Memasifkan Proyek Smart City Huawei (200 kota pada 40 negara) dan ZTE (170 kota pada 60 negara).

Untuk menjaga pertahanan bawah laut, maka perlu teknologi yang tinggi apalagi untuk mengakses perairan di bagian Timur Indonesia, karena secara topografi laut memiliki batimetri yang semakin dalam. Sayangnya, poros maritim sampai hari ini masih diterjemahkan dalam infrastruktur permukaan, yaitu tol laut untuk memotong kesenjangan ekonomi Indonesia Timur dan Indonesia Barat, masih dalam domain ekonomi, belum dari sisi pertahanan.

Terdapat kendala pada industri pertahanan Indonesia yaitu lemahnya visi geopolitik yang berdampak pada terbatasnya penyediaan infrastruktur dasar industri pertahanan dalam negeri dan rendahnya investasi dalam R&D untuk menunjang industri. Apabila dibandingkan dengan produsen negara-negara luar, maka Indonesia masih menjadi konsumen untuk teknologi-teknologi pertahanan yang paling canggih dan terbaru.

Visi geopolitik pertahanan dalam sudut pandang Islam mendudukkan bahwa terdapat dua jenis industri pertahanan yang harus dibangun dalam konteks postur maritim nusantara. Pertama, industri yang berhubungan dengan harta kekayaan yang termasuk dalam kepemilikan umum maka harus dikelola oleh negara. Kedua, industri yang berhubungan dengan industri berat dan persenjataan. Meskipun komoditas ini ada yang termasuk kepemilikan individu, akan tetapi industri seperti ini memerlukan modal dan keahlian yang sangat berat, sehingga tetap harus dikelola oleh negara yang harus mengadakannya. Industri pertahanan ini harus independen, jangan sampai hanya sekedar jadi konsumen apalagi konsumen alutsista bekas. Sebagaimana firman Allah SWT dalam QS Al Anfal ayat 60 berikut

وَأَعِدُّوا لَهُمْ مَا اسْتَطَعْتُمْ مِنْ قُوَّةٍ وَمِنْ رِبَاطِ الْخَيْلِ تُرْهِبُونَ بِهِ عَدُوَّ اللَّهِ وَعَدُوَّكُمْ وَآخَرِينَ مِنْ دُونِهِمْ لَا تَعْلَمُونَهُمُ اللَّهُ يَعْلَمُهُمْ ۚ وَمَا تُنْفِقُوا مِنْ شَيْءٍ فِي سَبِيلِ اللَّهِ يُوَفَّ إِلَيْكُمْ وَأَنْتُمْ لَا تُظْلَمُونَ

Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang (yang dengan persiapan itu) kamu menggentarkan musuh Allah dan musuhmu dan orang orang selain mereka yang kamu tidak mengetahuinya; sedang Allah mengetahuinya. Apa saja yang kamu nafkahkan pada jalan Allah niscaya akan dibalasi dengan cukup kepadamu dan kamu tidak akan dianiaya (dirugikan).

Ayat tersebut memberikan sebuah refleksi terkait geopolitik pertahanan maritim nusantara saat ini yang masih kurang memiliki visi geopolitik. Islam sebagai sebuah sistem kehidupan menawarkan konsepsi visi geopolitik pertahanan yang benar karena arah tujuannya sampai pada tahap mampu menggetarkan musuh. Dan hanya visi gepolitik pertahanan Islam yang sangat layak dijadikan pondasi untuk membangun postur pertahanan maritim nusantara karena sumber arahannya berasal dari wahyu.


0 Komentar

Tinggalkan Balasan

Avatar placeholder

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *